1

676 44 6
                                    

Katanya, terdapat kesinambungan antara jalan pikiran manusia dengan bagaimana semesta ini merotasikan garis takdir kepada setiap pemiliknya. Banyak sekali yang membenarkan hingga mengagungkan pemikiran ini, tapi tidak sedikit juga yang justru menentangnya. Konon semesta terlalu luas dan rumit untuk sekadar dikendalikan melalui pikiran manusia yang kerap kali terbatas dan serakah. Namun, hal itu justru menyiratkan persepsi sederhana lain yang memang sebaiknya mulai diaplikasikan, tentang bagaimana pikiran kita harus selalu berbaik sangka terhadap segala hal yang terjadi.

"Naskah pidatonya sudah disiapkan, ya?" Pertanyaan itu berhasil membuyarkan sekelumit pikiran dan kepingan kisah yang sedari tadi singgah dalam kepala seorang perempuan berkebaya. Perempuan itu mengangguk seraya tersenyum simpul, tetapi senyuman itu tidak mampu sembunyikan rasa gugupnya. Perempuan berkebaya itu bernama Hemera Blissany Prabakti, yang kini tengah menikmati perasaan gugup dan bangganya dalam satu waktu yang sama lantaran hari ini adalah wisuda magisternya dan ia ditunjuk untuk memberikan pidato sebagai perwakilan mahasiswa magister.

Hemera menggoyangkan kakinya dengan perasaan yang gundah, ia juga menatap secarik kertas yang sedari tadi berada dalam genggamannya. Ia merasa khawatir jika naskah pidato yang sudah dipersiapkannya itu kurang menggugah dan ia juga merasa cemas jika pembawaannya nanti tidak maksimal, sehingga cenderung membosankan. Ini bukan kali pertamanya Hemera tampil sebagai pembicara di depan publik dan biasanya ia tidak pernah seperti ini. "Mbak Mera, ayo ikut saya. Sehabis ini gilirannya mbak," ujar salah seorang panitia yang menggunakan setelan suit berwarna hitam itu.

Hemera melempar senyumnya, sebelum akhirnya mengikuti perempuan itu untuk berdiri di tepian panggung. Dari sini saja ia sudah melihat banyak sekali undangan yang hadir dan itu justru menambah perasaan gugupnya. "Semangat, Mbak Mer! Buat lulusan berprestasi dan tercepat sih hal kayak gini gampang," seloroh perempuan tadi dengan maksud menenangkan. Hemera tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya. Belum sempat ia menyudahi senyumnya itu, namanya sudah dibacakan oleh MC dan diminta agar naik ke panggung. Tidak dapat dipungkiri jika gemuruh dadanya terasa kian nyaring.

Mencoba untuk tetap tenang, Hemera melangkah dengan anggun, melempar senyum kecilnya dan mencoba menatap para audiens dalam balairung dengan tatapan teduh tetapi penuh keyakinan. Riuh suara tepuk tangan menyambutnya dengan hangat, menambah sedikit kepercayaan dirinya. Ia menarik napasnya dalam-dalam, sebelum akhirnya kembali memperlihatkan deretan giginya dan mengucapkan salam. Hemera mulai menyampaikan apa yang ada di kepalanya dan sesuai dengan secarik kertas dalam genggamannya. Ia merasa bangga dan juga haru, hingga sulit baginya dapat menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan bagaimana perasaannya saat ini. Pada bagian akhir pidatonya ini, mata Hemera mencoba mencari seseorang yang sedari tadi ia tunggu. Seseorang itu ada di sana, mengenakan pakaian batik berwarna senada dengan kain yang dikenakan Hemera. Tidak ada senyuman yang ditorehkan laki-laki itu, hanya wajah datar seperti biasanya saja, tetapi yang Hemera yakini pada saat mata mereka bertemu adalah ada sorot kekaguman dari mata laki-laki itu. Ia adalah Brajata Hastagi.

"Saya juga berterima kasih kepada suami saya, karena telah mendukung dan mempersilahkan saya untuk menyelesaikan apa yang telah saya mulai dan tengah saya jalani. Sebagai perempuan, justru perasaan sangsi bukan datang dari diri saya, melainkan dari orang-orang. Banyak yang menyayangkan keputusan saya mengambil perkuliahan ini jika pada akhirnya yang saya pilih hanyalah menjadi ibu rumah tangga, mengurusi kedua anak saya. 'Ilmu yang kamu serap dan pribadi serta pola pikir yang akhirnya terbentuk itu jadi hasil akhir saat kamu memilih untuk melanjutkan pendidikan kamu, gelar itu cuma bonus,' itu adalah yang pernah dikatakan oleh suami saya setelah sebelumnya keputusan berkuliah dan menjadi ibu rumah tangga ini kembali diperdebatkan orang lain. Meski banyak sekali yang menyayangkan keputusan saya, tetapi syukurnya suami saya justru berada di pihak yang sebaliknya. Ia mendukung saya dengan penuh dan percaya bahwa tidak ada yang sia-sia dari upaya saya untuk terus belajar. Saya mengucapkan terima kasih kepada suami saya karena sudah membersamai sampai akhirnya saya dapat berdiri di sini dan mengenakan toga ini," Hemera menarik senyum simpul.

KITA TIDAK SEDANG MENDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang