Chapter 21: Satu Pagi

113 22 1
                                    

LILY memutuskan untuk keluar dari rumah, malam itu juga. Ren melihat perempuan itu keluar, menerobos hujan lebat yang ada di luar sana. Sejujurnya, Ren bingung, apa yang sudah dia lakukan dan harus dia lakukan. Sejujurnya, dia bahkan belum sempat meminum obat tersebut. Dia hanya menaruhnya di dekatnya ketika sedang menulis lagu baru, tapi dia mengistirahatkan kepalanya sejenak dan tanpa sengaja menjatuhkan botol obat tersebut.

Dia marah kepada Lily bukan karena dia mementingkan obat itu. Dia hanya tak ingin Lily mengkhawatirkannya ataupun terseret ke dalam masalahnya. Dia tak mau Lily ikut kepikiran mengenai kondisi mentalnya yang tidak stabil karena Keith dan Naomi beberapa bulan terakhir ini. Dia tak ingin Lily khawatir. Apakah selama ini dia tak tau Lily mengkhawatirkannya? Tentu saja, dia tau. Untuk beberapa momen, terkadang, dia menyesal Lily harus bertemu dengan orang sepertinya. Orang yang tak bisa bebas diajak keluar, orang yang harus diawasi oleh penjaga kemanapun, orang yang memiliki title sebagai bintang dan dikenal banyak orang, memiliki banyak masalah, dan terkadang berkondisi mental tak stabil.

Ren memutuskan untuk keluar dari rumah dan mencari Lily, tanpa memberitahu siapapun. Claude akan membunuhnya jika lelaki itu tau, Ren saat ini keluar hanya dengan pakaian biasa dan sebuah payung, tanpa kostum samaran atau apalah itu. Ren sudah tak peduli. Jika Lily benar-benar hilang karena kebodohannya malam ini, entah dia akan bagaimana.

Tidak. Jika Lily benar-benar hilang, apa yang akan Ren rasakan?

Mungkin, sedih.

Mungkin, dia akan menangis, padahal Ren tak pernah bisa menangis.

Mungkin, dia akan hancur.

Baginya, Lily tetaplah tempat ternyaman baginya. Seseorang yang tak pernah melihatnya sebagai seorang bintang besar. Lily bahkan tak tau dan tak peduli apa saja lagu-lagu yang pernah Ren bawakan, disaat semua orang di dunia mengenalnya karena lagu-lagunya. Lily tak pernah melihat Ren sebagai seseorang yang berbeda ataupun istimewa seperti bagaimana media mendewakan kehadiran Ren.

Ren beryukur… dia menemukan Lily.

Ren berhenti di sebuah halte berdinding kaca. Ren menghela napasnya, memandangi perempuan yang duduk di kursi halte itu sambil mengusap matanya secara bergantian. Lily sudah basah kuyup oleh air hujan, padahal perempuan itu gampang sakit jika kedinginan.

"Lily, ayo pulang."

Lily hanya diam, tak menjawab apapun. Ren tak bisa melihat wajahnya dengan benar karena terhalang oleh rambutnya yang sudah mulai panjang ketika dia menunduk sambil mengusap matanya.

"Lily, kau bisa sakit. Ayo, pulang," ulang Ren. Ren berjalan mendekati Lily, lalu mengulurkan tangannya. Ren masih bisa melihat bekas merah di pergelangan tangan Lily ketika Lily sibuk mengusap air matanya. Sepertinya, tadi, Ren benar-benar kesetanan. Dia sendiri pun tak menyangka dia bisa semarah itu kepada Lily, bahkan sampai menyakiti Lily.

Entah itu secara fisik maupun batin.

Ren berdiri di hadapan Lily. Wajahnya benar-benar sendu. Dia merasa menyesal sudah menyakiti Lily. "Lily, aku minta maaf."

"Aku mengerti jika kau menganggap aku menyusahkan," kata Lily, lirih. "Akhir-akhir ini kau selalu marah padaku. Mungkin, karena aku juga yang tak mau mengerti kondisimu."

"Tidak, Lily. Ini bukan salahmu."

"Aku egois, kekanakan, dan itu menyusahkan Ren. Jadi, lebih baik, kita pisah saja."

Ren merasa kaget dengan kalimat Lily barusan. Apakah dia menyakiti Lily segitunya sehingga membuat Lily merasa tak berarti untuk berada di dekat Ren? Apakah dia sudah sejahat itu?

Ren meremas lengannya. Dia merasa takut. Tiba-tiba, rasanya menyesakkan. Kalimat terakhir Lily tadi terasa menyesakkan. Jika mereka berpisah dan Ren tidak akan melihat Lily lagi, apakah Ren akan baik-baik saja?

Safest HavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang