Suara burung gagak terdengar dari kejauhan, langit berwarna jingga kemerahan menandakan petang telah datang. Kehidupan siang kota Roppongi yang sibuk kini beralih menjadi lebih hidup, kehidupan malam kota ini tak kalah ramainya.
Di jalanan menuju apartemennya gadis itu berjalan tanpa alas kaki dan seragam yang basah. Bahkan airnya masih menetes dari rambutnya, matanya sembab dan memerah. Sebuah lebam kebiruan di pipi kirinya membuat penampilannya semakin kacau. Walau tak sekacau pikirannya saat ini.
Nami berhenti di sebuah jembatan menoleh ke arah seberang jalan, melihat matahari yang mulai terbenam perlahan. Indah tapi menyakitkan.
"Sayang sekali ya, walau aku melompat ke sungai aku tak akan mati dengan tenang"
Setelah bermonolog dan melihat matahari hingga terbenam sepenuhnya Nami memutuskan untuk pulang.
Ia langkahkan kakinya yang hanya berbalut kaos kaki itu, hari ini benar-benar membuatnya lelah. Karena malam ini adalah malam Sabtu jadi Nami tak khawatir ibunya akan pulang lebih awal. Nami bisa beristirahat dan ibunya yang sedang lembur tak akan bertanya tentang hal ini.
Aku sedikit bersyukur hari ini, setidaknya ibu tak akan bertanya ini itu
Apartemen yang tak terlalu besar itu hanya ditinggali oleh Nami dan ibunya. Orang tua Nami berpisah sejak Nami duduk di bangku Sekolah Dasar kemudian mereka berdua pindah ke apartemen mereka saat ini.
Menjadi single parent bukanlah hal yang mudah, karena tahu hal itu selama ini Nami tak banyak menuntut pada ibunya. Tapi karena terlalu sibuk bekerja menjadikan Nami menutup diri, membuat tembok tinggi dan memberi jarak dengan alasan agar ibunya tak khawatir.
Nami berusaha susah payah menaiki tangga, kakinya lecet dan luka. Iya ingin menangis sekencang-kencangnya saat ini, menumpahkan semua emosinya. Walau realita kehidupan selalu membawanya kembali sadar. Ia tak bisa melakukannya.
Nami berjalan dengan tatapan kosong hingga sampai didepan pintu apartemennya. Merogoh saku jasnya mencari kunci, namun nihil kunci itu tak ada di sana. Nami berpikir apakah jatuh saat di sungai.
Tak mungkin kan?
Ia mencari kedalam tasnya dengan panik, hingga tak menyadari seseorang yang memperhatikannya sejak tadi. Laki-laki dengan rambut panjang dikepang itu, bersandar pada besi pembatas.
"Aku tak tahu jika ada badai hari ini"
Mendengar suara seseorang membuat Nami berhenti melakukan kegiatannya, Nami menoleh ke arah suara itu datang.
"Kau sangat berantakan"
Nami tau siapa dia, Haitani Ran, kakak kelasnya dan juga tetangganya. Nami sangat jarang bertemu dengan keluarga Haitani, bahkan selama Nami tinggal disini bisa dihitung dengan jari.
Sebagai jawaban dan sopan santun Nami hanya membungkukkan badannya memberi salam. Teringat dengan kuncinya seketika Nami ingat, ia langsung merogoh saku rok.
Akhirnya ketemu
Setelah itu Nami segera membuka pintu dan masuk begitu saja tak menghiraukan Ran. Nami langsung menuju kamar mandi, mencuci seragam sekolah dan membersihkan diri. Beberapa menit setelahnya Nami pergi ke balkon menjemur tas dan buku, lalu ke kamarnya untuk merebahkan tubuhnya. Dan menangis.
Menangis dalam diam. Walau Nami tahu ia sedang sendirian saat ini, sudah menjadi kebiasaannya menangis tanpa suara. Hanya air matanya yang mengalir dengan deras dan sesak yang ia rasakan.
Menangis dimalam hari merupakan pelarian yang dapat Nami lakukan. Hanya itu. Dirinya tak memiliki tempat untuk bercerita yang ia percaya. Apalagi sejak ia dibully oleh Erika dan para anteknya. Hidup yang awalnya tenang kini menjadi neraka bagi Nami. Menangis diam-diam tak lagi membuatnya lega. Ya walau setidaknya sedikit bebannya hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
; | Semicolon
Fiksi Penggemar[Bahasa Indonesia] ⚠️ Trigger Warning⚠️ [Karena cerita di book ini mengandung scene atau adegan su*c*de, dan kekerasan yang mungkin dapat mengganggu sebagian orang, harap bijak dalam membaca. Terima kasih] ___________________________________________...