25 Oktober 2022

144 13 0
                                    

"Gue udah kontak keluarganya. Buat sementara Minju diurus di kontrakan gue dulu."

"Gue gamau Minju diambil keluarganya, cukup Tuhan aja yang ambil."

"Gue bisa urus kok..."

Aku, Ryujin, dan Kazuha langsung tancap gas begitu mendengar kabar buruk dari Yujin.

Minju, meninggal dunia.

Kami sebagai teman tentu mengkhawatirkan Yujin sekarang. Malam-malam begini, Yujin harus mengurusi jasad sang kekasih yang kini terbaring kaku menunggu dimakamkan.

Beruntung Minju masih punya kerabat disini. Meski kerabat yang disebut bukanlah keluarga asli Minju, setidaknya mereka mau membantu Yujin untuk mengurusi almarhumah sampai ke proses tahlil.

Kami sampai di kontrakan Yujin dan langsung melihat beberapa warga tengah berkumpul bersama dengan sang ketua RT.

"Alhamdulillah sudah di kafani. Tinggal menunggu kerabat yang katanya ingin ikut menyolatkan almarhumah." Kata Pak Rojali selaku RT setempat.

Yujin datang dari rumah tetangga membawa selembar kain samping bermotif batik dan kain putih untuk menutupi jenazah.

Kami tak melihat sedikit pun tetesan air mata di mata Yujin. Kami takut kalau anak itu menahan diri di hadapan banyak orang sehingga kami membawanya keluar kontrakan sebentar.

"Gua udah biasa kehilangan. Mungkin emang udah dari sananya Minju harus berpulang lebih cepat dari yang gue duga. Trus juga... Kalo gue sedih, kesian nanti Minju jadi berat disananya. Jadi gue coba ikhlas sebisa mungkin." Kami menghela nafas menahan haru, sejujurnya kami tahu Ryujin menahan diri tapi kami tak bisa memaksanya untuk mengungkapkan perasaan sedihnya.

Kerabat Minju akhirnya datang, tanpa menunggu lagi, Minju dibawa ke masjid setempat untuk segera di solatkan.

Pengumuman di suara pengeras masjid seolah masih halusinasi bagiku. Aku tidak bisa membayangkan Minju yang masih mengobrol denganku kini sudah berpulang.

Untuk sementara jenazah Minju dititipkan di masjid dan dijaga oleh kerabat serta panitia masjid tersebut sampai besok pagi.

Yujin kembali setelah berbincang dengan salah seorang pria paruh baya yang adalah saudara dari pihak ibu Minju. Ia memberi Yujin sepenggal ucapan terima kasih dan amanah padanya sebagai perwakilan dari almarhumah.

Kami berempat kembali ke kontrakan untuk beristirahat dan menunggu hari esok. Kami memutuskan untuk menginap bersama, menemani Yujin yang tak mungkin kami tinggal sendirian.

"Neng... Bobo sendirian? Mau ditemenin sama Ibu ga?" Tawar salah seorang tetangga pada Yujin.

"Oh makasih Bu, temen Yujin nginep da disini. Gapapa gausah."

"Ohh yaudah atuh, ini kue dimakan dulu sok. Abis ini langsung pada tidur, besok ikut ke pemakaman ya."

"Siap Bu, hatur nuhun Ibuuuu."

Kami menyomot satu persatu bolu pandan yang tersedia di tengah ruangan. Yujin izin mengambil nampan yang ia isi dengan air teh hangat untuk kami bertiga.

"Jin."

"Hum? Naon?"

"Urang turut berduka citanya."

"Santuy we atuh Jeg." Ryujin berdecak karena merasa tak enak dengan Yujin. Kami juga sebenarnya masih dalam kondisi berkabung namun kami tak tahu harus mengucapkan apa selain ikut berduka cita.

"Nonton film atuh yuk, 365 seru katanya." Saran Kazuha ditengah keheningan diantara kami berempat.

Kami semua setuju dan mulai menonton di laptop Yujin seraya bersiap untuk tidur. Kami semua berbaring di ruang tengah yang sudah di lapisi kasur lantai yang memanjang.

Dari Widya Untuk KarinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang