Hemera sudah kehabisan kata-kata untuk membujuk Brajata agar mau keluar dari kamar mandi. Perempuan itu kini memilih duduk di depan pintu kamar mandi, tubuh mungilnya ia biarkan bersandar ke daun pintu tersebut, persis seperti posisi Brajata di dalam sana.
"Aku ada di sini ya, Mas. Aku tunggu kamu di depan pintu sampai kapanpun kamu akhirnya mau keluar dari sana," ujarnya.
Sebuah handuk di peluknya, ia khawatir jika keadaan Brajata di dalam sana basah kuyup lantaran sedaritadi gemercik air masih terus mengisi kesunyian mereka. Mata Hemera lagi-lagi terasa berat lantaran air mata yang terus-terusan memaksa ingin dikeluarkan. Ia menyeka air mata itu, meski demikian Brajata masih dapat mendengar suara isakan dari istrinya tersebut. Kepala Brajata terasa berat, tubuhnya juga lemah dan lemas, matanya terkadang berkunang-kunang. Ia tidak dapat berpikir apapun selain bayang-bayang bagaimana raut kesedihan sekaligus kekecewaan Nyonya Tyna—ibunda Rania. Rasanya ingin berteriak untuk menyadarkan bahwa Rania juga berpulang sama sekali bukan kesalahannya, bukan kehendaknya, ia sudah berupaya menyelamatkan meski nihil. Namun Brajata tidak mampu membela diri saat itu, bahkan saat tubuhnya terhempas karena didorong juga ia tidak melakukan apapun selain terduduk di tanah dan menunduk. Saat semua caci maki lantang ditujukan untuknya juga ia hanya diam.
"Aku saja sedih banget lihat kamu kayak gini, aku juga khawatir sama kondisi kamu. Kamu tuh disayang banyak orang tau, Mas. Hidup kamu juga hidupnya banyak orang. Aku nggak tahu akan sekhawatir dan sehancur apa Ibu kalau lihat kamu kayak gini, sesedih apa Alam dan Raya kalau nanti kamu jatuh sakit. Dan... dan... dan... sesedih sekaligus sehancur apa aku karena nggak bisa bantu suami aku—" suara Hemera terdengar bergetar. Tangisnya kembali pecah dan terdengar begitu pilu di telinga Brajata. "Mbak Rania juga pasti sedih tau, Mas. Sedih lihat kamu kayak gini dan ditunduh sama orang tuanya sendiri," imbuhnya.
Brajata menekan jemarinya hingga terlihat memutih. Ia mencoba menahan tangisannya. Namun, Hemera melalui perkataannya berhasil membuat laki-laki itu menangis. Ia tertunduk, wajah dan telinganya merah padam, bibirnya bergetar, dadanya terasa seperti diremat-remat oleh benda yang tajam hingga menusuknya sangat dalam, hingga akhirnya dibiarkannya air mata itu membasahi pipi. Tanpa Brajata sadari, tangisnya terdengar jelas sampai ke luar, hingga pada telinga istrinya yang menunggunya dengan posisi yang sama. Hemera juga turut menangis. Beragam emosi seolah bersesakan agar ditumpahkan oleh Brajata. Hemera memilih diam, ia sedikit mendekap mulutnya agar tidak ketahuan Brajata bahwa ia juga turut menangis. Ia memberikan ruang pada suaminya untuk melepaskan segara macam perasaan sakit yang mungkin saja sudah bersarang selama bertahun-tahun yang lalu.
"Aku percaya sama kamu, Mas. Aku percaya sama kamu. Jadi kamu harus percaya sama aku kalau kematiannya Mbak Rania itu bukan gara-gara kamu. Sekarang keluar dari kamar mandi, ya? Nanti kamu sakit."
Hening. Tidak ada jawaban dari Brajata, sementara tangisnya yang semula pecah kini berakhir reda. Gemercik air juga kini sudah dimatikan dan Hemera menangkap pertanda baik di sana.
"Mer, jangan di depan pintu, saya mau buka pintunya." Titah Brajata.
"Iya, Mas."
Benar saja, bunyi kunci yang dibuka segera terdengar dan tidak lama Brajata keluar dari kamar mandi itu. Tatapannya kosong, bibirnya pucat, sekujur tubuhnya basah, bahkan laki-laki itu belum melepas kaos kakinya, serta ia sedikit menggigil. Hemera segera memakaikan handuk untuk Brajata, ia menggigit bibirnya sendiri lantaran iba melihat kondisi suaminya. Hemera merasa sesak sekaligus sesal karena tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan suaminya, laki-laki yang kini nampak kuyu dan memprihatinkan itu.
Entah perintah dari mana, Hemera segera memeluk tubuh Brajata. Ia dekap erat, kakinya sampai berjinjit untuk mendekap suaminya lebih dalam dan rapat ke dalam pelukannya. Ia senderkan kepalanya pada dada Brajata. Pelukan itu bersambut, Brajata juga mendekap sama eratnya, menenggelamkan wajahnya pada tubuh mungil Hemera dan bersandar pada pundak perempuan itu. Mereka menangis bersama. Mereka seolah membagi dan mengurai beban yang dirasakan. Mereka seolah berkisah banyak hal tentang perasaan yang sukar terungkap dan terucap. Mereka saling berbagi detak jantung dan gemuruh di dada. Tubuh mereka bergoyang pelan, berayun perlahan, sementara dua pemiliknya kini tengah menangis tersedu-sedu secara bersamaan. Ia bisa merasakan pakaiannya yang kini terasa basah karena memeluk Brajata dengan erat. Lama mereka berada di posisi itu, hingga akhirnya Brajata melonggarkannya karena baru sadar bahwa pakaian istrinya juga kini basah.

KAMU SEDANG MEMBACA
KITA TIDAK SEDANG MENDUA
Storie d'amoreHemera Blissany Prabakti menyetujui tawaran perjodohannya dengan Brajata Hastagi. Pernikahan serupa teka-teki ini dikarenakan Brajata enggan membuka diri. Hemera hanya mengetahui bahwa Brajata tidak sendiri. Ada sepasang anak kembar dari hasil pern...