CHAPTER 15
Kalau aku tidak pernah menjadi pilihan hatimu, setidaknya izinkan aku untuk menjadi teman terbaikmu. Karena sampai kapan pun, aku tidak akan pernah memilih jalan untuk meninggalkan kamu sendirian, meskipun setelah hal menyakitkan yang aku terima.
Mungkin seperti itulah sekiranya isi hati Abraham. Ia mencintai Eysha dengan tulus, atas segala hal yang sudah ia terima, ia tetap menyadari bahwa cinta itu akan tetap ada. Cinta pertama, Abraham tidak pernah tahu sebahagia ini rasanya memiliki seseorang yang dicinta.
Abraham tidak lagi menangis menunggu kabar kepulihan Eysha dari luar ruangan, di sebelahnya ada Kania yang tertidur pada lengannya. Kania pasti lelah, perlahan Abraham mengusap puncak kepala Kania. Perempuan itu sudah terlalu banyak menangis.
Tadi, ada keributan yang besar antara Calvin dan ketiga temannya. Kenzo, William, dan Bryan sungguh tidak menyangka Calvin akan melakukan hal seperti itu, yang benar-benar sudah melewati batas.
Yang Abra lihat dan dengar, ketiganya pergi begitu saja setelah meluapkan emosi dan memberikan beberapa pukulan. Calvin tampak tak berdaya dan terdiam bisu membiarkan mereka pergi, karena mau melawan seperti apa pun, dirinya tetap salah, kan? Tetapi beruntungnya, kedua orang tua Calvin sedang tidak ada di rumah.
Calvin tidak datang, padahal Abraham sudah memaksanya untuk bertanggung jawab. Kata Calvin, ia harus mempersiapkan diri untuk berhadapan dengan kedua orang tua Eysha.
"Sha, andai lo tau perasaan gue dari lama, apa ada kesempatan buat gue? Bahkan di saat keadaan lo kayak sekarang, lo ngandung anak dari laki-laki lain.. gue tetap cinta, Sha," ujar Abraham begitu saja, ia menundukkan kepalanya, rapuh.
Ada pergerakan dari Kania di sebelahnya, pasti baru saja terbangun.
"Abra? Udah jam berapa ini?" tanya Kania yang melihat sekeliling dengan bingung.
"Jam 11. Mau pulang?"
Kania menggeleng kecil. "Mau tunggu Eysha."
"Udah malam, lo perlu istirahat. Gue antar, ya?" tawar Abraham, khawatir.
Kania menggeleng lagi. "Abra juga perlu istirahat. Gak apa-apa, Kania temani."
"Kasian Eysha pasti sedih anaknya meninggal satu," ujar Kania yang teringat lagi.
"Udah, nanti lo nangis lagi," peringat Abraham. "Susah ditenanginnya."
Kania kesal, wajahnya ditekuk. Ia mulai mengoceh sendiri seperti kebiasannya, menjelekkan Abraham dengan suara kecil.
Kania bersandar pada lengan Abraham, ia menatap lurus ke depan. "Abra suka, kan, sama Eysha?" tanyanya tiba-tiba di antara sepinya malam.
Tubuh Abraham sedikit bergetar, pertanyaan itu sungguh tidak ia tebak. "Kok lo nanya gitu, Kan?"
Kania tersenyum kecil tanpa menatap Abraham, matanya pun masih sembab. "Gue tau kok. Selama ini, gue selalu liat. Dari tatapan, perlakuan lo ke Eysha, semuanya."
Abraham diam, tidak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan ini terlalu mendadak baginya, ia tidak pernah menyiapkan jawabannya. Bahkan Abraham baru ingat perkataan Kania tadi saat perjalanan ke rumah sakit.
"Iya, kan, Abra?" tanya Kania sekali lagi.
"Kalo gue boleh tau, apa yang buat Abra suka sama Eysha?"
Tetap tidak ada jawaban. Abraham hanya diam.
"Tapi, Abra tau Eysha pacar Calvin," ujar Kania kecil. "Abra gak pernah, ya, liat sekitar? Kalo ada yang cinta sama Abra, tulus."
Abraham mendelik. Siapa itu?
Setelah baca jangan lupa kasih vote yaa!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Expect a Happy Ending [pre-order🧚🏻♀️]
Roman pour AdolescentsSegalanya terasa hancur ketika Eysha Malinka menyadari bahwa ada manusia lain dalam dirinya-seorang anak yang belum siap ia hadirkan ke dunia. Meskipun telah berkali-kali merasakan kehilangan, kenyataan tetap tak berubah: ia dan kekasihnya telah mem...