Chapter 26: Mike's Barber Shop

122 19 0
                                    

MIKE menguap, sejujurnya masih merasa mengantuk karena semalam dia harus menyelesaikan lirik dari salah satu lagu baru untuk album baru mereka. Dia jadi kurang tidur. Namun, dia tidak bisa menuruti kemauannya untuk tidur sampai siang hari tiba karena dia juga tak mau mendengar ocehan Claude.

Mike yang masih mengenakan pakaian tidurnya dengan rambut cokelat yang acak-acakan itu lantas mengernyitkan dahinya ketika dia baru saja membuka pintu depan dan berjalan keluar teras rumah, lalu mendapati Lily yang sedang berjongkok di halaman depan, memandangi bunga-bunga yang mekar, merekah sempurna sesuai musimnya.

"Rambutmu sudah mulai panjang," gumam Mike, berjalan mendekati Lily, membuat perempuan itu seketika menoleh ke belakang, ke arah Mike. "Yah, rambutmu juga panjang ketika kita pertama kali bertemu. Lalu, Ren memotongnya agar terlihat lebih rapi."

"Ya."

"Tapi, bukankah membosankan jika memiliki gaya rambut yang itu-itu saja, Lily?" tanya Mike, melipat kedua tangannya, memasang wajah pura-pura serius. "Kupikir, kau memerlukan gaya baru pada rambutmu."

Lily menaikkan sebelah alisnya, bingung dengan ucapan Mike barusan. Mike tersenyum jahil, sejujurnya memiliki banyak sekali ide gila di kepalanya.

"Bagaimana jika aku membantu menata rambutmu dengan gaya rambut yang jauh lebih keren?" tawar Mike, tersenyum lebar. "Ah, aku sudah lama sekali ingin membuka barber shop. Sejujurnya, pemangkas rambut adalah cita-citaku, Lily."

Lily menatap curiga. "Benarkah?"

Mike mengangguk, semangat. "Ayolah. Kau tak mau menjadi pelanggan dari Mike's Barber Shop? Kau akan kuberi potongan gratis."

Lily terkekeh. "Mike's Barber Shop?"

Mike mengangguk. "Bagaimana?"

Lily mengubah posisinya menjadi berdiri, lalu berjalan ke arah Mike. "Baiklah."

Mike dan Lily pun memasuki kamar milik Mike. Ini pertama kalinya Lily memasuki kamar Mike. Kamar lelaki itu berantakan sekali, tak seperti kamar Ren yang sangat rapi. Kamar Mike memiliki banyak makanan ringan yang dia simpan di kamarnya, barangkali karena dia memang tipikal sweet tooth yang biasanya melakukan hal-hal ringan seperti menulis lagu, menonton film, ataupun sebagainya, harus didampingi oleh makanan ringan.

Mike pun membuka gorden kamarnya, membiarkan sinar matahari membias memasuki kamarnya. Mike pun membuka lemarinya, lalu membawa sekotak peralatan rambutnya ke dekat Lily. Lily terkekeh geli, benar-benar tak habis pikir kalau Mike benar-benar serius ingin menata rambut Lily hari ini. Benar-benar random dan dadakan sekali.

"Pagi, Nona. Kau ingin memiliki rambut dengan model seperti apa?" tanya Mike menahan tawanya, sembari memasangkan kep potong rambut berwarna hitam agar rambut Lily tidak berantakan ke lantai, seperti yang ada di salon pada umumnya.

"Aku bingung. Kau merekomendasikan apa?"

"Hm... bagaimana jika mewarnainya menjadi warna cokelat tua?" tawar Mike. "Sepertinya cocok denganmu."

"Baiklah."

Mike pun meraih beberapa alat yang dia gunakan untuk mewarnai rambut. Lily dapat melihat di cermin yang ada di hadapannya, lelaki itu tampak sigap mengerjakan sesuatu yang dia persiapkan untuk mewarnai rambut Lily dengan antusias sekali. Lily tak pernah tau kalau Mike sangat tertarik dengan hal seperti ini.

"Sepertinya, kau sangat suka menata rambut," ucap Lily, tersenyum.

Mike pun menoleh ke arah cermin, lalu tersenyum lebar ke arah pantulan diri Lily yang ada di cermin. "Ya, aku sangat menyukainya. Mungkin, karena ibuku adalah seorang pemilik salon ketika masih kecil."

"Benarkah? Ibumu memiliki salon?"

"Ya. Ibuku memiliki sebuah salon dan aku terbiasa duduk di salah satu kursi pelanggannya sambil bermain dengan hero figure ataupun car figure yang kumiliki… sepanjang hari," balas Mike semangat, sambil terkekeh. Jemarinya mulai menyisir rambut Lily. "Aku akan duduk di sana sepanjang hari sampai ayahku pulang membawakan ikan hasil tangkapannya, lalu kami memasak ikan itu bersama. Ayahku jago sekali memasak."

Lily memandangi pantulan diri Mike di cermin. Lelaki itu fokus menyisir rambut Lily dengan senyuman di bibirnya, tampak sangat senang ketika membicarakan orang tuanya. Lily merasa tak heran dengan kepribadian Mike yang ceria dan menyenangkan, serta selalu bercanda, mungkin karakter itu dia peroleh karena kehangatan yang ada di dalam rumahnya.

Mike tertegun ketika dia menoleh ke cermin, lalu mendapati Lily sedang memandanginya. Lily pun ikut kaget, lalu segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Bagaimana denganmu?" tanya Mike. "Apakah kau memiliki cita-cita? Seperti sebuah profesi yang mungkin kau inginkan."

Lily terdiam sejenak, berpikir. "Profesi yang kuinginkan?"

"Ya."

"Aku tak pernah memikirkannya," jawab Lily.

"Baiklah, mari kita pikirkan sekarang. Kalau menurutku, kau cocok menjadi…" Mike menggantungkan ucapannya, memasang wajah pura-pura berpikir keras. "Model?"

"Model?" Lily mengernyitkan dahinya.

"Kau memiliki wajah yang cantik. Kau cocok menjadi model," ucap Mike. "Model itu seseorang yang memakai pakaian atau barang-barang baru yang akan dipromosikan agar orang membelinya."

"Aku mengerti. Alasan dari fakta bahwa model harus cantik adalah agar barang-barangnya terlihat menarik dan orang jadi tertarik untuk membeli. Apakah begitu?"

"Oh? Kau pintar sekali," kekeh Mike. "Ya… mungkin. Bisa jadi alasannya begitu."

Hening sejenak. Lily dapat merasakan rambutnya disisir dengan lembut oleh Mike. Namun, justru ketika mereka saling diam dan kehabisan topik, itu memberikan kecanggungan yang cukup mengganggu, apalagi posisinya saat ini, Lily berada di dalam kamar Mike.

"Ah, ya. Kau tau, Lily, sebenarnya, nanti di pusat kota akan ramai sekali oleh orang-orang. Ada kios jajanan ataupun barang. Katanya, besok adalah hari jadi kota ini, jadi malam ini akan ramai sekali," kata Mike.

"Terdengar menyenangkan sekali," balas Lily, bersemangat. "Yah… tapi, sayang sekali kita tidak bisa ikut."

"Kata siapa?"

Lily menaikkan sebelah alisnya. "Maksudmu?"

"Bagaimana jika kita menyelinap nanti malam keluar? Ketika semua orang sudah tertidur," ujar Mike, tersenyum licik. Dia sudah menduga, respon menyebalkan apa yang akan Claude berikan jika dia meminta izin secara formal. Maka dari itu, bukankah lebih baik kabur saja? Lalu, baru beritahu di keesokan harinya.

"Apakah kau yakin? Aku takut Claude marah."

"Kita akan bekerja sama dengan beberapa penjaga untuk menjaga kita ke pusat kota. Ayolah, tak ada salahnya bersenang-senang sesekali. Lagipula, aku akan mengenakan janggut itu nanti malam, meskipun aku membencinya."

Lily tertawa. "Baiklah, baiklah."

Mike tersenyum lebar.

"Ceritakan lagi mengenai keluargamu, Mike," ujar Lily, mengganti topik obrolan mereka.

Mike menoleh ke arah pantulan diri Lily yang ada di cermin. "Ah, ya? Kenapa?"

"Entahlah," Lily memberi jeda. "Seperti aku melihat binaran di kedua matamu ketika kau membicarakan ayah dan ibumu. Itu membuatku ikut senang."

Lelaki yang mengenakan kaos putih polos itu hanya bisa tersenyum ke arah Lily melalui cermin, lalu tertawa. Kedua matanya menyipit tiap kali dia tertawa, ada kerutan di sudut matanya. Itu adalah hal yang paling disukai oleh para penggemar Mike dari wajah British yang lelaki itu miliki. "Baiklah."

Safest HavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang