Aku ingat bagaimana dia bercerita tentang kakaknya yang menangis. Tentang bagaimana dia terdiam di depan lilin yang bergetar, membatu layaknya mayat yang dingin.
"Sejujurnya, aku merasa sedikit bersalah." Dia bilang, asap rokok mengepul dari mulutnya, berbaur dengan udara dingin yang menusuk kulit. Pandangan matanya masih dapat kuingat—kosong dan... putus asa. "Saat itu dia bertanya padaku, 'Apakah kau tahu bagaimana rasanya mencintai seorang dewa?' ... dan aku tak tahu jawabannya, aku tak bisa menjawabnya."
"Bagaimana sekarang?" Tanyaku penasaran sambil menatap wajahnya lekat-lekat. "Sekarang kau sudah mencintai seorang dewa, bagaimana rasanya?"
Dia terkekeh, dan hampir terbatuk akibat asap yang memenuhi paru-parunya. Sampai sekarang aku masih tak mengerti mengapa dia suka sekali dengan zat mematikan itu. Namun pada akhirnya, dia menjawab dengan suara tercekat, tangannya yang memegang puntung rokok itu bergetar, dan air mata lagi-lagi membasahi wajah pucatnya sewaktu dia menatap langit dengan senyum yang begitu beracun.
"Sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lethologica
RandomKumpulan kalimat yang terlintas di pikiranku saat jarum jam menunjuk angka dua belas dan bintang bersinar terang di langit malam tanpa awan. Mungkin kamusku masih terlalu sempit, atau mungkin juga tak semua hal di dunia bisa diberi label khusus. Kar...