Saat malam datang semua orang kembali ke kamarnya untuk beristirahat, begitu pula dengan Hemera dan Brajata. Selepas perdebatan mereka siang tadi, Hemera belum menyapa Brajata sama sekali. Bahkan ketika keduanya berada di dalam kamar yang sama, Hemera tetap dingin dan enggan untuk memulai pembicaraan apapun. Nampaknya Brajata juga melakukan hal yang serupa, tidak berniat untuk memulai percakapan apalagi mencairkan suasana. Sepanjang hari ini juga Brajata yang akhirnya mengurus Alam dan Raya seorang diri, bukan karena Hemera tidak mau membantu atau Brajata melarangnya, hanya saja Brajata berniat untuk memberikan ruang pada istrinya itu. Hemera juga memilih tidak bertanya kondisi anak-anaknya kepada Brajata, ia mengamatinya dalam diam saja.
Hemera membaringkan tubuhnya membelakangi Brajata yang baru saja selesai mandi. Aroma sabun dan shampoo miliknya begitu menguar ketika Brajata keluar dari kamar mandi itu. Jika mereka dalam keadaan yang baik-baik saja, sudah pasti Hemera akan menggoda suaminya karena memakai peralatan mandi miliknya. Brajata melirik ke arah punggung perempuan itu, punggung yang jarang sekali ia tatap karena saat mereka berdua atau bersama Alam dan Raya, Hemera selalu berjalan di belakangnya. Perempuan itu seolah benar-benar memaknai bahwa Brajata dengan segala sikap dinginnya itu kini menjadi pemimpin dalam hidupnya. Entah dalam keadaan badai yang besar, tiupan angin yang dingin atau ombak yang terlampau pasang sekalipun Hemera tetap berteguh bahwa Brajata adalah kunci kemudi dalam hidupnya.
"Rania selalu memastikan semua kebutuhan saya itu lengkap dan nggak pernah kehabisan, dia selalu memastikan kalau shampoo dan sabun saya itu selalu ada, tapi semenjak sama kamu hal itu perlahan bergeser," ujar Brajata memecah keheningan. Laki-laki itu menarik napas panjangnya dan tertawa lirih. "Seolah tahu kalau sabun atau shampoo saya habis, kamu selalu bilang duluan 'sudah, pakai yang ada aja dulu'. Atau bahkan 'kamu cobain deh pakai punya aku karena itu lebih wangi', perlahan saya jadi terbiasa untuk berbagi segala sesuatunya ke kamu. Saya malah heran kalau di rumah ada sabun dan shampoo yang memang khusus untuk saya karena sudah terbiasa berbagi punya kamu," imbuhnya.
Hemera tetap diam seraya mendengarkan. Ini adalah kali pertamanya Brajata berbicara tanpa diminta atau ditanya. Mereka sudah terbiasa dengan keheningan seperti sebelumnya karena dalam keseharian mereka hening seolah menjadi teman.
"Saya sering dibuat bingung sama semuanya. Sama diri saya sendiri, sama keputusan kamu untuk terima perjodohan nggak masuk akal ini, sama ibu yang kenapa memilih kamu untuk menikah dengan saya, sama takdirnya Rania yang harus pergi disaat anak-anak masih kecil—" Brajata tidak mampu melanjutkan perkataannya. Ia terdiam sejenak, napasnya terdengar memburu dan sekujur tubuhnya terasa tidak nyaman. Ia tidak biasa menceritakan keadaannya, sebab selama ini tidak ada yang bertanya kondisinya. "Kehadiran kamu itu bikin saya bingung, Mer. Segalanya membaik setelah ada kamu. Anak-anak jadi ada yang ngurusin, kembali ceria lagi karena mereka punya ibu, keperluan saya juga ada yang siapin. Cuma di sisi lain saya nggak bisa kasih apapun ke kamu karena nggak ada yang tersisa dari diri saya, Mer. Semuanya terasa salah, jangankan untuk jatuh cinta lagi, setiap kali saya hidup dengan benar atau tertawa karena kamu dan anak-anak, setelahnya justru ada penghakiman. Saya dibayang-bayangi dengan kegagalan saya menyelamatkan Rania. Saya—"
Kali ini bukan Brajata yang tidak mampu melanjutkan kata, tetapi dekapan Hemera yang membungkamnya. Ia benar-benar kehilangan kata dan kemampuan bicara saat indranya menghirup aroma tubuh Hemera sedekat ini. Segalanya seolah turut terhenti terutama saat usapan lembut pada bahunya perlahan ia rasakan. Sementara itu sang puan kini menepuk pelan punggung kuyu milik sang wira dengan lembut, punggung yang memenjarakannya pada rasa kasihan tanpa alasan. Banyak yang ingin Hemera katakan dan tanyakan, tetapi lagi dan lagi ia memilih berdiam diri. Ia hanya ingin suaminya tahu bahwa selama mereka masih dalam tali pernikahan maka Brajata bebas berkeluh kesah mengenai apapun, termasuk luka usang yang tidak juga usai.

KAMU SEDANG MEMBACA
KITA TIDAK SEDANG MENDUA
RomantikHemera Blissany Prabakti menyetujui tawaran perjodohannya dengan Brajata Hastagi. Pernikahan serupa teka-teki ini dikarenakan Brajata enggan membuka diri. Hemera hanya mengetahui bahwa Brajata tidak sendiri. Ada sepasang anak kembar dari hasil pern...