3. Keluarga Ellina

32 12 15
                                    

ini aku seriusan kelupaan guys. kemarin malem lupa dan niatnya mau update pagi ini, eh malah lupa lagi. sorry(⁠T⁠T⁠). mohon maaf yang sebesar-besarnya ya cintaku.

***

"Ellina?" Januar mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu di sini?"

Ellina memutar bola matanya dan berdecak kesal. "Ah, gak tau. Cepetan, masih ada pelanggan yang nunggu di luar. Jangan lama-lama." Ellina segera mengambil langkah besar dan keluar dari ruangan karaoke.

Jaenal masih diam membisu. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. Jaenal sampai memijat pelipisnya. "Tadi itu...Ellina?"

Januar mengangkat kedua bahunya. "Kita gak salah liat, kan?"

Jaenal berdesis dan menghela napas. "Dia emang Ellina, sih."

"Tapi kenapa dia ada di sini?"

Jaenal menggelengkan kepalanya tanda bahwa dia juga tidak tahu alasan mengapa Ellina ada di sini. "Mending karaoke-an aja."

Januar mengangguk cepat menyetujui ucapan Jaenal. Karena yang mengajak Jaenal pergi karaoke juga adalah Januar, jadi Januar harus segera melupakan apa yang baru saja terjadi. Tujuan Januar yaitu membuat Jaenal melupakan Ellina untuk hari ini. Januar tidak mau Jaenal berlarut-larut memikirkan Ellina.

Meski kelihatannya, Jaenal juga sudah menyerah.

***

"Aku gak mau jagain studio lagi." Ellina menghadap ke pada sang Ayah dengan kening yang berkerut.

"Dateng-dateng, udah marah-marah. Ada apa?" Ghandi tersenyum menatap Ellina yang sekarang sedang kesal-kesalnya.

"Kenapa Ayah nyuruh Lina buat jaga studio? Seharusnya tadi Lina nolak aja." Ellina memalingkan wajahnya dan pura-pura memainkan ponselnya karena bila dia menatap mata ayahnya saat ini, pasti dia akan merasa luluh.

"Ada satu pelayan yang gak bisa masuk kerja hari ini karena sakit. Jadi Ayah minta tolong kamu buat jagain studio. Cuma sebentar doang." Ghandi mengeluarkan satu lembar uang berwarna merah dari sakunya. "Nih, Ayah kasih upah karena kamu udah mau jagain studio. Walaupun kamu marah-marah sesudah jagain studio." Ghandi terkekeh, lalu tangannya bergerak mengelus surai putrinya. "Makasih, ya."

Ellina menunduk ketika dia merasa wajahnya berubah menjadi panas. Ellina mengambil selembar uang seratus ribu itu dari tangan Ghandi dan memasukkannya ke saku. Ellina menarik napas dan menatap Ghandi. "Makasih," katanya terkesan ketus karena tidak memakai senyuman.

Ghandi tersenyum menyadari anaknya yang sedang kesal, tapi berhasil dia bujuk. Ghandi mengangguk dan pria berumur lima puluh lima tahun itu mengambil kacamatanya. "Lina masuk ke ruangan Ayah buat protes, kan? Sekarang masalahnya udah selesai. Tolong keluar dulu. Ayah mau lanjut kerja."

Ellina jadi tersipu mendengar pernyataan Ghandi yang menyebutkan bahwa dia datang ke ruangannya untuk protes. Itu tidak salah, tapi Ellina merasa malu. Dia sudah mau dewasa tapi kelakuannya masih sama seperti anak-anak.

"Kalau gitu, Lina pamit keluar. Assalamualaikum, Ayah."

Ghandi menganggukkan kepalanya dan menjawab salam Ellina.

Seribu EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang