36. Penculik?

19 9 1
                                    

Pertarungan Naira dengan Malia selesai. Naira yang memenangkannya.

Naira menyeka darah yang keluar dari hidungnya. Naira mendesah frustasi. Hidungnya patah. Naira sudah pernah mengalami patah tulang hidung ketika latihan silat dulu. Jadi ini adalah yang kedua kalinya. Rasanya sama seperti dulu, sakit.

Malia sudah terkapar di atas tanah. Wajahnya babak belur, tak berbentuk. Sepertinya Malia butuh waktu cukup lama sampai wajahnya kembali normal. Bahkan, mungkin saja perlu operasi.

Tapi Naira akui, Malia adalah lawan yang tangguh. Naira kesulitan setengah mati ketika hendak merusak wajah Malia. Malia memiliki tenaga yang besar. Bisa membuat hidung Naira patah adalah tindakan yang keren.

Malia sempat ingin menyerang Naira ketika dia mengetahui bahwa dia berhasil membuat hidung Naira patah. Tapi Naira sudah bisa menduga apa yang akan Malia lakukan. Jadi Naira mengeluarkan sebuah tongkat yang ujungnya tipis dan lentur. Itu bukan senjata yang biasa digunakan untuk pesilat. Naira menyembunyikannya di balik sepatu yang dia pakai. Ketika Naira mengayunkan tongkat tersebut dan berhasil melukai leher Malia, Malia langsung terjatuh. Lehernya berdarah.

Naira menghela  napas panjang. Tugasnya sudah selesai. Naira harus segera kembali bergabung dengan anggota Pasukan Juan yang lain.

Naira menoleh ke kanan-kiri, memastikan tidak ada lagi orang lain di sekitarnya. Di sekitarnya aman, Naira segera berlari untuk mencari teman-temannya. Sepanjang dia berlari, gadis itu terus memegangi hidungnya yang patah. Sesekali Naira mendesis kesakitan ketika dia tidak sengaja menekan hidungnya terlalu kencang.

Langkah Naira terhenti ketika dia melihat dua orang yang terbaring lemah. Satu di antara keduanya terlihat berusaha untuk duduk. Sementara yang satunya lagi masih berbaring. Naira tahu bahwa yang itu masih pingsan.

Naira menelan ludah. Apakah mereka lawan atau kawan? Naira belum tahu dia harus berpihak pada yang mana.

"Anak-anak silat itu..."

Naira membelalakkan matanya. Tidak salah lagi, mereka berdua baru saja berkelahi dengan teman-teman Naira.

Naira berdecih kesal. Kondisinya tidak memungkinkan untuk bertarung, hidungnya patah. Apa yang harus Naira lakukan sekarang?

"Rais, lo gak akan bangun apa?" Pemuda tersebut mengguncang bahu temannya yang masih tak sadarkan diri.

Naira menghembuskan napasnya secara perlahan. Gadis itu menggenggam kuat senjata yang dia pegang, tongkat yang dia pakai untuk mengalahkan Malia sebelumnya. Naira tidak bisa tetap diam di sini. Dia harus segera menemui Juan.

"Hei!" Suara Naira membuat pemuda yang sudah siuman tersebut menoleh ke arahnya. "Ke mana anak-anak silat tadi pergi?" Naira mengacungkan tongkatnya pada pemuda tersebut.

Pemuda itu menatap Naira dengan tatapan dingin. "Siapa lo?"

"Jawab pertanyaan aku."

Pemuda itu menyeringai. Dia kemudian berdiri untuk mencondongkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Naira. Naira sontak melangkah mundur. Naira mengernyit, dia tidak mengerti mengapa ekspresi lawan bicaranya tiba-tiba saja berubah.

"Mau main sama aku sebentar?" Pemuda tersebut menarik dagu Naira. "Nama aku Max," bisiknya tepat di telinga Naira.

Naira berdecih. Dia tidak ada waktu untuk berbasa-basi. Gadis tersebut sontak menarik lengan Max. Naira memutar lengan Max sampai membuat Max menjerit kesakitan. Naira membuat Max berlutut. Naira menatap Max dengan tatapan tajam. "Di mana anak-anak silat? Jawab!" teriak Naira lantang, dia benar-benar marah.

"Lepasin tangan gue, ban*sat!"

Naira menghela napas panjang. "Telinga dipake buat mendengar, mulut dipake buat ngomong. Tapi kayaknya kamu gak ngegunain itu semua dengan baik, ya." Naira menekan lengan Max.

Seribu EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang