32 : Dianterin Pulang

56 11 0
                                    

Jadilah Aira membiarkan Saka berjalan bersamanya; mengantarnya sampai rumah. Tapi jika Aira biarkan Saka terus merangkulnya seperti ini, bisa-bisa dia dalam masalah. Entah kenapa angin malam terasa seperti udara panas yang berembus hanya padanya, sebab Saka terlihat baik-baik saja padahal Aira setengah mati menahan diri untuk tidak baper.

“Saka …,” panggil Aira.

“Ya?”

“Mau sampe kapan elo ngerangkul gue? Gue gerah.”

Saka terdiam, lalu langsung menarik tangannya yang seakan bisa memeluk tubuh Aira. “Ya ampun, maaf. Lupa gue.”

Aira tertawa hambar. Karena Saka lupa, perasaannya hampir dalam bahaya. Pokoknya setelah keadaan kembali normal, Aira akan meminta untuk berhenti berpacaran pura-pura dengan Saka. Ia bertekad; sebaiknya memang berhenti sebelum hatinya meminta sesuatu yang lebih dari Saka. Aira tidak mau jadi manusia tidak tahu diri.

Setelah berjalan untuk beberapa menit, akhirnya mereka sampai di depan pintu gerbang rumah Aira. Kali ke-dua Saka melihat pagar bercat merah marun itu dan membuatnya merasa seminggu lalu seperti baru terjadi kemarin.

“Makasih udah nganterin,” ujar Aira, “maaf nggak bisa ngajak masuk, soalnya udah malem.”

Saka mengangguk-angguk; paham. “Nggak masalah. Emang seharusnya malem-malem nggak usah main ke rumah orang, waktunya yang punya rumah istirahat.”

“Iya.”

“Sekali lagi, makasih karena udah nolongin gue.”

“Nggak apa-apa. Hati-hati, ya, jangan sampe dikeroyok lagi pas jalan pulang.”

Saka tertawa kecil. “Nggak bakal.” Aira sudah akan memasuki gerbang, tapi Saka menahannya dengan sebuah tanya. “Kalau gue ajak berangkat sekolah bareng, nggak masalah?”

“Hah? Gimana-gimana?”

“Kalau gue jemput pagi buat berangkat bar—”

“NGGAK USAH!”

Saka refleks bergerak mundur, terkejut karena Aira tiba-tiba meninggikan suaranya.

“Oke ….”

“Maaf … maksud gue, ibu gue udah mempekerjakan orang buat jadi sopir gue. Nanti kalau gue nggak berangkat sama sopir, sopir gue nggak ada kerjaan, nanti kalau nggak ada kerjaan, sopir gue bakal dipecat sama ibu gue.”

Saka mengangguk, tapi raut wajahnya memperlihatkan sedikit rasa terkejut mendengar penjelasan Aira. “Ibu lo orangnya disiplin, ya?”

“Iya, disiplin banget, haha.”

“Ya udah kalau gitu, gue pulang.”

“Hati-hati.”

Good night.”

Aira butuh waktu sejenak sebelum bisa bersikap biasa saja meski hanya diberi ucapan sesimpel itu. “Iya, good night juga.” Setelah itu, berjalanlah Saka menjauh sampai Aira tak lagi bisa melihatnya. Aira menghela napas, rasanya seperti habis berlari mengelilingi lapangan beberapa kali, padahal dia hanya menghadapi Saka Sagara dengan segala perkataan, sifat dan senyum manisnya.

“Bisa bahaya kalau gue beneran suka sama korban mulut lancang gue. Nggak tau malu,” cibirnya pada dirinya sendiri. Aira menuju pintu rumahnya, tapi dia berhenti. “Menghadapi ujian berupa Saka Sagara? Kali ini berhasil. Tapi ujian sebenarnya menunggu gue setelah gue buka ni pintu.”

Jeglek!

Aira membuka pintu, berusaha untuk tidak membuat suara sekecil apa pun sampai pembantunya menyapa.

“Non Manda, dari mana, Non?”

“Shhhh! Jangan tanya dulu, Bi, nanti ibu deng—”

“Aira Mandala Keins.”

Belum selesai Aira bicara, dan terdengar suara dari arah tangga yang membuat bulu kuduknya langsung berdiri. Saat dia menoleh, ibunya sudah bersilang tangan di depan dada dengan tatapan tajam.

“Ibu belum tidur?” tanya Aira, basa-basi.

“Gimana bisa Ibu tidur kalau anak gadis Ibu tiba-tiba ngilang, keluar rumah buat ketemuan sama laki-laki?”

Aira memasang raut prihatin—tentu saja dia prihatin dengan nasib dirinya, jika saja dia tidak buru-buru menjelaskan. “Itu tadi temen aku, dia minta tolong karena situasi genting banget.”

“Genting gimana? Temen kamu habis dikeroyok massa?”

“Iya … kurang lebih beg—”

“Aira! KAMU TEMENAN SAMA TUKANG MALING AYAM?”

“ENG-ENGGAK, IBU!”

“TERUS KENAPA DIA DIKEROYOK MASSA?”

“BUKAN MASSA, TAPI ANAK SEKOLAH LAIN YANG BENCI SAMA DIA!”

Eliana terdiam, tampak tenang tapi kegelisahannya belum tuntas.

“Kenapa dia dikeroyok anak sekolah lain?” tanya Eliana.

Aira memutar otak, mencari alasan agar tidak semakin lama diinterogasi. “Ya nggak tau. Anak jaman sekarang ‘kan ada yang begitu, Bu, ada anak cuma napas doing—dibenci—dilabrak. Kebetulan dia anak laki-laki, jadi dilabraknya agak beda.”

“Aduh … ada-ada aja anak jaman sekarang. Yang penting kamu jangan sampe kayak dia, deh! Yang bener nyari temen!”

“Iya ….”

Karena sepertinya sudah tidak ada lagi yang harus dibicarakan, Aira berjalan menuju tangga untuk pergi ke kamarnya. Sampai langkahnya ditahan oleh ucapan sang ibu.

“Minggu nanti pergi keluar sana sama Tian.”

Aira langsung mematung dan menoleh pada ibunya.

“Tian?”

“Iya, anaknya temen Ibu itu. Kalian udah kenalan, kan, kemarin?”

“Udah ….”

“Udah tukeran kontak? Udah saling chattingan, kan?”

Aira menjawab apa adanya. “Udah, sih … cuma belum akrab banget.”

“Nah, makanya, main bareng sana biar makin akrab. Bagus kalau kamu punya temen kayak dia; anak baik dan pastinya kenalan Ibu, jadi Ibu udah tau sifatnya kayak apa.”

Aira berpikir, dia ragu untuk mengiyakan perkataan sang ibu sebab dirinya dan Tian belum seberapa akrab. Aira kira jika pergi berdua pun hanya akan ditemani kecanggungan, apalagi mereka dua jenis yang berbeda.

“Nggak mau?” Elina bertanya, membuat Aira yang semula diam saja—langsung mengangkat kepala. “Ada janji main? Sama Sephia lagi? Kamu nggak punya temen lain selain Sephia?”

“Ih … iya, iya! Nanti aku main sama Tian!”

Setelah dijawab seperti itu, barulah Eliana tampak tenang. “Bagus. Yang akrab, ya, sama Tian ….” Eliana berlalu lebih dulu setelah mengelus rambut Aira lembut. Diikuti Aira di belakangnya yang sedikit cemberut.

“Ibu udah kayak lagi mau jodohin anak aja, sih …?”

“Emang iya.”

“HAH!? YANG BENER AJA, BU?”

“Tau, deh …!”

“Ih … Ibu …!”

THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang