Tiga hari berlalu sejak terakhir kali Aira melihat Saka. Saka kembali jadi pecandu bolos yang sepertinya sudah tak peduli lagi dengan kehidupan sekolahnya.
Menurut informasi yang Aira dapat, ayahnya Saka memang orang berpengaruh di sekolah ... mungkin itu yang menjadikan Saka berbuat seenaknya perihal absensinya.
Aira maklumi saja. Zaman sekarang apa yang tidak bisa dilakukan dengan uang?
Tapi kalau Aira jadi Saka, mau sekaya apa pun ayahnya dan seberpengaruh apa pun orang tuanya, Aira tetap akan mematuhi peraturan sekolah dan tak keseringan bolos.
Meski peraturan sekolah itu tak semuanya disukai, tapi justru karena hal itu-sekolah jadi terasa menyenangkan.
"Saka ini ada-ada aja, deh," gumam Aira sambil membaca buku pelajaran dan menebalkan bagian pentingnya. Ia masih berusaha untuk belajar kendati sejak tadi memikirkan Saka dan terus melirik ponselnya.
Aira tak bermaksud untuk memikirkan Saka. Tapi memang sejak tiga hari yang lalu, Aira rasanya ingin sekali menemui Saka, setidaknya untuk membicarakan kehebohan yang Saka buat tiga hari lalu.
Aira tidak akan marah ... seperti yang sudah dia tetapkan dari awal.
Berkat tindakan Saka hari itu, tak ada lagi kakak kelas yang berani menyindir ataupun terang-terangan menindas Aira. Tapi kalau soal tatapan sinis mereka, Aira sudah pasrah. Aira hanya bisa berusaha tidak peduli.
Dan juga, tujuan Aira ingin sekali menemui Saka adalah untuk meminta menyudahi hubungan palsu mereka ini.
Setelah menerima pencerahan dari Sephia Harundani, sekarang Aira sudah punya keberanian untuk meminta putus.
Dia sekarang punya keberanian untuk menanggung konsekuensi atas tindakannya. Aira juga sudah siap-siap.
Mumpung belum lama hubungannya, dan belum terlalu terlambat untuk berhenti.
Tapi bagaimana bisa putus, kalau Aira saja maju-mundur hanya untuk mengirim pesan ke Saka?
"Canggung banget, anjir!" kata Aira. Benar-benar gengsi untuk mengirim pesan duluan, tapi kalau menunggu Saka yang mengirim pesan lebih dulu, bisa-bisa telur ayam sudah menetas.
"Gue harus minta udahan ... tapi ngechat 'hai' aja gak bisa." Aira uring-uringan di meja belajarnya
Dia sungguh tak bisa membayangkan respons Saka nanti. Yang ada di otaknya hanya Saka yang memandang layar ponselnya sambil memasang muka geli lalu berkata, "Apa, sih, gak jelas!" dan membuang ponselnya.
Jangankan Saka ... Aira pun aslinya geli akan kelakuan dirinya sendiri.
Bisa-bisanya mengaku pacar Saka Sagara dan meminta kebohongan itu dilanjut sampai entah kapan waktunya?
Aira yakin saat lahir dulu, yang dipotong oleh bidan itu ari-arinya, bukan urat malunya. Tapi kenapa dia bisa tak tahu malu begini?
"Ada banyak hal yang mau gue omongin sama Saka. Gue bakal minta maaf terus minta udahan aja. Terserah kalau akhirnya nanti Saka bakal ngebocorin kelakuan gak tau malu gue, gue mau hidup tenang!" ungkap Aira dengan optimis.
Karena itu, bergeraklah tangannya untuk menelpon satu nomor.
Bukan Saka, sih ....
"Sephia ...."
Itu Sephia.
"Hm? Apa?"
"Judes banget! Gue ganggu, ya?"
"Gak usah pake tanya, udah jelas ...! Ini hari minggu, gue mau tenang dari segala urusan lo sama kak Saka, tapi lo malah-"
"Lagi sama Yunan, ya?"
"HEH!"
Aira tertawa mendengar respons Sephia. Pasalnya Sephia tumben sekali mengoceh panjang. Aira memang asal menebak, tapi kalau Sephia benar-benar sedang bersama Yunan, Aira ikut senang.
Semoga saja Yunan bisa meluluhkan hati Sephia yang kelewat dingin kalau sudah dipakai mengurus soal percintaan.
"Hehe, sorry ganggu kencannya."
"Ekhem! Mau apa?"
"Gue mau putus ...," jawab Aira pelan.
"Gue bukan pacar lo anjir!"
Aira merotasi bola mata. Entah Sephia sadar atau tidak saat berkata begitu.
