"BUKANKAH kau seharusnya latihan?" tanya Keith, menatap penuh amarah. Ren bisa melihat kobaran api di kedua mata tersebut. Tatapan yang selalu Ren takuti. Tatapan yang selalu menjadi alarm bahwa setelah ini, Ren akan mendapatkan tanda baru di bagian tubuhnya.
"Paman, suaraku hilang, hari ini," jawab Ren, serak. Suaranya bahkan nyaris tak ada untuk menjawab pertanyaan Keith. "Aku tak bisa latihan. Maafkan aku."
Maaf? Apa yang Ren katakan? Kenapa Ren meminta maaf? Ini kan bukan salahnya. Bukan salahnya jika suaranya hilang. Dia selalu latihan sampai tubuhnya kelelahan, bahkan sakit. Lalu, kali ini, suaranya hilang. Tenggorokannya benar-benar terasa perih. Itulah kenapa dia masih berada di rumah. Naomi, istri Keith, bilang bahwa Keith takkan ada di rumah pada siang ini. Namun, ternyata… bohong.
"Kau," Keith meraih sepotong railing yang ada di sudut kamar, Ren sudah tau, arah pembicaraan mereka akan seperti ini. "Berani melawanku?!"
Ren terbangun dari tidurnya. Ketika Ren melihat sekitarnya dan menyadari bahwa saat ini dia tengah berada di atas tempat tidurnya yang seharusnya nyaman, dia pun menghela napasnya berat, menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ren meraba dadanya, jantungnya berdegup kencang sekali. Jam dinding menunjukkan pukul empat pagi. Di luar sangat dingin. Namun, Ren merasa kegerahan.
Dia ketakutan.
Ren pun bangun dari tempat tidurnya, berjalan keluar kamar. Sepersekian detik, Ren terlonjak kaget ketika dia mendapati Lily yang sedang duduk menghadap ke jendela, menatap jauh ke luar sana.
"Lily, kau mengagetkanku," ujar Ren, berdecak. Rasanya, deja vu. "Apa yang sedang kau lakukan? Sepagi ini? Jangan bilang kalau kau belum tidur sama sekali."
"Aku terbangun sejam yang lalu," jawab Lily. "Aku ingin mengambil air mineral. Namun, ketika aku tak sengaja melihat keluar, rumah itu bersinar sangat terang."
Ren pun duduk di sebelah Lily sambil meneguk air mineralnya, mengernyitkan dahi melihat rumah yang Lily tunjuk. "Rumah itu?"
Lily mengangguk.
"Sepertinya, sedang ada pesta," ujar Ren. "Terlihat seperti pesta formal. Bukan sembarang pesta. Kau lihat wanita itu? Dia mengenakan gaun."
Lily terdiam sejenak. "Pesta formal?"
"Yah, aku juga tidak tau pesta apa itu. Mungkin, pesta pernikahan. Oh, atau mungkin pesta yang digelar oleh pejabat?" Ren menaikkan sebelah alisnya. "Yah, sepertinya, kau juga tak paham maknanya."
"Aku juga ingin merasakan pesta formal," gumam Lily, masih memandangi rumah tersebut.
Ren menatap Lily cukup lama, tak tau harus menjawab apa. Jelas sekali, Lily belum pernah merasakan pesta sebelumnya, selain pesta ulang tahun yang Ren buatkan untuknya. Perempuan itu menyandarkan dagunya di balik lengannya yang menempel di meja dengan jendela, masih setia menatap rumah itu dengan penuh harapan.
Di luar benar-benar diselimuti oleh salju. Langit tampak mulai terang meskipun masih gelap, matahari yang seharusnya sudah mulai naik, sepertinya kalah oleh cuaca yang membekukan kulit. Jalanan di luar tampak pilu membiru.
"Kau mau kesana?" tanya Ren, setelah hening beberapa saat. Lily menoleh, tampak sedikit kaget.
"Bukankah Ren akan dimarahi oleh Claude jika keluar seenaknya?" Lily malah balik bertanya. "Aku tak suka jika kau dimarahi."
"Kita bisa menyamar," jawab Ren, tersenyum ringan. "Dan takkan ada yang bisa mengenal kita."
"Menyamar?"
Ren menarik tangan Lily, lalu berjalan menuju kamarnya. Beberapa hari yang lalu, Claude membeli beberapa pakaian yang bisa Ren gunakan untuk keluar. Sebenarnya, Claude adalah seseorang yang keras. Namun, Claude dapat melihat bahwa Ren tak bisa dinasihati sehingga Claude lebih memilih untuk menyiapkan barang-barang yang bisa dikenakan untuk menyamar seperti rambut palsu, janggut, topi, kacamata, dan sebagainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Safest Haven
RomanceRen Walters, seorang vokalis dari band mendunia yang tak sengaja bertemu dengan seorang perempuan di jalanan dan menyelamatkannya dari dua orang preman yang ingin menjual perempuan tersebut. Perempuan itu menyimpan masa lalu yang kelam, dia bahkan t...