CHAPTER 44
Kania tidak mau membahas itu lebih jauh, kesal dengan Abraham. Beberapa waktu Kania hanya diam memperhatikan Abraham yang sering menatap Eysha dari spion dengan sorot mata yang bisa Kania artikan, tatapan sayang itu.
"Kalian jadi tunangan?" tanya Kania.
Eysha menggeleng. "Mama sama Papa belum bisa kasih izin, Kan."
"Gak apa-apa, masih bisa berteman." Abraham menambahi.
"Iya. Tunangan itu mungkin cuma sebatas status, yang penting gimana perasaan kalian berdua," kata Kania. Mungkin kali ini benar waktunya untuk merelakan, Kania tidak bisa berlama-lama untuk bersikap asing seperti ini hanya karena perasaan tak terbalasnya.
"Ngomong-ngomong, ternyata selama ini orang tua gue sering nanya-nanya tentang gue ke lo, ya, Kan? Kenapa lo gak pernah bilang?" tanya Eysha.
"Beneran?" tanya Abraham dari depan.
Kania mengangguk. "Maaf, ya, Sha. Itu kemauan orang tua kamu biar aku gak bilang-bilang. Mereka selalu sayang dan khawatir sama kamu, Sha. Maaf aku harus selalu laporan apa aja yang udah terjadi, maaf kalo itu privasi kamu."
Eysha tersenyum kecil. "Makasih, Kan."
"Beneran?! Gue baru tau." Abraham kembali bersuara.
"Bener, Abra!" jawab Kania kesal.
"Di mana Brasha?" tanya Kania setelahnya.
"Ada di rumah gue, Kan," jawab Eysha.
Kania mengangguk paham. "Kalo kalian menikah nanti, janji jangan pernah lupain aku, ya? Aku ngerti kalo hidup setelah menikah pasti akan beda, tapi aku masih sahabat kalian, kan?"
"Ya ampun, Kania. Apa pun yang terjadi antara gue sama Abraham gak akan merubah pertemanan di antara kita. Udah 13 tahun kita temenan, gak mungkin gue sama Abra lupain lo," ujar Eysha, menepuk-nepuk punggung Kania karena wajah perempuan itu mendadak sendu.
"Hidup terus berjalan dan lo pun bakal ketemu sama laki-laki, lalu menikah. Bener kata Eysha, apa pun yang terjadi di antara kita gak akan merubah kita yang dulu sampai saat ini," ujar Abraham.
"Janji?" Kania menunjukkan kedua jari kelingkingnya kepada Eysha dan Abraham, yang langsung ditautkan keduanya.
"Janji!" jawab Eysha dan Abraham serempak.
"Gimana sama Bryan? Dia serius sama lo?" tanya Abraham.
"Aku sama dia cuma berteman, Abra! Kenapa sih selalu tanya Bryan?" Kania jadi kesal lagi, walaupun gaya bicaranya tetap lucu.
Abraham terkekeh dengan wajahnya yang meledek. "Kirain udah lebih dari temen."
"Tapi Bryan bener-bener udah lupain mantannya itu? Padahal pacaran 8 tahun," ucap Eysha penasaran.
Kania mengangkat kedua bahunya tanda ia tidak tahu. "8 tahun emang bukan waktu yang singkat, aku gak tau pasti juga, Sha, gimana perasaan Bryan sekarang. Tapi menurut aku pasti dia belum rela sebenarnya."
"Mungkin Bryan lagi berusaha buka hati buat lo, Cil. Tapi jangan buru-buru ya, biar gak terjadi hal yang gak diinginkan," peringat Abraham. Ia pastinya tidak mau Kania sampai sakit hati karena salah memilih pasangan lagi.
Kania paham, memilih seseorang untuk menjadi pasangan memanglah tidak mudah. Banyak hal yang harus disatukan, bagaimana juga perihal hati? Bagaimana jika hanya salah satunya yang punya rasa?
Melihat Eysha dan Abraham senang memiliki hubungan itu, Kania rasa sudah saatnya untuk tidak lagi berharap dan memendam rasa. Sampai kapan pun Abraham akan tetap menjadi temannya, teman terbaiknya selama 13 tahun terakhir. It's time to let go.
***
Calvin Nial Yordan : Harusnya lo dan Eysha tau apa isi hati Kania selama ini. Kalian terlalu egois mentingin hubungan gak jelas itu.
Itu pesan masuk di ponsel Abraham, pagi-pagi sekali saat Abraham baru saja terbangun dari tidurnya. Abraham tidak mengerti apa maksud dari pesan Calvin, ada apa dengan Kania? Menjawab kebingungan Abraham, Calvin mengajaknya untuk bertemu di salah satu tempat.
Dengan perasaan bingung Abraham memutuskan untuk menemui Calvin tanpa Eysha. Perihal Kania juga merupakan hal yang penting untuknya. Dan di sinilah mereka sekarang, di danau dekat rumah Kania, tempat kesukaan ketiga sahabat itu.
"Langsung intinya aja, apa maksudnya?" tanya Abraham, menatap lurus ke danau di depan.
"Lo berdua itu egois. Terutama lo, Abraham. Lo tau gue sama Eysha baru aja cerai, terus lo ngajak Eysha buat bersama? Lo kira semudah itu buat Eysha lupain apa yang udah pernah terjadi? Termasuk traumanya?" ujar Calvin.
Abraham terdiam, selama ini ia hanya berusaha membuktikan kepada Eysha bahwa perempuan itu tidak pernah sendirian, Abraham hanya ingin Eysha tetap merasa hidup. Tetapi apakah sikapnya selama ini adalah egois? Ia jadi berpikir apa yang Calvin ucapkan ada benarnya.
"Terus apa maksud lo soal Kania?" Abraham menoleh. "Isi hati Kania?"
Calvin tertawa remeh. "Lo terlalu fokus sama Eysha. Apa lo tau kalo sebenarnya Kania suka sama lo? Gak, kan? Lo pikir gimana selama ini Kania liat perlakuan lo ke Eysha yang lebih dari temen itu."
Abraham mengerutkan keningnya, tidak terkejut tetapi justru tidak percaya. "Lo tau dari mana? Gak mungkin," jawab Abraham biasa saja.
Calvin mengeluarkan ponselnya dan memutar satu rekaman suara yang ternyata ia ambil diam-diam dari belakang saat itu, saat Kania tengah mengeluarkan isi hatinya di taman. Kala mendengar adanya nama Abraham yang disebut, cepat-cepat Calvin langsung mengeluarkan ponsel untuk merekam walaupun ada kalimat yang tidak terambil.
"Sama, Abra. Aku juga akan melakukan itu untuk kamu. Liat kamu begitu senang dan antusias ceritain gimana Eysha, aku cukup tau diri. Berapa banyak tangisan yang udah aku lakuin gak akan merubah kalo siapa yang kamu cinta adalah Eysha. Jadi, aku pikir aku gak perlu nangis lagi."
"Mungkin perasaan yang aku punya untuk kamu cuma sesaat. Aku percaya nanti semuanya akan berhenti saat kamu dan Eysha benar-benar menikah. Aku senang liat kalian senang, Abra, Eysha. Kayaknya klise, ya? Tapi emang itu yang aku rasain."
"Jelas?" tanya Calvin.
Abraham mendengarkannya dengan serius, itu benar-benar suara Kania. Ia tidak menyangka apakah benar Kania menyukainya? Kenapa selama ini tidak pernah terlihat begitu? Jangan-jangan alasan dari menjauhnya Kania adalah dirinya sendiri.
Abraham tidak bisa menjawab apa-apa, terlalu mengejutkan untuknya.
"Seharusnya kalo lo sahabat Kania juga, lo gak sejauh ini sama Eysha. Kalian itu bertiga, bukan cuma berdua. Lo juga lebih tau gimana kehidupan Kania yang selalu sendirian, terus lo berdua juga milih buat misahin diri? Gak usah munafik dengan bilang kalian akan tetap bersahabat, Kania gak sebodoh itu," kekeh Calvin.
"Kenapa lo bisa rekam itu?" tanya Abraham, tidak bisa mencerna dengan baik. Ia harus menemui Eysha atau Kania terlebih dahulu?
"Apa lo pernah mikir kalo gue nemuin Kania di taman lagi ngomong sendiri dalam keadaan sedih?"
Abraham benar-benar seperti mendapatkan berita yang tidak pernah tertebak sama sekali olehnya. Bagaimana bisa selama ini Abraham bahkan Eysha pun tidak menyadari?
"Thanks, Vin." Setelah berucap itu Abraham langsung pergi dari tempat itu, meninggalkam Calvin yang mungkin sudah merasa menang.
Abraham membawa kendaraannya menuju rumah Kania yang sangat dekat dari danau tadi, tetapi ia juga tidak tahu apakah hari ini Kania bekerja atau tidak. Di sepanjang perjalanan Abraham seperti mengingat satu kejadian saat berada di rumah Kania.
Selembar kertas.
"Eysha, Abraham, kalian itu sahabat aku. Aku takut kalo suatu saat nanti kita harus berpisah, kalian berdua dan aku tinggal sendirian. Aku nggak tau gimana nantinya kalo harus jadi sendirian setelah bertahun-tahun kita bertiga, aku juga nggak bisa bohong kalo aku sering kali ngerasa gak baik-baik aja."
Apa sebenarnya benar apa kata Calvin bahwa ia dan Eysha terlalu egois untuk Kania?
Setelah baca tolong kasih vote yaa!!💓
KAMU SEDANG MEMBACA
Expect a Happy Ending [pre-order🧚🏻♀️]
Teen FictionSegalanya terasa hancur ketika Eysha Malinka menyadari bahwa ada manusia lain dalam dirinya-seorang anak yang belum siap ia hadirkan ke dunia. Meskipun telah berkali-kali merasakan kehilangan, kenyataan tetap tak berubah: ia dan kekasihnya telah mem...