Jalan ke pertengahan Desember adalah liburan. Yang paling ditunggu Reihan setelah berbulan-bulan membuka lembar sebagai mahasiswa. Dia tidak terlalu lelah dengan perkuliahan, sebenarnya.
Namun, alasannya menunggu liburan karena ingin terus bersama Dipta. Bermain-main dan menikmati masa liburannya, bersama Dipta, juga teman-temannya.
Seperti paginya dengan si pacar saat ini menyambut hari pertama liburannya. Lari santai di salah satu GOR, yang memiliki lapangan luas pada tengah kota.
"kadang gua mah bingung, dua tambah tiga sama dengan empat."
"gue lebih bingung lu kenapa..."
Tanpa menghentikan lari, Reihan berdecak ke arah si pacar. "dua tambah tiga sama dengan lima. kok lu malah komentarin guanya?" Memprotes dengan wajah ditekuknya.
"ya lu udah tau jawabannya kenapa sengaja disalahin?" Heran Dipta, menaikan satu alis.
"biar lu koreksi???"
Dipta tertawa kecil mendengar balasan setelahnya. "lu capek ya kayaknya." Mencibir dengan wajah mengejek.
"iya, capek lari tapi gapapa. gua ga pernah capek mencintai elu," sahut Reihan santai.
Dipta sudah melewati masa-masa salah tingkahnya yang keterlaluan. Ketika pacarnya itu memberikan gombalan, respon yang dia berikan tidak jauh hanya tersenyum atau menggeleng-gelengkan kepala.
Entah putaran ke berapa, memutuskan untuk berhenti dua-duanya. Duduk di tepi lapangan, sembari meminum air masing-masing. Dengan pemandangan orang-orang masih semangat berlari.
"enam tambah enam sama dengan tiga," celetuk Reihan, lagi.
"lu mau air gua?" Dipta melirik botol minum Reihan yang nampak sisa sedikit.
"koreksi dulu..." Reihan menggerutu.
"sama dengan dua belas. jujur aja gua ga peduli sama angkanya," balas Dipta.
"pedulinya sama guanya ya??" Tanya Reihan percaya diri.
"gua ga bilang gitu juga."
Balasan si pacar membuatnya terkekeh. "lucu, gua lagi demen sama hitung-hitungan. tapi ga suka matematika." Dia bercerita singkat.
"lagi demen tapi daritadi ngocehnya ngawur semua," cibir Dipta.
"ye kan biar lu koreksi. caper aja gua ama lu. masa mau caper ke matematika, tambah puyeng," sahut Reihan.
"matematika ga bikin puyeng."
"orang yang mapel matematika di rapotnya predikat A semua dari kelas 10 ga cocok bilang gitu ke gua yang dapet C mulu." Adu nasib, Reihan mendengus.
"yang penting lu naik kelas, terus lulus. dapet PTN favorit lagi. pinter matematika bukan berati bisa segalanya," ucap Dipta, tertawa.
"ga cocok kalimatnya kalo lu yang ngucapin, soalnya lu bisa semua."
"ya apa salahnya coba? orang lu yang ga bisa matematika aja tetep keren, pelajaran ga selalu berpusat ke matematika, Rei."
Reihan, meneguk sisa airnya sampai habis. Melirik Dipta kemudian, mengamati wajah tenang kesayangannya padahal sedang memperdebatkan sesuatu.
"minimal bersyukur," celetuk Dipta. Membalas tatapan Reihan yang seperti menunggu untuk terus melanjutkan ucapannya. "kalo lu cuma liat matematika lu yang dapet C, mapel lain apa kabar padahal banyak yang dapet A."
"mapel lain diem aja tuh nyatanya," balasan Reihan ini cukup membuat Dipta menggerakkan tangan guna memukul pundak si empu.
"pelajaran emang ga selalu berpusat ke matematika. tapi dunia kan berpusat ke matematika," cibir Reihan setelahnya.
"poinnya tadi kan di mata pelajaran, bukan di dunia."
"ye tapi sama aja lagi bahas matematika, poinnya matematika, bukan mata pelajaran." Reihan menolak.
"matematika kan bagian dari pelajaran," sahut Dipta santai.
"ga ga bisa. gua memulai dari berapa tambah berapa, berarti matematika dulu baru mata pelajaran!" Kekeuh Reihan.
"ya udah kalo emang matematika pusat dunia, lu belajar sana. bilangnya aja lagi demen hitung-hitungan tapi ga suka matematika. aslinya lu tertarik ama matematika tapi denial," final Dipta.
"aturan lu nawarin gua belajar bareng, matematika. bukan nyuruh doaaang," protes Reihan, cemberut.
Setengah jam duduk beristirahat dengan mengobrol, diakhiri tawa oleh si paling tua sebelum keduanya memutuskan untuk pergi.
"eh ada razia. tau tadi kita bawa motor aja," komentar Reihan, ketika melewati jalanan yang ramai polisi dan kendaraan berhenti.
"terus SIM lu ketinggalan," lanjut Dipta.
"ga bakal, soalnya udah berniat pamer dari rumah."
Di awal mereka berangkat, jalan kaki dari rumah menuju GOR. Tentu saja pulangnya juga walau Reihan sudah menawarkan untuk naik angkutan umum.
Takut Dipta lelah, padahal anak itu tengah menikmati pemandangan kota sembari berjalan kaki ini. Kendaraan serta asapnya, gedung-gedung tinggi, pejalan kaki seperti mereka, dan panas matahari yang mulai menyambut dunia. Normalnya di kehidupan, tapi Dipta bisa menyebut itu semua indah. Seperti seseorang yang sudah lama tidak keluar rumah.
Berkali-kali menggumamkan kata indah persis di samping Reihan. Sementara orang yang dia ajak komunikasi lebih memilih Dipta sebagai bukti kata indah daripada pemandangan kota pagi.
"jadi gak?" Tiba-tiba menanyakan hal tanpa konteks pada yang lebih muda.
"apanya?" Tanya Reihan heran.
"belajar matematika, bukannya liburan lu mau bebas ya otaknya," tawar Dipta.
Reihan tertawa. "jadii. gapapa puyeng matematika asal sama lu."
KAMU SEDANG MEMBACA
pacar gua (sequel alter) - slow
Teen Fiction"pacar gua, DOANG." isinya Reihan, Dipta, dan teman-teman. sama orang-orang nyebelin yang suka ngaku jadi pacar Dipta. ⚠️bxb, sequel dari alter (kalo mau dibaca langsung ke sini gapapa cuma nama-nama karakter aku ga tulis ulang di sini:D) starts: 0...