"Bukan sama elo, tapi sama Saka." Begitu Aira meluruskan ucapannya, Sephia terdengar kaget.
"Serius!?"
"Setelah berpikir keras tiga hari ini, gue mutusin untuk udahan aja bohongnya. Saka itu terlalu susah untuk gue ajak pacaran bohongan. Dia masuk aja sebulan sekali."
"Haha ... akhirnya lo sadar, Ai!"
Sudah Aira duga Sephia akan berkata begitu.
"Terus, kapan mau putusnya?"
Aira menghela napas, melihat jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi. "Rencananya hari ini. Tapi gue gak berani ngechat Saka."
"Chat aja kali. Lo gak perlu bikin kalimat pembuka satu paragraf kayak mau ngelamar kerja kok!"
"Gue tau ... cuma rasanya canggung banget, ngechat buat ngajak ketemuan. Apalagi gue sama Saka itu gak pernah chattingan."
"Hehe ... lo sama Saka beneran pacaran cuma status doang, ya? Aslinya mah dua orang asing yang saling gak peduli."
Aira menatap jenuh. Hubungannya sama Saka memang menyedihkan ... sampai sulit untuk dirinya sangkal.
"Tapi gue penasaran alasan orang asing itu sampe ngelakuin hal kayak kemarin. Gue 'kan bukan pacar dia," gumam Aira, dengan nada bimbang.
"Lo tanya sekalian nanti, yang penting habis itu lo putus."
"Hm ... oke-oke," kata Aira. "Gue gak mau juga kalau tindakan Saka kemarin itu ternyata cuma mau bikin gue bimbang. Gue gak mau dipermainin."
"Idih ... jangan lupa lo duluan yang ngajak main. Gak jelas kalau lo marah begitu!"
Sephia memang teman terbaik Aira, tapi gadis yang sepenuhnya hidup mengandalkan logika itu selalu saja bisa membungkam mulut Aira dengan ucapan menohok dan masuk akalnya, terkadang terdengar sarkas tapi tidak bisa dielak juga.
Salah satunya seperti yang diucapkan barusan.
"Gue tutup ya!" kata Aira pada akhirnya dan telpon ditutup.
Setelah itu, Aira kembali lagi ke nomor Saka. Setelah berdiskusi dengan Sephia, dia jadi punya keberanian untuk menelpon Saka duluan.
Aira menunggu telponnya di angkat dengan cemas. Ketika panggilannya diterima, jantungnya sontak senam irama.
"Halo?"
Nyali Aira rasanya langsung menciut ketika mendengar suara Saka.
"Ha-halo, Saka ...." Tapi ia tidak bisa mundur.
"Kenapa, Ai?"
"Ayo ketemuan." Jujur saja, ketika berkata seperti itu, Aira benar-benar seperti sudah kehilangan rasa malunya. Dia rasa detak jantungnya semakin cepat, sampai dadanya sedikit sesak.
Apalagi Saka yang tak kunjung merespons ajakannya, membuat Aira berpikir yang tidak-tidak.
"Sa ... ka?" panggil Aira sekali lagi.
"Kebetulan. Aku juga mau ngomong sesuatu sama kamu."
Ah ... panggilan yang seolah menggambarkan kedekatan itu.
"Ketemu gue?"
"Iya. Buruan keluar kamar. Di kamar mulu kayak orang sakit, hehe."
Aira mengerutkan keningnya. Tapi ketika Aira akan menanyakan maksud ucapan Saka, panggilan itu langsung dimatikan sepihak oleh si pemuda.
Lama berdiam karena rasa bingungnya, Aira dikagetkan oleh asisten rumah tangga yang datang dan mengetuk pintu kamarnya.
"Non Manda ...," panggilnya dengan panggilan akrab Aira.
"Iya?" Aira membuka pintu kamarnya.
"Di luar ada cowo ganteng nungguin Non Manda."
Aira menaikkan alisnya. Jika yang datang itu Alfin, Aira benar-benar malas keluar untuk meladeni ajakan kencannya.
"Siapa namanya, Bu?"
"Ibu gak tanya, Non. Tapi katanya dia pacar Non Man-"
Aira melesat lari saat itu juga ke lantai bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE VIVID LINE OF YOU : Park Seonghwa
Novela Juvenil[Silakan baca buku VIVID lebih dulu] Mengenal Saka Banyu Sagara itu seperti membuka kotak besar yang di dalamnya masih ada banyak kotak lagi. Kamu harus sabar membuka kotaknya satu persatu, sampai temui apa yang sebenarnya ada di dalamnya. Aira Mand...