7

235 24 2
                                    

⋆ ˚。⋆୨♡୧⋆ ˚。⋆

Brajata's POV

Melihat Hemera sama saja dengan melihat luka. Kerap kali saya mempertanyakan mengenai keputusannya untuk menikah dengan saya dan menerima kehadiran Alam serta Raya di kehidupannya. Jika dipikir menggunakan akal sehat yang sewajarnya, maka pernikahan kami tidak sama sekali menyuguhkan keuntungan untuknya, yang ada justru sebaliknya. Saya hanya seorang pecundang yang sampai hari ini masih enggan menerima kenyataan bahwa istri saya sudah meninggal di suatu pagi secara tiba-tiba dan siapapun yang menjumpai saya mungkin dapat melihat bahwa berat sekali penyesalan dan cinta yang menggantung di mata saya, hingga menjadikannya sayu seolah menyiratkan bahwa si empunya merasa hidup segan namun matipun tak mau. Meski demikian, Hemera tetap hadir—tidak, bukan sekadar hadir, tetapi dia mengisi setiap perannya dalam rumah ini dengan begitu apik.

Meskipun saya melihat luka dalam dirinya, sebagaimana dia melihat kesuraman dalam diri saya, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dia juga membawa pancaran bahagia yang memikat. Mendengar namanya saja saya sudah merasakan entah apa namanya, tetapi itu membuat saya bahagia.

Bukan kebahagiaan yang meluap-luap hingga membuat diri saya lupa akan segala persoalan di dunia, hanya saja Hemera menjadikan saat ini dan masa depan seolah dapat dijalani. Sebelum ada dia, saya mengira bahwa masa depan tidak untuk saya dan senyuman atau tawa sudah bukan bagian saya. Hemera mengubah itu dengan kehadirannya yang dapat dibilang lumayan singkat dan dengan interaksi kami yang juga terbatas. Bersamanya saya dapat tersenyum lebih lama dan sedikit mengurai beragam suara-suara yang menghantui saya sejak enam tahun lalu. Suara yang sulit untuk saya abaikan.

"Kok lo bisa seceroboh itu sampai Rania jatuh dari kamar mandi?"
"Istri lo mati dan lo penyebabnya."
"Lihat! Lihat tangis ibunya Rania yang kehilangan anak semata wayangnya gara-gara lo."
"Lo harusnya terpuruk, Ja. Bukan malah nikah lagi! Lo harusnya besarin anak-anak lo sendirian, bukan malah ketawa-ketawa kayak gini sama istri baru lo."
"Lo cuma lanjutin hidup, lo nggak pantes dapetin cinta."

Suara itu bersautan tidak pernah henti sampai saat ini, ketika saya mulai menyadari bahwa keberadaan Hemera sedikit meredam kebisingannya. Jika ada dia, suara-suara itu seolah kalah dan sedikit memberikan ruang untuk saya mendengarkan hal lain di dunia ini, meski setelahnya justru makian-makian itu kian ganas memperolok saya.

"Kamu mau bantuin aku nggak?" Hemera tiba-tiba saja mengambil iPadnya dan memperlihatkan pada saya. Saya mengambilnya dan menggulir layarnya untuk melihat beragam rangkaian bunga yang terlihat cantik. "Dua minggu lagi pengumuman ujiannya Priam, aku optimis banget dia pasti berhasil makanya mau pesan bunga, menurut kamu cocoknya yang mana?"

Saya tersenyum tipis, entah mengapa rasanya menyenangkan sekaligus membuat iri jika memiliki kakak supportif seperti Hemera. Saya menatap bunga-bunga itu lama, menggulirnya ke atas dan ke bawah, sementara Hemera berada di depan saya menunggu seperti anak kecil yang berharap mainannya segera dikembalikan.

"Gimana? Ada yang bagus nggak?" cecarnya setelah saya mengembalikan iPad itu.

Saya menggeleng, Hemera termenung. "Saya nggak suka bunga, jadi bingung pilih yang mana." Saya menjawab seadanya.

Hemera nampak kesal dengan jawaban saya, tetapi dia tertawa seolah menyadari sesuatu. "Ya emang salah aku nanyanya malah ke kamu," kini giliran dia yang menggulir layar iPad itu. Matanya nampak berbinar memilih bunga-bunga yang ada di depannya.

Sependek pengetahuan saya, Hemera memang menyukai bunga. Saat pernikahan kami, meski dia tahu tidak ada cinta di antara kami, dia tetap dengan serius menyiapkan dekorasi pelaminan. Ia memilih sendiri bunga-bunga apa yang dikenakan dan makna filosofis di dalamnya. Hemera juga selalu meluangkan waktu untuk pergi bersama WO kami memilih kualitas bunga-bunga hidup untuk dijadikan dekorasi. Hasilnya sangat indah, meski awalnya pernikahan kami digelar dengan sederhana tetapi dengan adanya dekorasi dari bunga-bunga hidup yang sangat harum, justru yang timbul adalah kesan pesta intimate yang meriah. Banyak keluarga kami yang memuji hasil karya Hemera, termasuk saya, meski dalam hati.

KITA TIDAK SEDANG MENDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang