《 Hidup 》

698 45 1
                                    

Malam yang dingin tidak membuat seorang Everest putar balik menuju rumahnya, justru dengan tampang tengil yang berlagak jago ia menendang udara seolah ada orang didepannya.

"Nyahahaha! Tidak ada yang membuat Everest Ice Maverick takut!" Baru saja ia bicara demikian, Everest mendengar suara jeritan tertahan dari arah depan komplek perumahannya.

Sontak saja wajah yang tengil tadi berubah menjadi wajah ketakutan, "Wanjir, apaan itu?!" Takut tapi mencoba berani, itulah Everest Ice Maverick. Dengan pelan namun pasti ia mendekati rumah kosong yang bersuara tadi.

Saat sampai dikawasan halaman rumah itu dengan bulu kuduk yang berdiri Everest mencoba mengintip dari jendela yang berdebu, "Jadi pengen e'ek!"  Gerutunya dan semakin kuat memegang buku dengan sampul hitam-biru.

Iris biru laut itu melebar dan tidak sengaja menjatuhkan bukunya, ia menangkap siluet seseorang yang sedang menggorok leher perempuan menggunakan garpu. Everest membeku tidak tahu harus membuat apa, namun dalam beberapa menit ia bisa menguasai kesadarannya, dengan cepat dirinya mengambil buku tadi dan berlari menjauhi tempat kejadian, melanjutkan langkahnya menuju tujuan utama yaitu warung.

Sesampainya di warung, Everest segera mengambil barang yang akan dibeli, " Bi, ini berapa?" tanya Everest kepada pemilik warung seraya menunjuk barang yang dimaksud.

"Seribuan," jawab pemilik warung acuh dan melanjutkan mengoles lipstik di bibirnya.

"Beli lima, Bi." Everest menyerahkan uangnya dengan nominal lima ribu.

Setelah selesai Everest kembali pulang, namun saat didepan rumah kosong tadi entah kenapa Everest menghentikan langkahnya dengan badan yang kaku, "Sepertinya kita ketahuan." Suara berat dengan intonasi mengejek membuat Everest kesal namun takut.

Rupanya saat Everest mengintip ia diketahui oleh salah satu dari mereka, yang berbaik hati menunggunya dengan pisau penuh darah di lengan kanan seseorang menggunakan jaket hitam dan topi yang menutupi setengah wajahnya.

Glup!

"S-Saya tidak melihat apa-apa kok, Bang. Saya hanya numpang lewat untuk beli cemilan buat baca nanti, suer dah!" ujar Everest dengan tangan kanan berbentuk peace.

"Kita apakan dia?"

"Bunuh atau simpan diruang bawah tanah?" tanya mereka berdua ke orang yang berada ditengah mereka, membuat Everest keringat dingin.

"Bunuh."

"Eh! Jangan dong!!" Mereka bertiga tidak mengindahkan ucapan Everest, salah satu dari mereka memerintah kepada dua rekannya untuk menyeret Everest ke rumah kosong tadi.

"Please, biarkan gue baca novel dulu!! Udah lama gue nabung untuk tuh novel, setidaknya gue berbahagia dulu sebelum mati!!" Everest memohon dengan kedua tangan yang menyatu.

Salah satu dari mereka yang mungkin pemimpin tidak mengindahkan dan terus menyuruh kedua rekannya menyeret Everest walaupun susah karena Everest terus berontak.

"Hadeh, udahlah, Bos. Kita biarkan aja dia baca buku, udah gitu kita lubangi kepalanya," ujar seorang pria dengan perawakan pendek, "Oke. Tapi kalo lama kita mutilasi saja dengan keadaan sadar."

Everest pun diperbolehkan untuk membaca novelnya yang dibawanya sedari tadi, dengan semangat Everest membacanya sesekali bergumam kesal dan senang.

Beberapa jam kemudian Everest telah menyelesaikan bacaannya, menutup buku novel itu dengan tatapan kosong, "Udah? Lama bener."

"Udah," ujar Everest tanpa selera.

"Mari kita bunuh!"

"Cabut kukunya."

Sebuah kamar yang gelap disalah satu rumah yang hangat, hanya lampu dimeja belajar saja yang menyala. Terdapat seorang remaja yang tertidur dengan selimut yang menggulungnya bagai ulat.

Ini sudah lima hari dirinya dikurung karena kesalahannya, dan lima hari pula dirinya tidak mendapatkan asupan nutrisi bagi tubuh.

Tubuhnya yang kurus dengan katong mata yang menghiasi wajahnya, sekarang dirinya persis seperti mayat, tinggal tiduran saja mungkin mereka menganggapnya sudah tidak ada yang membuat mereka senang.

"Lapar. Apa mereka masih ingat bahwa ada anak mereka yang lain?" ujar remaja itu yang mulai terisak kembali.

"Lelah, padahal selalu istirahat tapi kenapa rasanya begitu lelah?"

"Istirahat yang benar yaitu tidak bernapas."

"Kata Bu Guru, kita harus menunggu jemputan untuk bertemu dengah-Nya, tapi aku ingin mandiri tanpa ada yang menjemput."

Remaja itu terus bergumam dan tanpa sadar sudah mengambil cutter, mengarahkannya ke nadi yang mengaliri darah keluarganya, tapi tak dianggap. Miris.

"Apa yang aku lakukan?!" Seolah sadar dari bisikan syaitan, dirinya melempar cutter tadi dan kembali tiduran dengan bantal diatas kepala, menghambatnya untuk bernapas.

Karena pasokan oksigen yang menipis membuatnya sangat tersiksa namun dia sudah tidak tahan lagi dengan penghuni dunia ini.

River Veron Chandrakanta meninggal didalam kamarnya tanpa sepengetahuan orang rumah.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Jangan lupa vote ya.
AYOK CEPET VOTE ☟

RivEstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang