Keesokan harinya, Hanny terbangun pagi-pagi sekali. Lebih tepatnya Harry membangunkannya karena merasa penasaran tentang sihir Hagrid.
Meski merasa jengkel, ia tetap menjelaskannya dengan sabar pada Harry. Saudaranya itu sangat ingin tahu banyak hal, yang terkadang membuat dirinya berada dalam masalah karena tak berpikir panjang. Tapi itu membuat Hanny merasa senang, karena rasa penasaran itu membuat mereka pintar.
Hanny juga menjelaskan tentang Hogwarts, empat asrama, pelajaran di sekolah sihir, bahkan quidditch. Ia berharap Harry dapat lebih berhati-hati dan berpikir sebelum bertindak dengan mengetahui dasar-dasar sihir lebih awal.
Harry tampak sangat antusias tentang dunia sihir, tapi ada satu hal yang terus memenuhi kepalanya.
"Hanny, darimana kamu tau semua ini? Aku yakin ini tidak ada di perpustakaan kota."
Keheningan mengisi mereka berdua, kadang Hanny merasa menyesal saat Harry menggunakan seratus persen otaknya untuk mengintrogasi dirinya.
Tidak mungkin ia bilang ia berasal dari masa depan dan kisah hidup Harry dibukukan.
"Aku melihatnya."
Namun jawaban itu tampak sulit diterima oleh Harry, "seperti mimpi?" tanya Harry lagi. Gadis itu mengangguk, "seperti mimpi."
"Tapi bagaimana kau yakin itu akan jadi kenyataan dan bergantungan padanya?"
"Entahlah, tapi semuanya jadi nyata."
Bibir Harry tertutup rapat karena ia tahu, perkataan itu benar adanya. Gila tapi nyata, seperti sihir.
"Kau percaya padaku?" Tanya Hanny dengan lembut. Takut akan respon saudara kembarnya.
Harry menghembuskan nafasnya kasar, "aku akan selalu memilih percaya padamu, Hanny."
Tok. Tok. Tok.
"Ya," gumam Harry, "Kami bangun."
Mereka berdiri dan mantel berat Hagrid merosot dari tubuh mereka. Mantel besar itu muat untuk mereka berdua.
Gubuk dipenuhi sinar matahari. Badai telah berlalu. Hagrid sendiri tertidur di sofa yang melesak dan ada burung hantu mengetuk-ngetukkan cakarnya di jendela, paruhnya menggigit koran.
Harry terhuyung berdiri. Dia langsung ke jendela dan mengentaknya hingga terbuka. Burung hantu itu meluncur masuk dan menjatuhkan koran ke atas Hagrid, yang tidak terbangun. Si burung hantu kemudian terbang ke lantai dan mulai menyerang mantel Hagrid.
"Jangan!" seru Harry.
Disisi lain, Hanny merogoh kantong mantel Hagrid, mencari-cari koin perunggu kecil, knut, untuk membayar burung hantu.
"Nah ini dia," Hanny mengambil lima keping dan menyerahkannya pada burung hantu, si burung hantu mengulurkan kakinya, supaya Hanny bisa memasukkan uangnya ke dalam kantong kulit kecil yang terikat di kaki itu.
"Ini, buddy. Terimakasih korannya." Burung itu mengeluarkan suara huhu lalu terbang keluar lewat jendela yang terbuka.
Harry menaikkan alisnya, "Apa itu ada di mimpimu juga?" tanyanya, "Begitulah."
Hagrid menguap keras-keras, duduk, dan menggeliat. "Lebih baik berangkat sekarang, twinnie, kita harus ke London dan beli semua keperluan sekolahmu."
"Tentu, Hagrid!" balas Hanny riang. Disisinya, Harry memperhatikan koin-koin knut dengan gelisah.
Dia menarik ujung baju Hanny dan berbisik, "Hanny, bagaimana kita beli perlengkapan sekolah? Paman Vernon bilang dia tidak mau membiayai kita dan kita tak punya uang."
KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT
FantasyHal yang Jacey ketahui, hidupnya hanya berwarna hitam dan putih layaknya televisi tua tanpa warna. Hingga suatu hari ia membuka matanya dan menyadari dirinya masuk kedalam buku 'Harry Potter' yang sering ia baca. Apakah ini kesempatan kedua yang Tu...