"Mastiin baterai hp lo tiap pagi seratus persen, biarin lo ketemu gue dan nggak jemput anak-anak, terus juga selalu tahu selera makanan lo itu dia masih bilang nggak cinta, Mer?"
Hemera mengangguk.
Sudah sekitar empat jam ia duduk di ruangan ini bersama dengan sahabatnya yang satu bulan lalu berpamitan untuk menjelajah Eropa dengan alasan pencarian jati diri. Namanya Vara, teman terbaik Hemera sejak ia sekolah dasar. Mereka bergantian menceritakan beragam persoalan yang tengah dihadapi, tapi nampaknya Vara lebih berselera mendengarkan Hemera dan cerita pernikahannya karena sedari tadi gadis itu terus mendesak Hemera untuk terbuka. Kata Vara, kalau tidak dipaksa atau dijebak untuk curhat maka sampai mati juga Hemera membisu.
"Gue nggak pernah berharap banyak sama Brajata, Var. Seringnya tuh gue bertanya-tanya gitu loh, kira-kira amalan apa ya yang dilakuin Mbak Rania semasa hidupnya. Dia tuh dicintai sebesar dan sedalam itu loh, bahkan saat dia sudah nggak ada lagi di dunia ini."
Hemera menatap langit-langit di atasnya. Matanya menerawang seolah memutar satu-persatu perasaan cinta yang coba Hemera selami dalam diri Brajata dan selalu ia temukan untuk Rania seorang. Di sebelahnya, Vara tampak mengangguk-anggukan kepalanya.
"Iya juga ya, Mer. Mana Mbak Rania juga, maaf banget, mati muda 'kan? Kata orang nih, orang yang baik itu dipanggilnya cepat."
Hemera mengangguk setuju, kini ia menatap Vara yang masih menerawang menatap langit-langit.
"Sama kayak nyokap gue ya, Var?" Hemera tersenyum getir. "Kalau nyokap gue masih ada di dunia ini hidup gue bakal sama nggak ya, Var? Soalnya gue sering mikir kalau bisa saja apa yang gue alami adalah karma atas sikap keluarga gue ke Mami Astrid."
Vara melempar pandangannya ke arah Hemera yang masih menatap langit-langit dengan berjuta tanda tanya yang seolah menggantung di benaknya. Hemera menoleh dan tersenyum simpul yang entah mengapa justru menyimpan sekelumit makna yang dalam mengenai beragam perasaan yang sayangnya tampak sulit untuk ia utarakan. Vara tanpa dititah segera memeluk perempuan itu, sahabat baik yang selalu lekat dalam hatinya meski mereka terpisah jarak dan waktu. Hemera membalas pelukannya, ia menepuk-nepuk punggu Vara dan membiarkan pikirannya perlahan menguap.
Hemera sudah ditinggal ibu kandungnya sejak ia berumur empat tahun.
Hari yang seharusnya menjadi hari yang sangat menggembirakan bagi keluarga Hemera lantaran Priam, sang anak laki-laki yang begitu ditunggu-tunggu itu terlahir ke dunia, justru menjadi mimpi buruk yang mengubah dunia mereka dalam sekejap. Beberapa jam setelah Priam berhasil dilahirkan dan diadzankan, saat Hemera, Nadja—kakak pertamanya— dan keluarga mereka yang lain tidak sabar menunggu kedatangan Priam dan ibunya di ruangan rawat, yang datang justru sebuah kabar bahwa ibunda Hemera mengalami kondisi kritis akibat serangan jantung. Begitu saja waktu berlalu, hingga kabar berikutnya yang lebih pilu datang menyambar tanpa aba-aba apapun. Ibunya berpulang.
Hemera masih ingat bagaimana ia merasakan perasaan bingung yang bertubi-tubi lantaran belum terlalu mengerti mengenai apa yang tengah terjadi. Ia belum terlalu paham konsep meninggal itu seperti apa dan bagaimana kehidupannya setelah keberpulangan itu. Hemera kecil hanya memandangi wajah adiknya yang nampak bersahaja di tengah riuhnya perasaan duka cita hari itu. Hemera tidak mengerti dan tidak ada yang memberitahunya, hingga perasaan bingung itu berganti dengan rasa marah dan tak terima lantaran ibunda tercintanya dimasukkan ke dalam liang lahat. Ia tidak tahu, ia kebingungan, ia hanya merasa tidak adil dan tidak terima lantaran dipisah dengan ibu kandungnya. Barulah saat itu Hemera menangis, meratapi tubuh Jasti—Ibu kandungnya— ditimbun tanah dan tidak ada lagi sahutan dari Jasti saat Hemera memanggil.
"Ibu memangnya kenapa? Ibu harus pulang ke rumah sama aku dan adik bayi."
Sebuah permintaan yang tidak akan pernah dapat terkabul dan terbang begitu saja bersamaan dengan tiupan angin. Sejak saat itu semua orang seolah menutup rapat perasaan mereka, bukan tidak ingin memperlihatkan duka, hanya saja mereka tidak tahu harus memulai penghiburan dari mana jika ada yang mengungkapkan perasaannya. Keluarga Hemera berubah, karena tiang penyanggahnya itu musnah tiba-tiba dan tanpa aba-aba. Hingga akhirnya Astrid datang, membawa secercah angin segar yang lama Hemera damba. Kesegaran itu hanya untuk Hemera, Priam dan Ghani saja, sebab bagi Nadja—kakak Hemera— Astrid serupa bencana.
![](https://img.wattpad.com/cover/346440788-288-k882437.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA TIDAK SEDANG MENDUA
RomanceHemera Blissany Prabakti menyetujui tawaran perjodohannya dengan Brajata Hastagi. Pernikahan serupa teka-teki ini dikarenakan Brajata enggan membuka diri. Hemera hanya mengetahui bahwa Brajata tidak sendiri. Ada sepasang anak kembar dari hasil pern...