Hidup

0 1 0
                                    

Terlahir sebagai manusia bukan berarti kita akan hidup sebagai manusia.

Kehidupan manusia yang hanya sekedar bertahan hidup tanpa sanggup menatap sang rembulan sembari menangis, tak lebih baik daripada kehidupan para hewan ternak yang tak henti-hentinya meringis. Memohon kepada apa yang bisa diproses oleh akal menyedihkan dan tak seberapa itu untuk membebaskan nyawa mereka yang akan hanya berakhir di atas piring putih berukir emas.

Tidak, kehidupan manusia lebih dari itu.

Kehidupan manusia berarti bernyanyi lepas di hadapan kematian, mengulurkan tangan hangat pada musim dingin yang mencekam, dan memantulkan cahaya mentari yang membutakan para jiwa tersesat. Kehidupan manusia berarti merasa, bercinta, dan bercumbu dengan rahasia takdir yang hanya diketahui oleh semesta. Kehidupan manusia berarti meraung, merintih, dan mencakar tanah selagi api neraka menjilat-jilat cangkang berdosa yang telah mereka janjikan.

Dan aku bukanlah manusia.

Mungkin aku terlahir sebagai manusia, namun aku tak hidup sebagai manusia. Aku tak lagi sanggup berpikir, jantungku terus memompa hasrat untuk melanjutkan hidup yang tak pernah aku syukuri, dan aku tersiksa karenanya. Aku ingin merasa, meraung, bercumbu, merintih, tertawa, menangis, berbisik, berteriak, membenci, dan mencinta. Ingin tertidur dan dikubur oleh bayang-bayang waktu yang tak tahu caranya menunggu, terlupakan oleh benang takdir yang telah lama putus.

Malaikat berbisik padaku bahwa masing-masing manusia kelak akan mendapatkan kesempatannya untuk hidup.

Dan jikalau memang akan muncul masa itu bagiku, maka biarkan aku hidup saat bibir ini memanggil namamu.

LethologicaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang