08 : 'Strawberry Milk Boyfriend'

54 12 1
                                    


Di sisa tenaga dan kesabaran yang Aira miliki, sebuah suara memanggilnya lembut dari belakang. Aira berbalik, dan mendapati Saka Sagara berdiri menatapnya dengan tas yang dilansir sebagai milik pemuda tinggi itu.

Aira ingin marah, tapi untung ia masih tahu diri.

"Gue udah nungguin dari tadi."

Tapi ucapan Saka barusan seakan sengaja untuk menguras habis kesabarannya. Aira hanya tersenyum kecut, kendati ingin sekali ia tendang tulang kering pemuda itu.

"Gue udah nge-chat dan nelpon lo dari tadi, gue nyariin lo dari kelas sampe sini." Aira berusaha untuk tetap terlihat ramah, padahal ia sedang mengomeli Saka saat ini.

"Gue dimarahin, nih?" tapi Saka yang rupanya terlalu peka.

Aira buru-buru menyanggah, ketimbang Saka marah dan entah apa yang akan terjadi. "Gue gak marah, kok!"

"Oke ...." Pemuda itu mengangguk-angguk, paham. Lalu kemudian ia bersandar pada tiang di dekatnya berdiri. "Jadi, mau di mana lo ngasih penjelasan ke gue tentang tindakan lo waktu itu ...?"

Memasuki waktu cemas bersama Aira yang sekarang tiba-tiba saja jadi tak tahu akan berkata apa. Segera Aira menarik Saka menuju tempat yang sepi; lapangan basket.

Keheningan melanda untuk beberapa saat. Aira sedang mempersiapkan diri dan merangkai kata-kata, dan Saka sepertinya mengerti itu; makanya ia tetap tenang menunggu sampai Aira mau buka suara.

"First of all, gue minta maaf. Gue ada di posisi terdesak waktu itu karena cowo-cowo terus berusaha ngedeketin gue, padahal mereka udah pada ada pawangnya tapi tetep aja maksa. Gue kesel, terus gue bilang aja gue udah punya cowo, dan mengejutkannya-mereka nuntut gue buat ngasih tau namanya."

"Dan lo bilang kalau pacar lo itu gue?"

Dengan raut menyesal dan takut akan hukuman, Aira mengangguk. Apalagi Saka tak merespons mau pun memberi Aira senyuman seperti tadi. Jadi Aira berpikir Saka mulai menunjukkan perasaan kesal dan muaknya atas kebohongan yang Aira ciptakan menggunakan namanya.

Tetapi tiba-tiba, Saka melakukan hal yang sama seperti pagi tadi; ia menatap wajah Aira dari bawah karena sejak tadi gadis itu terus menunduk. Aira terkejut; terpaku.

"Pantes aja, sih yang deketin elo banyak ...," ujarnya, tidak jelas bermaksud apa. Lalu ia mengangkat kembali kepalanya sebelum menyadari wajah Aira yang memerah akibat perbuatannya. "Tapi bohong tetep aja bukan hal baik."

Aira menggigit bibir bawahnya. "Maafin gue, Saka ...."

"Jadi elo mau apa sekarang?" tanya Saka, dan Aira hanya bungkam. "Elo mau jujur di depan semua orang dengan konsekuensi dapet malu ... atau masih mau pakai nama gue sebagai pacar lo?"

Aira menatap Saka yang duduk di sampingnya. Matanya setengah membola, tiba-tiba saja hal yang semula tak terlintas di kepalanya-muncul ketika Saka berkata demikian.

Tetap memakai nama Saka sebagai pacar, ya ...?

Aira berpikir mungkin menahan malu sebentar bukanlah masalah, tetapi ia juga berpikir dampak apa yang akan ia dapatkan jika yang ia tarik ke dalam masalahnya itu adalah seorang Saka Sagara. Lihatlah, Aira bahkan hanya asal bicara, tapi dampak yang Saka bawa membuat namanya jadi melejit dan dikenal satu sekolah. Dan kalau nanti dia benar-benar memilih opsi yang pertama, apa yang akan Aira dapatkan jika semua orang tahu sebenarnya Aira hanya mengaku-ngaku saja?

Apakah Aira akan mendapatkan hal yang lebih dari sekadar didatangi Deandra Lexa dan rombongannya?

Pikiran Aira menerawang jauh, membuatnya tak fokus. Ketika Saka sedikit menyenggol lengannya, ia jadi terkejut luar biasa.

"Gue nanya, malah didiemin," sungut Saka, agak sebal.

Aira pun masih belum berkata apa-apa, di dalam kepalanya seperti ada benang kusut yang tak sabar menunggu antrean untuk diluruskan. Ia jadi sakit kepala, dan maunya semua berjalan baik, singkat, tentu dengan risiko paling minim.

"Kalau gue minta lo buat jadi pacar bohongan gue, elo mau?" tanya Aira, melirik Saka dengan ragu.

Melihat Saka yang hanya diam saja sambil menatapnya dingin, Aira menyesal instan. Harusnya dia tidak meminta hal yang aneh-aneh sementara di sini dia adalah pihak yang bersalah.

Tapi siapa sangka kalau dia akan mendapat jawaban semacam ...,

"Gue mau."

Aira terdiam, matanya lurus menatap Saka dengan setengah tidak percaya.

"Tapi masalahnya ... elo bisa kasih gue apa?"

"Kasih ... sesuatu ke elo?"

"Gue gak mikir sampe ke arah yang sana, lho."

"Hah?"

"Maksud gue, lo ini bermaksud nyewa jasa gue, kan? Masa gue gak dibayar?"

Aira bungkam lama, bingung juga. Ia berusaha tenang sementara kepalanya mengepul mencari jawaban; apa yang bisa ia berikan ke Saka untuk membayar jasa pacar bohongan yang pemuda itu berikan padanya?

Gadis itu semakin gugup sebab Saka terus memperhatikannya. Namun, setelah berpikir lama, Aira mendapat ide ketika tangannya tak sengaja meraba kotak susu stroberi yang diletakkan di saku samping tas miliknya.

"Ini!" Dengan cepat Aira menyodorkannya pada Saka, membuat pemuda itu terdiam bingung, "kalau gue kasih ini, lo mau jadi pacar bohongan gue?"

Saka melihat kotak susu stroberi berukuran mini itu dan Aira secara bergantian. Pemuda itu terdiam lama, keningnya mengernyit menandakan dirinya yang tak menyangka dengan penawaran yang Aira berikan.

Untuk sejenak, Aira merasa menyesal. Harusnya dia bisa memberikan penawaran yang lebih tinggi, sebab dia juga sepatutnya mengerti kalau apa yang Saka beri tidak sebanding dengan susu stroberi pemberiannya.

"Ahahaha ...!"

Akan tetapi, Saka tertawa setelah terdiam lama dengan raut kecut itu. Aira tersentak kaget, tapi Saka masih menertawai susu yang masih berada di tangan Aira itu untuk beberapa lama. Saka mengambil susu itu dari tangan Aira.

"Oke, satu kotak susu stroberi setiap pagi dan kita pacaran," ujar Saka. Ia berjalan pergi keluar lapangan sambil meminum susu yang Aira berikan padanya.

Sementara Aira masih mematung tak percaya, dia pikir dirinya kan mendengar Saka mengomentari penawarannya, tapi ternyata pemuda itu dengan mudah menyetujui permintaan Aira.

"Oh iya, gimana kalau kita pake panggilan aku-kamu aja? Biar kayak pacaran beneran ...?" Saka berbicara, tepat sebelum dia melangkah keluar lapangan. Dia berbalik dan menatap Aira yang kini tersadar dari renungan singkatnya.

Aira terlihat bimbang, lalu tanpa menjawab, ia mengekori pemuda itu. "Ini kita pacaran bohongan, kan?" tanyanya, alih-alih menjawab ucapan Saka.

"Iya," jawab Saka, "tapi kalau mau beneran juga gak masalah."

"Heh, mana bisa begitu?"

"Kenapa gak bisa?"

Saka berhenti berjalan, Aira pun sama. Mundur selangkah gadis itu kala Saka berbalik dan menatapnya lekat-lekat. Aira tahu jika pemuda itu hanya mencoba untuk mengerjainya, tapi tetap saja hal seperti ini tidak boleh dilakukan ke sembarang orang; terlebih pada gadis yang mudah goyah hatinya.

Melihat wajah Aira yang mulai memerah karena tindakannya, Saka kembali tertawa. Ia lalu berjalan lebih dulu meninggalkan Aira yang masih berdiri di pinggir lapangan.

Jauh sebelum sang pemuda meninggalkan area lapangan, Aira didesak oleh keingintahuan yang muncul tiba-tiba.

"Saka!" panggilnya.

"Oi!" jawab Saka agak lantang, sebab jarak mereka lumayan jauh sekarang.

"Apa bener kata anak-anak kalau elo itu artis ruang konseling?!"

Saka terdengar tertawa. "Gue tersanjung dikasih julukan begitu." Aira memasang raut heran, lalu mulai ia berjalan lagi menyusul Saka.

"Itu 'kan bukan hal yang bagus, kenapa elo tersanjung?!"

"Terus gue harus apa? Mukulin mereka yang bilang begitu satu-satu?!"

"Ternyata bener, ya, elo memang si preman yang doyan tawuran ...," gumam Aira dengan nada sedikit kecewa, tetapi Saka masih bisa mendengarnya.

Pemuda itu balik badan, menatap Aira sementara kakinya masih berjalan mundur keluar area lapangan. "Elo gak bakal tau hal baik apa yang seseorang dapet dari sesuatu yang dia lakuin meski itu kelihatan buruk di mata semua orang!" tutur Saka, berjalan mundur dengan santainya dengan sedotan susu yang masih bertahan di antara gigitannya.

"Elo mau bilang ada hal baik yang bisa dateng dari hal semacam tawuran?"

"Ya, dan lo gak bakal ngerti itu!"

"Gimana kalau sebenarnya elo yang gak mengerti di sini?!"

"Lo bisa nyuruh orang putar jalan, tapi gak bisa nyuruh orang buat berubah pikiran" Aira bungkam, kali ini tak bisa menjawab perkataan Saka. Melihat ucapannya meraih kemenangan, Saka tersenyum lalu berkata, "Cepetan jalannya, mau pulang, gak!?" pada Aira yang kini mengangkat kepala dan melajukan langkahnya.

"I-iya!"


Bersambung.

THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang