"Kemana perginya dia?" Dua hari sudah Alaska tidak melihat sosok River di sekolah setelah kejadian itu, Alaska sudah mencarinya ketempat yang selalu didatangi oleh Everest namun tetap saja tidak menemukannya.
Sekarang hari ketiga Alaska bersekolah tanpa Everest yang mengganggunya, membuat Alaska bosan berada di sekolah. Tak terasa sangat amat tidak terasa sudah waktunya pulang sekolah, Alaska dengan lunglai berjalan di lorong dengan aura pekatnya.
Saat tiba di parkiran, Alaska langsung menuju motornya tanpa menghiraukan segerombolan gadis yang selalu mengganggunya, ralat hanya satu gadis dari segerombolan.
Menyalakan motornya dan segera memakai helm, gadis dengan name tag Viola Lxora M. masih ada di depannya untuk menghalangi Alaska. Padahal temannya sudah duluan membeli jajanan.
"Apa kau bosan hidup?" tanya Alaska datar dengan tangan yang dilipatkan didepan dada.
"Kak Aska, ak---" ucapan Viola terpotong karena ucapan Alaska, "Don't call me by that name." Rahang Alaska mengeras dengan gigi yang bergemeletuk.
Viola justru tersenyum miring walau samar, "Kenapa?" Alaska dengan mudahnya menjawab, "Karena itu panggilan kesayangan dari orang tersayang."
"Bukankah itu aku? Karena aku yang memanggilmu begitu."
"Orang tersayangku bukan dirimu." Alaska segera menjalankan motornya tanpa menghiraukan Viola yang mendengus kesal.
"Sialan! Yakali dia homo?!"
࿄
Air mata langit yang di curahkan dari awan-awan kelabu saat matahari masuk ke dalam cakrawala hingga cahaya aram benar-benar hilang.
Baju seragam sekolahnya sudah basah dengan air hujan, tidak membuatnya mengurungkan niat untuk melepas lelah.
Menghela napas saat merasakan dingin yang menusuk tulang, namun ini Alaska yang berkepala batu.
Sudah hari ketiga dirinya merindukan seseorang, sudah hari ketiga juga dirinya diganggu oleh seorang gadis cantik.
Dan sudah tiga hari dirinya dipaksa untuk pulang ke rumah keluarganya, Alaska dipaksa pindah ke London.
Alaska ingin bertemu dengan Everest untuk berpamitan. Ia diberi waktu untuk tinggal disini selama tiga hari. Sekarang, kalau dirinya pergi tanpa berpamitan dengan Everest, Alaska merasa bersalah walaupun dia tahu kalau Everest tidak akan sedih dengan kepergiannya.
Drrtt!
Drrtt!
Drrtt!
Kantung celana berwarna hitamnya bergetar, Alaska memarkirkan motornya ditepi jalan. Merogoh kantung celananya dan mengambil ponsel yang terus bergetar.
"Halo?"
"Halo, Al. Kamu dimana? Penerbangan bentar lagi loh."
Alaska menghela napas sebelum menjawab, "Iya ini mau pulang." Setelahnya menjalankan motor menuju mansion keluarga Lechlan.
Saat mengendarai motornya dijalan, Alaska melihat bayangan seseorang yang di rindunya. Namun, bayangan itu seketika menghilang saat Alaska melewati pohon hias ditepi jalan.
"Sialan!" Dengan terburu-buru Alaska memarkirkan motornya didekat tiang listrik, mengambil kunci motor dan segera berlari ke salah satu gang yang mungkin dimasuki oleh bayangan itu.
Tiba di bibir gang, Alaska tidak melihat seorang pun. Hanya ada lampu jalan yang redup dan banyak sampah berserakan.
"Huftt, I think I'm starting to go crazy." Namun Alaska justru melangkah semakin dalam, melihat setiap sisi gang sempit itu.
"Yeah, aku mulai gila karena membuang waktu masuk ke gang kotor ini." Seolah sadar apa yang diperbuatnya, Alaska memutar badan untuk kembali, tidak ada kejadian apapun sampai akhirnya Alaska sampai dikediaman keluarga pemilik tubuh.
࿄
Alaska sudah duduk manis di kursinya seraya menonton salah satu kartun kesukaan Everest, dirinya menonton itu untuk mengingat Everest yang menyukai karakter di kartun itu.
Alaska menaiki pesawat Kelas First Class beserta kedua orang tua pemilik tubuh. Saat lagi asyik menonton dengan pemikiran yang melayang, Alaska dikejutkan oleh pramugari yang mendatanginya.
"Sorry to bother you, would you like to order food?" ucap pramugari dengan senyuman manisnya, "Japanese food menu, please."
"Okay, please wait." Setelah menjawab pramugari itu pergi dengan senyum manis yang masih melekat di bibirnya.
Kepergian pramugari membuat Alaska mencebik tanpa alasan, menunggu makanannya datang Alaska melanjutkan menonton kartun BoBoiBoy yang sudah besar.
"Apakah Kakakku menonton ini karena bocil bertopi aneh itu? Kalo iya, apa hebatnya?!" gerutu Alaska saat mengingat Everest yang selalu menceritakan karakter yang berada di kartun yang ditontonnya.
࿄
"Kemana perginya Si Aska?" tanya seorang remaja bertubuh ringkih didepan pintu Apartemen.
Dirinya sudah mengetok dan berteriak kecil namun tidak ada yang menjawab.
"Eh, Nak? Kenapa berdiri terus disini?" Ibu-ibu yang tadinya mau masuk ke kamarnya namun urung saat melihat anak kecil seperti tersesat, "Maaf, Bu. Pemilik kamar ini lagi kemana ya kalau boleh tau?" tanya remaja itu sopan.
"Kamar 313 ya... Hm, kalo gak salah dia sudah pindah dek dari kemarin," jawab Ibu itu yang membuat remaja berbaju kaos putih polos dengan celana hitam pendek selutut tersentak tidak percaya.
"Ibu tau dia pindah kemana?"
"Maaf, Ibu gak tau. Yasudah ibu masuk dulu ya, Nak. Atau mau mampir dulu?" Tawar Ibu itu namun ditolak dengan halus oleh remaja yang terlihat kantung matanya.
Setelah Ibu itu masuk, remaja yang diketahui bernama River namun diisi oleh jiwa yang bernama Everest meluruh ke bawah.
Penopangnya telah pergi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Ciah pada jauh-jauhan! Mana lupa nanya nomor HP lagi.
Ckckckck, tak patut tak patut.
HOY! JANGAN BACA DOANG VOTE JUGA DONG!
KAMU SEDANG MEMBACA
RivEst
FantasyEverest Ice Maverick yang meninggal karena melewati rumah kosong, harus menerima kenyataan bahwa dirinya berpindah raga ke salah satu karakter novel yang dibacanya sebelum meninggal. "Oh, ini rumahku? Kok kayak bukan rumah?" "Katanya rumah tempat ki...