40. Pandangan Terakhir

18 9 2
                                    

"Jangan pukulin temen-temen saya, Pak!" Hendra berteriak dari balik jeruji. Hendra sudah lebih dulu ditangkap bersama dengan Akmal, Chenda dan Surya. Hendra yang melihat teman-temannya yang baru diamankan merasa tidak tega karena anggota polisi terus memukuli mereka. Sebagai hukuman, katanya.

Chenda mengangguk, setuju dengan Hendra.

"Anak-anak jaman sekarang gak bisa dikasih tau cuma pake kata-kata!" Salah seorang dari mereka menoleh pada Hendra, memberi tatapan tajam.

Marina menghela napas. Gadis itu menatap Januar yang berlutut dengan kedua tangan  yang terangkat. Marina segera memalingkan kepalanya, merasa bersalah.

"Kerja bagus, Nak." Faidhan mengusap kepala Marina lembut.

Para pelaku yang terlibat berlutut semua. Nathaniel, Malia dan Max tidak ada, mereka dibawa ke rumah sakit  karena luka mereka yang cukup serius, termasuk juga Jidan dan Hasbil yang tiba-tiba demam. Naira yang membuat Malia dan Max seperti itu. Dan saat ini Naira belum berhasil ditangkap.

Sungguh menakjubkan dan dia merupakan satu-satunya perempuan di Pasukan Juan.

"Kalau dari kesaksian mereka, masih ada empat orang yang belum berhasil ditangkap. Dua perempuan dan dua laki-laki. Satu perempuannya merupakan korban."

Yunita memutar bola matanya mendengar itu. Gadis tersebut menoleh, menatap Javian yang penampilannya juga sangat payah. Yunita menghela napas. Dia tidak bersanggup berkata-kata. Yunita kesal, tapi setidaknya dia masih memiliki harapan pada Julio.

"Hei, Nak." Salah satu anggota polisi menatap Yunita. "Kamu yang memulai semua ini, iya?"

Yunita menarik napas dan menghembuskannya. "Ya."

"Dia mau coba bunuh orang, Pak." Raka berseru. Sufyan menyikut perut Raka, menyuruhnya diam.

Yunita menyeringai. "Ada bukti?"

Raka menggertakkan giginya. "Lo bego, hah? Semua orang di sini--"

"Tolong anda diam. Biar Yunita yang menjawab."

Rahang Raka mengeras. Tapi dia memutuskan untuk mengontrol dirinya sendiri.

Juan menguap, menyaksikan yang lainnya sedang diinterogasi. "Kapan giliran kita?"

"Aku kira aku tokoh utamanya. Tapi udah ditangkep polisi duluan." Endra berbisik.

"Berarti Naira tokoh utamanya," balas Setu berbisik.

"Ya, kayaknya gitu." Waiz tersenyum tipis, mengangguk-angguk.

Jaeveer menatap satu per satu anak-anak silat tersebut. Mereka terkesan santai, itu yang Jaeveer pikirkan. Sementara Jaeveer merasa gelisah sekarang. Ini pertama kalinya dia berurusan dengan polisi. Selain itu, dia masih terkejut dengan fakta bahwa Julio juga merupakan penjahatnya dalam kasus ini.

Rayhan sejak tadi memejamkan matanya. Dia terus berdo'a di dalam hati, berharap Jaenal saat ini baik-baik saja.

Akmal tidak berada di sini. Dia bersama dengan Fadey kembali menuju rumah sakit, melihat kondisi Hasbil dan Jidan.

Kondisi Rais dan Pandu cukup baik. Meski ada beberapa memar di bagian tubuhnya, tapi mereka baik-baik saja. Rais memang kalah ketika bertarung dengan Hasbil, tapi itu tidak membuat tenaganya habis. Lebih tepatnya, Rais mengalah karena dia ingin menghemat tenaganya. Sementara Pandu merasa bahwa semua orang yang dia hadapi hanya orang-orang yang tidak sebanding dengannya.

Ihsan dan Ganapatih, keduanya merasakan sakit di seluruh badannya. Tapi meski begitu polisi melarang mereka untuk ke rumah sakit. Ganapatih sempat memohon untuk dibawa ke rumah sakit. Tapi polisi menolak, khawatir itu hanya tak-tik untuk melarikan diri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Seribu EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang