Chapter 01: Gadis 50 Dollar

679 54 0
                                    

SEMUA orang yang mengelilingi panggung ini berteriak dengan keras. Lagu yang baru saja selesai dinyanyikan itu membuat ribuan perasaan bercampur aduk di dalam stadion ini. Sebagian dari mereka ada yang tersenyum bahagia, ada pula yang menangis terharu. Ribuan kertas glitter kelap-kelip berjatuhan di atas panggung. Lampu sorot membuat cahaya kelap-kelip itu jadi sedikit menyilaukan untuk dipandang oleh mata.

Ribuan pasang mata memandang ke arah seorang pria yang tengah menggenggam micnya dengan senyuman bangga. Dadanya naik turun dan napasnya terengah-engah. Pria tersebut dipenuhi oleh peluh yang membuat pakaian seharga mobil itu basah. Di tubuhnya melekat sebuah gitar putih yang memiliki banyak coretan di atasnya. Gitar yang selalu menjadi gitar favoritnya tiap kali dia mengadakan konser.

Pria tersebut menoleh ke arah teman-temannya. Jeremy si bassist, Shane si drummer, dan Mike si guitarist. Wajah tiga lelaki itu bermandikan lampu sorot, menatap Ren dengan senyuman.

"Aku cinta kalian. Terima kasih."

Ren memasuki ruang ganti yang ada di belakang panggung, menghempaskan tubuhnya di atas kursi berwarna cokelat dengan napas yang masih memburu. Beberapa orang yang sudah menjadi orang-orang kepercayaannya itu pun datang mendekatinya, melepaskan pakaiannya, lalu memasangkan pakaian berwarna hitam yang lebih tertutup. Rambut lurus yang sepanjang bahu itu pun dia minta untuk diikat, sebelum mereka memasangkan topi hitam di kepalanya.

"Kerja yang bagus, bung," Claude tersenyum, berjongkok di hadapan Ren, meletakkan kedua tangannya di atas bahu pria tersebut. "Kau sudah melakukan yang terbaik untuk malam ini."

"Sudah jelas suaraku pecah ketika menyanyikan lagu yang terakhir," Ren tersenyum ringan, hampir tak terlihat. "Tapi, terima kasih, Claude."

"Ayolah, apakah hanya Ren yang layak mendapatkan ucapan selamat untuk kesuksesan konser malam ini?" protes Mike, tak terima.

Claude hanya tersenyum, lalu bangkit dari posisinya. "Kalian semua sudah melakukan yang terbaik. Aku akan mentraktir kalian wonton soup untuk malam ini dan kita akan makan di runah Ren."

"Apa? Kenapa di rumahku?"

"Katakan padaku, Ren, kenapa kau melewatkan not penting untuk lagu terakhir," ucap Shane, melipat kedua tangannya di depan dada.

"Ayolah, tak mudah untuk bermain gitar sambil bernyanyi," balas Ren, menghela napasnya. "Lagipula, kau terlalu perfeksionis, Shane."

"Itu karena selama ini kau adalah musisi yang nyaris sempurna, Ren," ujar Jeremy. "Ayo, pinggangku hampir saja tamat. Kita harus segera keluar dari gedung ini."

Ren, Jeremy, Mike, dan Shane berjalan dengan susah payah, melewati kerumunan wartawan dan para penggemar mereka yang menghambat jalan menuju mobilnya. Ren mengenakan pakaian serba hitam, serta masker dan topi yang hitam. Rasanya, pakaian yang serba hitam ini membuatnya semakin kegerahan.

Biasanya, suara yang pecah saat performance adalah mimpi buruk baginya. Dia selalu menyalahkan dirinya sendiri, bahkan menangis setelah lagu selesai dinyanyikan apabila suaranya pecah. Namun, hari ini, dia tak ingin menambah beban pikiran Claude dan teman-temannya. Dia lebih memilih untuk tidak mempermasalahkan apapun agar malam ini cepat berlalu.

"Tunggu di sini. Jika ada penggemar atau wartawan yang datang, kalian bisa telepon aku. Aku akan membeli wonton soup dan kembali secepatnya," ucap Claude melepaskan sabuk pengamannya. "Ada yang ingin tambahan?"

"Ya, jangan lupakan dessertnya."

Claude berlalu. Ren hanya bisa memandangi punggung pria itu berjalan memasuki sebuah kedai makanan yang penuh dengan lampu berwarna kuning di depannya. Kedai makanan itu kecil, tapi Ren bisa menjamin bahwa cita rasa makanan yang kedai itu miliki lebih cocok di lidah dan perutnya daripada makanan hotel bintang lima sekalipun.

Safest HavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang