Sejak dua hari yang lalu Brajata dan Hemera menginap di kediaman orang tua Brajata di Bogor. Suasana pagi hari ini terlihat sangat hectic, sedari tadi Pak Arif turut membantu beberapa orang lainnya merapikan kursi-kursi, sementara yang lainnya juga melakukan finishing tenda serta dekorasi. Hemera juga tidak kalah sibuknya, ia memastikan bunga-bunga segar itu dirangkai sesuai dengan keinginannya juga mengingatkan Bu Tina untuk menata beberapa macam kue-kue tradisional yang sudah ia pesan. Brajata nampak lebih santai dari yang lain karena laki-laki itu hanya menemani beberapa orang yang tengah melakukan check sound.
"Ibu sekitar jam berapa sampai di sini, Mas? Kalau menurut Bulek, Mas Braja harus ikut jemput Ibu. Kalau Mbak Mera tunggu saja di rumah, supaya tetap ada yang terima tamu nanti," ujar Bulek Arum. "Mbak Mera, sini dulu, Nak!" lanjutnya lagi.
Merasa terpanggil, Hemera segera meletakkan bunga-bunga yang semula ia pegang lalu berjalan menghampiri Bulek Arum yang kini tengah berdiri di samping Brajata.
"Bulek barusan bilang ke Mas Braja kalau Mbak Mera tunggu di sini sambil terima tamu, boleh? Nanti juga ditemani sama keluarga yang lain," tanya Bulek Arum.
Hemera segera menganggukkan kepalanya dan terlihat tidak keberatan dengan usulan Bulek Arum. Sementara itu, Brajata memandangi istrinya yang kini berdiri di hadapannya. Lama ia memandangi Hemera yang dengan sigap meladeni pertanyaan Bulek Arum mengenai makanan hingga bunga-bunga dekorasi.
"Saya nggak terlalu banyak andil, Bulek. Semuanya yang handle Mera. Saya yang anaknya, tapi malah Mera yang lebih tahu seleranya Ibu, dari mulai bunga yang Ibu suka sampai jajanan pasar semuanya tahu," ujar Brajata tanpa disangka. "Bukannya saya nggak mau Mera tetap di sini, tapi Mera sudah capek dari beberapa hari yang lalu dan setiap hari Mera juga yang ngingetin Ibu untuk makan, minum obat dan istirahat. Sebelum berangkat ke Mekkah juga Mera yang siapin semua perlengkapannya Ibu, dari mulai baju sampai ke obat-obatan. Saya maunya Mera juga ikut ketemu Ibu di Bandara, ikut temani saya buat nyambut Ibu kembali ke Tanah Air." Lanjut Brajata, yang justru semakin membuat Hemera tertegun mendengar setiap katanya.
Sudah biasa bagi Hemera jika tengah berhadapan dengan anggota keluarga mereka yang lain, maka keduanya akan nampak seperti pasangan suami istri yang semestinya. Namun, kali ini Hemera merasakan bahwa apa yang dikatakan Brajata adalah kejujuran yang ingin laki-laki itu ungkapkan. Ia semakin tidak tahu harus berbuat apa tatkala Brajata mendekat ke arahnya dan menggenggam jemarinya secara lembut. Ini bukan yang pertama kali, tetapi baru kali ini segalanya dilakukan tanpa ada script atau perjanjian terlebih dulu seperti yang sudah-sudah.
"Ibu juga pasti senang banget kalau lihat Mera ikut jemput," ujar Brajata yang nampaknya semakin nyaman menggenggam jemari istrinya itu.
Bulek Arum juga terlihat menerima penjelasan Brajata, terlihat dari kepalanya yang mengangguk, matanya yang terlihat berbinar dan wajahnya yang tampak sumringah. "Ya sudah nggak apa-apa Mbak Mera ikut saja, lagian nanti ada Bu Tina dan lain-lain juga ya buat menyambut tamunya Ibu. Sudah sekarang pada siap-siap, ganti baju. Dekor sudah cantik, sudah wangi semerbak bunga-bunga juga, semuanya sudah ready tinggal kursi dan makanan saja ini," ujarnya. "Nanti Bulek minta Sarah bantuin Bu Tina dan Bi Nikmah buat siapin catering. Kita berangkat ke Bandara lebih awal saja ya, Mas? Soalnya takut macet di perjalanan. Sudah sekarang Mbak Mera dan Mas Braja ganti baju," tambah Bulek Arum yang lalu meninggalkan keduanya untuk masuk ke dalam.
Tangan Brajata masih menggenggam jemari Hemera meskipun punggung Bulek Arum sudah semakin menjauh, hingga akhirnya tidak lagi terlihat. Hemera tidak bereaksi apa-apa selain tetap diam di tempatnya dan menunggu Brajata yang melepaskannya. Beberapa detik kemudian barulah Brajata melepaskan genggamannya, ia tidak menatap Hemera sedikitpun dan bergegas segera meninggalkan perempuan yang masih mematung itu. Hemera masih memperhatikan punggung tegap milik Brajata yang tetap terlihat kuyu, ia juga memperhatikan bagaimana tangan kanan Brajata yang semula menggenggam jemarinya kini dibiarkan tetap terbuka dengan lebar. Hemera menarik senyum simpul pada satu bagian bibirnya, ia seakan tahu apa yang ada pada benak suaminya. Perasaan sangsi sekaligus bersalah kepada Rania, karena telah menggenggam jemari perempuan lain.

KAMU SEDANG MEMBACA
KITA TIDAK SEDANG MENDUA
RomanceHemera Blissany Prabakti menyetujui tawaran perjodohannya dengan Brajata Hastagi. Pernikahan serupa teka-teki ini dikarenakan Brajata enggan membuka diri. Hemera hanya mengetahui bahwa Brajata tidak sendiri. Ada sepasang anak kembar dari hasil pern...