6. Hanya Kagum?

27 11 25
                                    

Januar tertawa mendengar cerita Jaenal. Pemuda itu bahkan sampai memegang perutnya. Meski Januar merasa ini lucu, tapi tidak dengan Jaenal. Jaenal serius saat ini.

"Jadi kamu nolak tawaran dia yang ngajak kamu gabung karate?"

Jaenal mengangguk. "Tapi kenapa kamu ketawa?"

Januar mengusap air mata yang berada di ujung matanya. "Lucu aja dengernya. Ngabayangkeun maneh ngomong soal cinta tanah air. Wow...itu bener-bener." Januar mengepalkan tangannya dan menepuk dada kirinya keras.

Jaenal memutar bola matanya. "Aku serius, tau?"

"Iya, tau." Januar mengangguk.

Januar mengambil bola basket yang berada di atas lemari dan melemparkannya pada Jaenal. Jaenal dengan sigap menangkap bola basket tersebut.

"Main basket, yuk."

Jaenal menggeleng pelan. "Capek."

Januar mencibir. Adik kembarnya itu melangkah mendekati Jaenal dan duduk di sampingnya. "Ayo main basket."

"Enggak." Jaenal melotot pada Januar, yang tentunya tidak membuat Januar takut.

"Apa pun masalah maneh, nyak, ku urang dibantuan sok."

"Masalah naon, anjir?"

"Toxic wae sia." Januar mengusap kasar wajah Jaenal, gemas.

Jaenal berdecak. Seharusnya tadi Jaenal tidak curhat pada saudaranya yang menyebalkan. Januar akan membujuk untuk menemaninya bermain apa pun itu. Kadang basket, main game di ponsel, bahkan main masak-masakan juga. Januar tidak menyukai kegiatan yang membosankan. Sementara Jaenal lebih sering diam jika dia memiliki sesuatu dalam pikirannya yang terus mengganggu.

"Aku serius gak boong. Aku punya temen yang udah jadi atlet beladiri."

"Ya terus kenapa sih?" Jaenal menatap Januar kesal.

"Maksud kamu teh apa yang pengen membudidayakan budaya Indonesia teh? Silat, pan?"

"Teuing, ah." Jaenal memalingkan wajahnya dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Januar menghela napas. "Maneh mah, ih. Ditanya teh tara baleg." Januar melempar bantal ke arah Jaenal sebelum dia pergi meninggalkan kamar.

Jaenal menghela napas dan mengusap wajahnya perlahan. Jaenal sedang bingung. Dia tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Apakah dia memang naksir Ellina atau hanya sekedar kagum?

***

"Aku gak akan masuk karate karena sebagai bangsa Indonesia, aku harus membudidayakan budaya Indonesia."

Ellina menggigit bibirnya, mengingat perkataan Jaenal hari ini. Ellina menghela napas dan menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jari lentiknya. Ellina menatap langit-langit ruangan. Kata-kata Jaenal itu membuat Ellina 'sedikit' mengaguminya.

"Mikirin Jaenal?"

Ellina terperanjat mendengar suara yang tiba-tiba muncul. Gadis itu segera menolehkan kepalanya. "Tai!"

Julio terbahak. Pria itu menarik kursi dan duduk di samping Ellina. "Bener, kan?"

Ellina tidak menjawab dan memilih memainkan ponselnya. Julio bisa melihat wajah Ellina yang sedikit memerah. Julio tersenyum dan menepuk bahu Ellina. "Perasaan mah gak bisa disembunyiin. Percaya gak, sih, Na?"

Seribu EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang