28 November 2022

133 11 0
                                    

Sebuah pukulan mendarat tepat di wajah Reza, seorang kakak tingkat dari jurusan Sastra dan Bahasa yang dipulangkan dari KKN karena terciduk melakukan pelecehan seksual pada beberapa mahasiswi di lokasi KKN.

Salah satu korbannya adalah Karina. Mendengar lelaki itu melecehkan mahasiswi lain saja sudah membuatku naik pitam, ditambah dengan informasi bahwa Karina turut menjadi korbannya membuatku tak segan untuk memukul wajahnya sesaat ia baru turun dari bus.

Seorang dosen menarik tanganku kasar dan menegurku untuk menahan diri agar tidak melakukan tindak kekerasan.

"Saya tau kamu emosi, tapi cukuplah tindak kriminal ini terhenti di dirinya. Kita jangan sampai terpancing emosi sampai rentetan kasus malah membebaskannya dari hukum."

Aku menarik nafas panjang untuk menenangkan diri. Reza dibawa ke ruang kemahasiswaan untuk ditindaklanjuti bersama pihak berwajib dan dosen lain.

Aku terduduk di sisi penghalang gerbang, memikirkan bagaimana bisa para korban tetap berada disana dan tidak dipulangkan saja? Aku takut kalau hal buruk lainnya terjadi pada Karina karena sesungguhnya tindak pelecehan itu tentu akan menimbulkan trauma mendalam bagi korbannya.

Seseorang menepuk bahuku pelan. Pak Leeteuk, dirinya yang mencoba menahanku tadi duduk disamping kananku. Tangannya menyatu dengan kaki terbuka, seolah bersiap memberiku 3 SKS pematerian dadakan.

Senyumnya seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, ia mulai mengobrol denganku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menggeluti pikiranku.

"Kampus memberikan kesempatan korban untuk tetap dapat menyelesaikan KKN mereka. Selain itu juga, para korban sekarang sedang berada dibawah penanganan dosen psikologi sebagai proses penghilangan trauma, beberapa pihak kepolisian juga sedang mencari kesaksian lain karena diduga saksinya bukan hanya rekan KKN dan Pak Kades saja."

Mendengar hal ini tak lantas membuat perasaanku lebih lega. Aku masih ingin menghajar lelaki cabul itu sampai babak belur, sama seperti kekerasan yang dilakukannya pada para mahasiswi itu.

Masih teringat jelas di kepalaku Karina yang menangis gemetar di balik telepon. Dengan suara parau dan sedikit berbisik karena takut pelaku dengar, ia menceritakan bahwa si lelaki cabul beberapa kali sengaja menyentuh bagian pribadinya, bahkan tak segan untuk mengintip ia atau rekan yang lain tengah mandi dan mengeluarkan lelucon yang mengarah ke pelecehan seksual ketika sedang berkumpul dengan para pemuda desa yang mengaku merasa tak nyaman dengan hal itu karena mereka menjunjung tinggi tata krama kesopanan.

Aku tak tahu betul apa yang terjadi saat Pak Kades menciduk Reza melakukan pelecehan, pada siapa dan dimana... Semua informasi itu belum ku dapatkan. Bahkan Karina, sepertinya tengah dalam masa penanganan karena ia tidak mengirimiku pesan dalam 3 hari ini.

"Saya takut kalau kasus ini diketahui media, takutnya nama kampus tercoreng karena diduga lalai dalam mendidik mahasiswanya."

"Kalau begitu tolong adili pelaku se-adil-adilnya. Trauma yang didapatkan korban tak main-main, saya harap Bapak dan dosen lain memihak korban serta memberi dukungan hukum untuk para korban."

"Saya akan usahakan. Ngomong-ngomong, kamu sudah hubungi keluarganya Lia dan Karina? Kemarin Bapak coba kontak tapi belum dapat jawaban."

"Sudah Pak, katanya, beliau akan segera sampai di kampus setelah jam makan siang."

"Dari keluarga siapa?"

"Orang tua Karina bersama orang tua Lia yang masih di perjalanan dari Cirebon."

"Alhamdulillah.."

Pak Leeteuk pamit menyusul yang lain ke gedung kemahasiswaan. Aku sendiri kembali ke gedung fakultas untuk melanjutkan pembelajaran, dan setelah jam kuliah selesai, aku tanpa berlama-lama bersiap untuk kembali ke rumah.

Dari Widya Untuk KarinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang