Tentu.

295 31 2
                                    


Waktu berlalu cepat, dan Sasuke kini terbiasa sendiri lagi. Setelah hari seni berlalu, Naruto tak pernah terlihat lagi. Guru berkata bahwa walinya datang dan menjemputnya, lalu pindah sekolah. Sasuke awalnya ingin menanyakan tentang alasan ketidakhadiran Naruto pada hari itu, serta orang-orang yang menyerangnya, tapi si pirang pergi lagi, kali ini tidak pamit dan entah kapan akan kembali.

Sasuke menghela nafas berat, kelihatannya hari seni menjadi semakin buruk di matanya. waktu kembali berjalan dengan stagnan, semua yang ia lakukan selalu diulang, tak ada pergi bermain, bersantai, ataupun hal menyenangkan. Kelihatannya hidup hitam putih memang lebih nyaman baginya. Tak ada kehilangan jika di awal tak ada yang dimiliki.

Tahun berganti, dan hari kelulusan tiba. Itachi yang pergi ke luar kota untuk bekerja kini kembali lagi. Sebenarnya Sasuke tahu bahwa alasan kakaknya tak pulang-pulang bukan hanya karena sibuk bekerja melainkan memiliki kekasih di kota lain. Sebagai adiknya ia sama sekali tak ingin menyusahkan kakaknya, dan karena itulah ia lebih jarang menghubungi kakaknya, karena kembali lagi ke prinsipnya, jika jarang berkomunikasi mungkin akan mengurangi rasa rindu. Merindukan kakaknya tak akan membuat kakaknya kembali lebih sering, karena itulah Sasuke memilih untuk menjauh dari Itachi, merenggangkan hubungan persaudaraan.

Kali ini Itachi kembali hanya karena kelulusan Sasuke semata, karena itulah mereka berakhir duduk berhadapan dengan canggung di tempat tinggal Sasuke.

Itachi menatap adiknya, merasa bahwa hubungan persaudaraannya merenggang banyak.

"Em, jadi Sasuke bagaimana kau selama SMA? apa ada kesusahan? Dan juga, kudengar sebelumnya Naruto kembali, bagaimana..."

"Dia kembali sebentar lalu pergi lagi, dan kak.."

Sasuke menyesap tehnya, lalu meletakkan gelas putih bermotif blue rose dengan anggun.

"Menanyakan kabarku sudah terlambat, aku sudah lulus."

Rasa bersalah terbesit di hati Itachi, orang yang sedih dengan perginya orang tua mereka bukan hanya Sasuke. Untuk melampiaskan rasa sedihnya Itachi bahkan menjadi gila kerja, dan berakhir pergi meninggalkan adiknya sendiri. Itachi bertemu dengan kekasihnya di luar kota, dan ia menjadi lebih nyaman setelah memiliki tempat bersandar, kembali melupakan adiknya yang sendirian. Itachi hanya mengirim uang dan tidak pernah kembali.

"Sasuke, kakak minta maaf. Kau tahu, bukannya kakak tak menyayangimu.."

Sasuke melihat wajah bersalah Itachi, lalu menghela nafas.

"Itu karena, bahkan ketika kita menyayangi seseorang, kita akan tanpa sadar menyayangi diri kita lebih dari orang itu. Kakak, aku tahu bahwa kau menyayangiku, namun kau sendiri lebih tahu dari siapapun bahwa di hatimu ada keinginan untuk meninggalkanku dan memiliki hidup baru dengan kekasihmu bukan?"

Itachi mencoba membantah, namun tak ada kata yang keluar dari mulutnya.

Sasuke melihat kakaknya yang tak bisa membantah perkataannya, menghela nafas lalu beranjak pergi.

"Kau pergilah dan dapatkan hidup yang kau inginkan, aku akan hidup sendiri mulai sekarang."

"Sasuke.."

Itachi hendak menghentikan adiknya ketika ponselnya berdering. Tanda love pada kontak yang sudah dikenalnya, ia menjawab panggilan.

"Halo?"

"Hey Honey, kemana? Aku di rumahmu, ingin mengajakmu makan siang tapi rumahmu kosong. Sedang dimana Honey?"

Perasaan campur aduk di hati Itachi bertambah parah, namun ia tetap menjawab.

"Di kota Konoha, menjenguk adikku"

"Hah? Kau punya adik? Kenapa tidak cerita? Mau kujemput?"

Suara pihak lain terdengar bingung.

"Tidak usah, aku akan kembali sekarang."

"Baiklah, aku menunggumu."

Itachi mengambil tas selempangnya dan pergi.

Melihat kepergian kakaknya, rasa gugup hilang di hati Sasuke bebarengan dengan sedikit perasaan miris ditinggalkan.

'Tidak apa, semua tidak akan menyakitkan jika semua tidak ada sejak awal.'

Bisiknya pada dirinya sendiri, meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja.

Sasuke menuju kamarnya kali ini, laci pertama meja belajarnya dikunci rapat. Ia membukanya, melihat semua kenangan tentang orang tuanya.

"Kenangan menyakitkan yang tidak ingin kulupakan"

Setiap kali Sasuke melihatnya, maka rasa sakit akan menyusup ke hatinya, namun tetap saja, beberapa kenangan terlalu berharga untuk dibuang, bahkan bila menyakitkan sekalipun. Sasuke mengambil sebuah kotak kecil di atas meja, membukan kotak itu lalu melepas kalung rubah di lehernya dan memasukkannya ke dalam kotak, di letakkan di dalam laci dan dikunci aman di dalamnya. Hidup itu panjang, dan beberapa kenangan harus di kunci agar tidak mengacaukan hati saat menjalani kehidupan.

"Pfft, lagipula itu hanya kalung dari temanku, apa yang sungguh membuatku sedih? Mungkin sejak awal Naruto hanya mengelabuiku, seseorang yang mencari preman untuk mencelakaiku, pasti kekasih pirang sialan itu. Masih bilang tidak punya kekasih? bulshit!"

Sasuke merentangkan dirinya di kasur, mencoba tidur.

.

Jerman dengan banyaknya penduduk, salah satu ruangan di rumah sakit ternama.

"Guru! Bagaimana kau bisa membawaku tanpa persetujuanku!"

Naruto berteriak marah pada pria di depannya.

"Kau sakit dan diobati lalu dilindungi, mana dari semua itu yang menyusahkanmu? Kau hanya dilindungi lebih baik di sini Naruto, sampai kau cukup kuat untuk melawan cecunguk tua di keluarga Namikaze."

Jiraiya bicara dengan tenang sembari duduk di sofa.

Jawaban santai membuat emosi Naruto terstimulasi, dan ia semakin marah.

"Aku memiliki janji dengan temanku! Bagaimana bisa aku tidak datang?!"

Jiraiya tersenyum mengejek,

"Teman? Hanya demi teman itu kau melakukan perlawanan ini? Naruto, kau tahu bahwa kau menganggap teman itu lebih bukan?"

Naruto terdiam, dia memang memiliki janji dengan temannya, apalagi teman masa kecil yang dekat, bukankah teman juga hal berharga?

"Haah.., Naruto, posisimu belum aman, dan kau belum diizinkan untuk menyukai siapapun. Setidaknya tidak bisa menjalin hubungan."

  Pria pirang itu membaringkan dirinya ke ranjang dan menutupi wajahnya dengan telapak tangan besarnya.

"Apa maksudmu menjalin hubungan? Teman yang kubicarakan adalah pria."

"Kalau bukan? Bukannya kau selalu membahas temanmu itu sepanjang hari ketika kau pertama kali ke sini? Sekarang setelah kau bangun, hal apa yang kau bahas denganku? Tentunya temanmu lagi."

Memutar matanya, Jiraiya meraih dokumen di atas meja lalu menyerahkannya kepada Naruto.

"Jangan bahas tentang perasaan jika kau belum sepenuhnya berdiri teguh, kau tahu bahwa keluarga Hyuga tengah mengincarmu juga bukan? Jika kau berdekatan dengan temanmu itu, mungkin temanmu itu akan mendapat masalah besar."

Naruto membuka dokumen, memperlihatkan foto tiga preman dan bukti pembayaran rumah sakit atas nama Sasuke.

"Dia..., Apa dia baik-baik saja?"

"Hm, untuk saat ini. Jangan mendekatinya setidaknya sampai kau berdiri di kakimu sendiri."

Wajah Naruto berubah dari murung menjadi kesal.

"Baiklah, ayo selesaikan semua ini, agar aku bisa cepat kembali."

Jiraiya cengengesan, mengesampingkan jas nyentriknya.

"Ayolah~ kau pasti bisa melakukannya bukan Namikaze Naruto?"

Pria pirang bangkit dari ranjangnya, mengenakan jas hitamnya.

"Tentu"

My Life (NARUSASU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang