3

207 21 6
                                    

Brajata tadi pamit untuk jogging pagi sebelum ia berangkat kerja, sementara kini Hemera tengah tak berdaya dalam pelukan kedua anaknya. Ia tersenyum lebar kala Alam dan Raya saling berebut untuk memeluknya. Sesekali juga tawa terdengar dari ketiganya saat mereka saling bertumpuk dan berpelukan satu sama lain.

"Hari ini Bibu dan Apak bakal datang ke calon sekolahnya Alam dan Raya, tapi kalian nggak boleh ikut dulu, ya!" ujar Hemera tetap di posisinya yang berada di tengah Alam dan Raya seraya membiarkan tubuhnya dipeluk oleh kedua anaknya itu.

"Terus nanti kita sama siapa di rumah?" protes Alam yang nampaknya ingin juga untuk ikut pergi.

"Ada Bu Tina, nanti juga Oma sama Paman datang kesini kalau Paman sudah pulang dari rumah sakit," jawab Hemera seraya mengusap lembut kepala Alam. Alam akhirnya mengangguk menyetujui.

"Bibu, kalau paman itu dokter ya?" Kali ini giliran Raya yang bertanya, gadis kecil itu juga terbangun dari posisinya dan kini menatap Hemera dengan mata yang berbinar seolah ia ingin tahu lebih mengenai kegiatan pamannya itu.

Melihat Raya yang sudah duduk, Alam justru kian mempererat pelukannya untuk Hemera. Ini sudah menjadi kebiasaan mereka, morning cuddling setelah bangun pagi, sebelum akhirnya melakukan morning routine lainnya untuk mempersiapkan hari.  Sementara itu Hemera tersenyum menatap Raya yang tampak bersemangat.

"Paman masih calon dokter, sekarang masih coass, masih jadi dokter muda belum jadi dokter sungguhan. Minggu depan, coass-nya paman selesai dan lagi siap-siap ujian. Doain Paman Priam ya, supaya lancar ujiannya."

"Raya nggak ngerti," Raya kemudian tergelak dan diikuti oleh Hemera serta Alam. "Jadi nanti doanya minta Paman bisa ujian dan jadi dokter dong, Bibu?" sambung Raya.

"Ya tinggal minta aja ke Allah semoga Paman jadi dokter, ya Bibu?" Alam buka suara, kini laki-laki itu juga memilih untuk duduk berhadapan dengan saudara kembarnya yang menatapnya dengan jengah, lantaran Alam dinilai memotong pembicaraan Raya dengan Hemera.

Hemera tertawa, ia lalu ikut duduk dan mengambil tangan Alam dan Raya untuk ia genggam. Kedua anaknya itu beralih menatapnya, membuat Hemera tersenyum. "Semuanya pintar, jadi harus doa meminta sama Allah supaya paman dikasih kemudahan ngerjain ujiannya." Hemera menengahi kedua anaknya itu.

Puas dengan jawaban Hemera, Alam dan Raya segera mengangguk mengiyakan. Suara pintu yang dibuka terdengar, membuat fokus mereka teralihkan ke suara pintu itu.

"Apak atau Bu Tina ya datang?"

"Apak, pasti apak!!"

"Nggak, Bu Tina!!" Alam yang tidak mau kalah dari Raya segera berlari keluar untuk melihat apakah tebakannya benar atau salah.

Dengan baju dan wajah yang basah oleh keringat, Brajata tersenyum mendapati kedua anaknya yang terlihat buru-buru keluar dari kamar. Raut wajahnya menjadi bingung kala Alam tampak kecewa lantaran tebakannya tadi salah, sementara Raya justru bersorak gembira menandakan kemenangannya. Brajata segera meletakkan bawaannya di meja makan dan berjalan untuk menghampiri kedua anaknya. Alam terduduk lesu, tak suka dengan sorakan Raya yang dinilai terlalu berlebihan, sementara Raya juga tampak tidak peduli jika sorak sorainya itu mengganggu Alam.

"Yaya bilang kalau yang datang itu Apak, tapi Alam bilang kalau Apak itu Bu Tina," ejeknya. Nada bicara Raya yang benar-benar terdengar mengejek serta tawa kecil diujungnya membuat Alam gerah, ia tidak suka kalah dari Raya.

"Nggak ada yang salah, memang Apak datang bareng sama Bu Tina, tapi Bu Tina masih di depan buat ambil mangga. Coba sana dilihat," ujar Brajata mencoba menenangkan.

Alam segera berlari membuka pintu lalu ia tergelak saat menyaksikan Bu Tina tengah mengambil mangga di halaman rumah mereka. Laki-laki kecil itu menatap ke arah Raya, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak kalah ataupun salah, gantian tingkah Alam yang dinilai menyebalkan oleh Raya. Alam kemudian berlari menuju halaman rumah mereka dan terlihat antusias saat melihat Bu Tina dengan galahnya mengambil mangga yang sudah bergelantungan. Raya yang mulanya nampak malas, akhirnya turut serta berlari menghampiri Alam dan Bu Tina karena lama-kelamaan aktivitas itu terlihat menyenangkan.

KITA TIDAK SEDANG MENDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang