Chapter 19: Email

103 22 0
                                    

"LILY, bangun."

Lily membuka kedua matanya yang masih terasa begitu berat. Di hadapannya, ada Mike yang sudah berpakaian rapi serba hitam. Raut wajahnya datar, tak seperti Mike biasanya yang bersemangat dan selalu tersenyum lebar.

"Bangun. Ayo, pergi."

"Kemana, Mike?"

"Pemakaman bibi Ren."

Setelah mendapatkan penjelasan dari Mike bahwa bibi dari Ren, Naomi, meninggal tadi dini hari, Lily pun segera bangun dan bersiap-siap. Jujur saja, Lily merasa kaget sekali mendengar berita itu. Pasalnya, rasanya baru beberapa hari yang lalu Ren dan Lily membicarakan soal ini. Namun, dibanding itu semua, Lily lebih memikirkan perasaan Ren. Bagaimana dengan Ren? Apakah dia merasa sedih?

Lily tak mau Ren merasa sedih.

Ketika Lily berjalan menuju ruang tengah, dia mendapati Ren yang sedang duduk bersandar di sofa dengan pakaian serba hitam sambil memejamkan kedua matanya, tampak tertidur. Mereka belum berbicara lagi sejak perdebatan mengenai jepitan rambut kemarin malam. Lily memilih untuk tidak ikut foto bersama malam itu dan sempat menimbulkan tanda tanya di antara Mike, Claude, Marie, dan lainnya.

Ruang tengah ini rapi dan indah sekali. Mereka bekerja keras untuk mendekorasinya dengan Claude sebagai si pemilik ide untuk dekorasinya. Seharusnya, pagi ini, mereka saling membuka kado seperti yang Mike jelaskan kepada Lily, tapi nyatanya, pagi ini begitu dingin. Bukan karena suhu dari musim yang memang sewajarnya dingin. Namun, karena berita buruk yang menimpa Ren pagi ini.

Sepertinya, sinterklas tidak mengabulkan permintaan Lily untuk memberikan kebahagiaan kepada Ren.

"Hei," tegur Claude, menjentik dahi Ren, membuat lelaki itu terbangun. "Saatnya berangkat. Kau malah tertidur."

Ren hanya menghela napasnya kasar, lalu bangun dari posisinya, membenarkan rambutnya yang tampak sedikit berantakan. Ren menoleh ke arah Lily yang juga berpakaian serba hitam. Kedua mata mereka sempat bertabrakan, tapi Lily buru-buru mengalihkan pandangannya karena canggung. Ren pun berlalu melewati Lily, menyentuh kepala Lily pelan, sebelum lelaki itu berjalan mendahului Lily. Satu bentuk basa-basi kecil yang sebenarnya belum cukup hangat untuk mencairkan kecanggungan akibat kejadian tadi malam.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan lama, akhirnya Ren, Mike, Lily, Claude, dan para penjaga lainnya tiba di pemakaman Naomi. Sejujurnya, Ren sedikit kaget ketika tiba disana karena ternyata, tubuh Naomi sudah dikremasi bahkan tanpa menunggu Ren tiba untuk melihat bibinya terakhir kali. Ya, mereka memang tak dekat. Namun, setidaknya, Ren pernah tinggal di rumah Keith dan Naomi selama sebelas tahun namanya. Berat sekali untuk meninggalkan rumah itu bukan karena Ren tak mau, tapi dengan segala ketakutan dan kekhawatiran yang ada. Namun, setidaknya, bagaimanapun, Naomi tetaplah keluarga Ren.

"Tunggu, apa?" Mike mengernyitkan dahinya. "Sudah dikremasi? Tapi, kita baru saja tiba di sini."

"KAU!"

Semua mata menoleh ke arah suara hardikan yang menggelegar ke seluruh sudut ruangan yang bergema ini. Dari kejauhan, Keith datang dengan wajah marah dan langkah kaki yang cepat menuju Ren.

Bugh!

Ren terjatuh saking kuatnya tenaga yang Keith daratkan untuk satu pukulan di wajah Ren. Bahkan, bibir Ren sampai berdarah. Dalam hitungan detik, para penjaga bertubuh besar berjas yang ada di belakang Ren, Mike, dan Claude sedaritadi, lantas berdiri di depan Ren, dengan sigap memasang badan untuk melindungi Ren dari pria yang tengah berapi layaknya kembang api tahun baru tersebut.

"Bagaimana mungkin kau bisa baru datang setelah bibimu dikremasi?!" hardik Keith, penuh amarah. "Dasar kau anak tak tau diri! Aku yang membesarkanmu dan kau selalu saja sesukamu!"

Hening, cukup lama. Semua pasang mata tertuju pada Keith dan Ren. Lily masih melebarkan kedua matanya kaget, benar-benar tak percaya kalau pukulan itu bisa terjadi secepat itu dan tak disangka-sangka.

Ternyata, dia? Dia adalah lelaki yang bernama Keith?

"Kenapa kau memutuskan untuk mengkremasinya secepat itu?" Semua mata tertuju kepada Ren. Lelaki itu menatap Keith dengan tatapan penuh amarah, seperti sepasang mata dari hewan buas yang dibangunkan dari tidurnya. "Apa yang kau sembunyikan? Kau melenyapkan barang bukti? Kau menghindari agar dia diotopsi? Itu maksudmu?"

"Kurang ajar! Kau beraninya menuduhku seperti itu?!" Emosi Keith semakin memuncak, pria itupun berusaha mendekati Ren kembali, tapi jajaran penjaga berusaha melindungi Ren. "Manusia tak tau diri! Harusnya koreksi dirimu sendiri mengenai kenapa kau yang selalu saja tak peduli dengan keluargamu. Ya, mungkin karena kau memang bukan anak kandung dari Tim dan Anne, itulah kenapaー"

"Hentikan. Itu yang selalu kau ulang-ulang untuk menyakitiku," Suara Ren bergetar, tampaknya lelaki itu tengah sekuat tenaga menahan tangis. Bukan karena pukulannya yang terasa sakit si wajah. Namun, jauh, jauh, di dalam hatinya. "Padahal, aku tak pernah seenakku. Kau yang selalu seenakmu. Namun, kau selalu memposisikanku sebagai penjahat dan kau korbannya."

"Penjahat dan korban?" Keith memberi jeda. "Persetan denganmu. Keluar dari sini, bajingan."

Ren pun balik badan, hendak keluar dari ruangan ini. Ketika dia berbalik, dia tertegun ketika dia berharapan dengan Lily yang wajahnya sudah basah oleh air mata. Ren menghela napasnya, kasar. Ren, Mike, Claude, Lily, dan para penjaga pun keluar dari ruangan ini untuk berjalan kembali menuju mobil, benar-benar sudah sia-sia berjalan jauh dan membuang waktu untuk datang sebentar dan pulang tanpa melakukan apapun.

"Kenapa kau harus menangis," gumam Ren, mengusap wajah Lily. Bahkan sampai di mobil, perempuan itu masih belum berhenti menangis. "Kau menangisi sesuatu yang tak penting, Lily."

Lily hanya diam, tak menjawab apapun.

Mana mungkin sesuatu yang buruk bagi Ren adalah sesuatu yang tak penting bagi Lily?

Ren pun menoleh ke arah jendela mobil. Jemarinya mulai mengusap matanya, rasanya sulit sekali ini menahan tangisan di mobil ini. Dia tak ingin orang tau kalau dia menangis.

Keith selalu melarangnya menangis sejak dulu. Pria itu selalu menjadi orang yang kesetanan tiap kali dia melihat Ren menangis. Pukulan demi pukulan bisa Ren terima jika Keith melihat lelaki itu menangis. Itulah kenapa… rasanya sulit bagi Ren mengeluarkan emosinya, terutama dalam bentuk tangisan.

"Ren," panggil Claude, memecahkan keheningan yang sedaritadi cukup menyesakkan di mobil ini. "Salah satu penjaga Keith sempat memberitahuku bahwa Naomi meninggalkan pesan untukmu melalui email. Sepertinya, Keith tak tau mengenai hal ini."

Ren buru-buru membuka ponselnya, lalu melihat isi dari kotak masuk. Setelah cukup lama menggulir layar ponsel itu untuk melewati berbagai pesan spam, akhirnya Ren melebarkan kedua matanya ketika dia melihat sebuah pesan yang ditulis oleh Naomi.

Sebulan yang lalu?

Untuk : Ren Walters.
        Aku tak pintar berbasa-basi, Ren. Kita tak pernah dekat sejak dulu. Kita selalu bertemu, tapi seperti ada tembok di antara kita. Kali ini, biarkan aku berbicara banyak kepadamu sebagai tebusan semua waktu kosong yang tidak kita gunakan untuk berbicara sebagai keluarga.

         Kau pasti membenciku. Aku hanya seorang manusia jahat yang selalu tutup telinga tiap kali Keith memukulmu. Aku tak melakukan apapun. Aku tau, kau marah padaku. Itulah kenapa, kau begitu dingin padaku. Kau menghindariku. Sampai kau dewasa dan akhirnya kabur dari rumah Keith untuk menentukan jalan hidupmu sendiri.

          Aku selalu menangis karena aku menyalahkan diriku sendiri, aku tak pernah bisa membantumu. Namun, ketahuilah, Ren, akupun merasa ketakutan. Aku tak bisa melakukan apapun selain diam. Aku juga sangat ketakutan. Akupun tak ingin mati. Jadi, aku hanya bisa berlagak seakan semuanya baik-baik saja ketika kau kesakitan dan berdarah, padahal akupun merasa kesakitan. Di hatiku.

           Kau memang bukan anak kandung dari Tim dan Anne, kau tau itu. Maaf kalau itu menyakitimu. Kau mungkin merasa kau tak pernah memiliki keluarga. Namun, percayalah.  Aku. Aku satu-satunya keluargamu.

Safest HavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang