0.0

159 28 3
                                    

London, 2007.

Seorang gadis bersurai gelap berlari dengan kencang, mengabaikan rasa sakit pada kakinya dengan harapan ia dapat berhasil kabur.

Kepalanya sesekali menoleh ke belakang memastikan mereka kehilangan jejaknya. Merasa aman, ia memelankan langkahnya, mencari tempat bersembunyi.

Gadis itu mendudukkan dirinya di balik lemari kayu yang terbuang. Dadanya naik turun mengatur nafas. Ia tersenyum puas, bangga pada dirinya sendiri hingga terdengar suara langkah berat.

"Kau tidak akan pernah bisa kabur, little Jacey."

Tanpa Jacey sadari ia telah kembali tertangkap. Seseorang membekap mulutnya dan kesadarannya mulai menipis.

"Bawa dia."

Mendengar itu Jacey menyadari bahwa ia gagal lagi.

Jacey meringis dalam hatinya, ia kembali ke kamarnya. Sudah tiga tahun berlalu sejak ia meninggalkan panti asuhan dan tinggal di rumah yang terasa seperti penjara ini.

Bukan sekali dua kali ia mencoba untuk kabur dan hidup sendiri, dua tahun ia mencoba dan terus berakhir seperti ini.

Ia hidup layaknya boneka, dibesarkan untuk menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Kehidupan di panti asuhan tidak lebih baik. Nyatanya ia terus mendapatkan kekerasan dan berakhir dijual kepada 'pemiliknya' sekarang.

Jacey meringkuk diatas kasur yang empuk, semewah apapun kamarnya itu hanya membuat dirinya merasa jijik pada dirinya sendiri.

Suara langkah familiar membuat tubuh Jacey bergetar. Kepalanya berteriak menyuruhnya bersembunyi namun tubuhnya diam tak berkutik.

Pintu terbuka dan menampakkan seorang pria dengan wajah hangat membawa nampan yang berisi makanan.

"Ah, kau sudah bangun," Pria itu berjalan mendekat, meletakkan nampan di atas nakas lalu duduk di sisi ranjang.

Pria itu berpostur tinggi dan bugar, wajahnya masih terlihat segar meski telah menginjak usia akhir 30-an. "Aku merasa kau semakin kurus, Jacey. Aku khawatir makanmu tak cukup jadi aku membawakanmu sup kesukaanmu." Ujarnya seraya mengelus pipi Jacey.

Jacey segera menepis tangan pria itu dengan kasar, "Aku tak butuh perhatianmu, Thomas." Raut tajam Jacey tak mengubah Thomas. Pria itu justru mengambil mangkuk sup dan mencoba untuk menyuapi gadis itu.

"Buka mulutmu, dear."

Alih-alih membuka mulutnya, Jacey memalingkan wajahnya.

Tampaknya itu membuat Thomas geram, pria itu mencengkram dagu Jacey, memasukan sendok sup dengan paksa. Membuat si gadis tersedak dan memuntahkan sup di baju Thomas.

Sedetik kemudian gadis itu dapat merasakan pipinya yang panas dan tatapan dingin dari Thomas.

"Makan atau kau akan menerima hukuman."

Jacey hanya diam memegang pipinya yang berdenyut, membiarkan Thomas pergi dan mengunci kamarnya.

"Hahahahaha aku gagal lagi, gagal, gagal, gagal!" Jacey tertawa seperti kehilangan akalnya sambil mengacak-acak rambut panjangnya. Ia tersenyum menatap balkon yang terbuka, "Lantai tiga seharusnya cukup."

Dengan perlahan kakinya berjalan ke arah balkon. Ia menaiki pagar dan duduk diatasnya sejenak untuk menikmati pemandangan sore itu, dunia nampak sangat indah. Akankah semua terasa jauh lebih indah jika ia hidup bersama orang tua kandung nya?

Pemikiran itu membuat Jacey terkekeh, ia bahkan tak pernah mengenali siapa ayah dan ibunya. Tak pernah tau latar belakang hidupnya.

"Oh, Tuhan, di kehidupan selanjutnya bisakah aku mendapatkan keluarga yang menyayangiku? Bisakah aku mendapatkan kebahagiaan yang seharusnya?"

Lagi-lagi Jacey tertawa. Ia merasa telah mengatakan sesuatu yang konyol. Mana mungkin ada kehidupan selanjutnya, mana mungkin ia bisa bahagia. Mungkin setelah ini ia akan masuk ke neraka, tapi ia tak peduli lagi.

Jacey menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum pada matahari yang tenggelam. "Selamat tinggal." Ia memejamkan matanya dan menjatuhkan dirinya.

Ia merasakan tubuhnya seolah terbang bersama angin, diam-diam bersiap untuk merasakan sakit yang tak kunjung datang.

Alih-alih merasa tubuhnya terbentur, ia merasa tubuhnya diguncang oleh seseorang. "Hanny! Hanny! Bangun!" Jacey mengerutkan alisnya, siapa Hanny dan mengapa ia tak kunjung mati?

Jacey membuka matanya perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam netranya. Ia melihat seorang anak kecil yang menatapnya khawatir, apakah itu malaikat yang akan mengantarnya ke akhirat?

Tapi pemikiran itu langsung Jacey buang jauh-jauh saat melihat keadaan sekitar, ia nampak dalam rumah seseorang yang tak asing.

Belum selesai berpikir, anak kecil dihadapannya memeluknya dengan erat,  "Aku kira aku kehilangan mu.." Jacey dapat merasakan bahunya basah, rupanya anak itu menangis.

Tangan Jacey perlahan membalas pelukannya, "Shhh tidak apa-apa, aku tidak apa-apa." Ujarnya mengusap punggung anak itu, mencoba untuk menenangkannya.

Sebentar, mengapa tangannya mengecil?

Merasa ada yang aneh, Jacey segera melepas pelukannya. Ia menyadari tubuhnya mengecil dan rambutnya lebih pendek dari yang seharusnya. Jacey segera bangkit dan pergi ke ruangan lain, begitu asing sekaligus familiar.

"Hanny? Ada apa? Apa ada yang sakit?"

Jacey membalikkan tubuhnya, meneliti anak kecil di hadapannya. Tampak seumuran dengannya sekarang, rambut hitam pendek berantakan, mata hijau terang, kacamata bulat dan baju kebesaran. Tampak seperti tokoh fiksi kesukaannya.

"Hanny? Ada yang salah?" Anak laki-laki itu memegang kepalanya, memeriksa apa yang salah.

Jacey memegang kedua pipi anak laki-laki itu, meneliti nya lebih dalam. Ia menyibak rambut anak itu dan melihat bekas luka berbentuk petir.

"Harry?"

"Ya?"

"Harry Potter?"

"Ya? Kau sungguh baik-baik saja Hanny?"

Oh, Jacey rasa ia sudah gila. Bagaimana mungkin ia masuk ke dalam cerita fiksi Harry Potter?


.

.

.

Halo, Joha's back! Kali ini aku ngebawain ff Harry Potter! Semoga kalian menikmati buku ku juga kali ini! Tolong berikan dukungan dengan vote setiap chapternya, terimakasih! ^^

—love, bearsaurus

IRIDESCENT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang