27 : Kecemasan Itu ... Sia-Sia

61 13 0
                                    

"Aduh, frontal banget! Pelan-pelan, dong!"

"Hahaha!" Saka tertawa, sepertinya dia sangat menikmati setiap kali ia menggoda Aira.

Melihat Saka yang tertawa seringan itu, Aira jadi sedikit lupa tentang topik serius yang pemuda itu bicarakan dengan Yunan yang masih berada di dalam sana-juga dengan alasan lain Aira sangat ingin menemui Saka.

"HP-lo ke mana, deh?" tanya Aira.

"HP?"

"Gue telpon, chat, semuanya demi bisa ngehubungin elo. Tapi kayaknya HP lo mati."

"Oh ...," respons Saka sangat biasa, "HP gue di rumah, gue lupa bawa."

Dan sesederhana alasan itu mampu membuat Aira setengah menganga.

"Maaf, Ai. Elo mau ngomong sesuatu emangnya?"

"Mau gue butuh ngomong sama elo, emangnya nggak masalah kalau nggak bawa HP? Itu 'kan alat komunikasi."

"Komunikasi ... emangnya kalau komunikasi sama guru harus pake HP?"

"Hah?"

"Ya kalau ke sekolah itu buat komunikasi sama guru, kan? Lewat interaksi kelas, jam pelajaran. Malah guru ngelarang pake HP di dalem kelas. Jadi buat apa gue bawa HP?"

"Hadeh, Saka ...," Aira menghela napas panjang, mulai merasa lelah dengan sifat polos Saka yang tampak seperti disengaja untuk menguji dirinya. "Emangnya elo nggak punya temen yang harus lo kasih kabar ataupun sewaktu-waktu butuh buat ngabarin elo? Kayak tadi ... gue cariin elo, gue bahkan tanya temen-temen lo dan nggak ada yang tau lo di mana sejak istirahat pertama sampe istirahat ke-dua. Elo di mana, sih?"

"Oh ... istirahat pertama gue bolos ke mekidi sama Sandrio, istirahat ke-dua gue tidur siang di atap."

Aira ingin tercengang sekali lagi, tapi dia ingat jika yang berbicara sekarang adalah Saka Sagara.

"Bisa lo bolos terus balik lagi?"

"Bisa dong! Gue ini sohibnya mas Bowo, jangan lupa," balas Saka dengan percaya diri, "dan juga ... yang penting pas pelajaran, gue masuk kelas."

"Iya, terserah lo, deh."

"Rasanya kayak lagi diomelin pacar, deh," gumam Saka, membuat Aira tercengang dan menatapnya yang kini tersenyum sok manis, "gue gak nyangka elo perhatian banget, Ai. Besok lagi, gue bawa HP terus, deh. Atau elo mau komunikasi HT sama gue?"

"Kayak hansip aja," cibir Aira, dan inilah saatnya kembali ke topik utama, "BTW, elo habis tawuran, ya?"

"Tawuran?" Begitu Aira membahas soal tawuran, Saka langsung terdiam, senyumnya juga hilang.

"Kata Sephia elo sama temen-temen lo habis tawuran, sama Yunan juga, kan? Kata Sephia, Yunan juga tiba-tiba pergi sebelum kencan mereka selesai." Aira melirik ke dalam dan seperti tahu dirinya sedang dibicarakan, Yunan yang semula sibuk main ponsel-sempat melambai pada Aira. "Kemarin, ya? Padahal kita habis ketemuan. Jadi elo tawuran sehabis nganter gue pulang? Katanya elo lupa kalau punya janji itu ... janji buat tawuran?"

"Eng-Ai ...," Saka sampai bingung mau menjawab apa karena pertanyaan beruntun Aira, "itu bukan masalah besar, kok."

"Tawuran anak-anak bukan masalah besar?"

"Kalau lo ke sini mau nanya gue luka apa enggak, gue nggak luka-luka, kok. Lo liat muka gue, nggak ada bekas tonjokan, kan?"

Ya, benar jika wajah Saka sangat bersih dari bekas-bekas kekerasan.

"Gue ini yang paling jago jadi nggak bakal luka-luka, lagian cuma tawuran kecil aja, Ai ... gue sama yang lain bisa menang dengan mudah dan-"

"Saka!"

Saka terkejut saat Aira tiba-tiba memanggil namanya sangat lantang. Saat Saka melihat, gadis itu sudah menatapnya dengan sorot tajam dan kesal.

"Gimana bisa elo bersikap se-enteng ini? Lo tau jaman sekarang anak-anak SMA itu kayak mana waktu tawuran? Mereka bisa bawa sajam dan nggak ragu buat nebas lawannya, tapi elo bilang cuma tawuran kecil? Gimana sama polisi? Gimana kalau elo dan temen-temen lo itu digrebek polisi dan-"

Aira tiba-tiba menghentikan ucapannya ketika ia sadar dengan apa yang sedang dia lakukan. Gadis itu memberi Saka tanda tanya, kebingungan terlihat jelas di raut si pemuda hingga di detik selanjutnya, helaan napas panjang keluar dari wajah lelahnya.

"Hah ... gue ngapain, sih?" ujar Aira dengan menundukkan sejenak kepala.

"Ai?"

"Seharusnya gue sadar dari awal siapa elo dan nggak bersikap sok cemas begini, seolah-olah gue ini pacar lo beneran."

Saka tertegun mendengar perkataan Aira, terlebih saat gadis itu memperlihatkan raut muaknya.

"Elo sama tawuran itu udah kayak temen akrab, kan, ya? Tapi tiba-tiba gue seakan marah begini karena lo tawuran, rasanya malu-maluin banget. Lo juga pasti ngerasa gue aneh, kan?"

"Enggak, Ai-"

"Buat apa juga gue ngerasa sok cemas begini, padahal gue bukan siapa-siapa lo."

Saka mengernyitkan dahi, tidak mengerti mengapa Aira tiba-tiba begitu gamblang dengan perasaannya dan seakan membesarkan masalah. Padahal Saka belum memberi penjelasan sama sekali.

Ingin Saka menyela, atau bicara baik-baik agar tidak ada salah paham. Tapi gadis dengan rambut hitam lurusnya itu lebih dulu berkata, "Gue pulang duluan, deh. Makasih untuk jaketnya dan joging kemaren, meski kayaknya gue bikin lo hampir lupa sama janji penting lo."

"Ai ...."

Tidak berguna, Aira meninggalkan Saka begitu saja dengan kesalahpahaman yang belum sempat Saka luruskan. Gadis itu tidak mau mendengar, seakan dia sedang kesal akan sesuatu yang Saka juga tidak bisa memahami apa.

Saka hanya terpaku di depan pintu kelasnya, memandangi punggung Aira yang menjauh dan hilang dari pandangannya. Sampai Yunan datang dan menginterupsi.

"Lah, nggak jadi pulang bareng?" tanya pemuda dengan pipi sedikit berisi itu.

Saka menatapnya dengan raut bingung dan melas. "Enggak. Padahal gue nggak pulang duluan demi bisa pulang bareng Aira."

"Haha, ngapain? Berantem?"

"Nggak tau. Dia tau gue tawuran, gue bilang nggak apa-apa, tapi dia malah ngambek dan bilang kita bukan apa-apa."

"Bukannya emang bukan apa-apa?"

"At least, nggak kayak elo sama temennya itu yang sama sekali nggak ada hubungan."

"Aduh, kok bahasnya ke situ, bos?"

Saka tak menanggapi, dan sibuk memikirkan hal apa yang salah darinya sampai Aira pergi tanpa mau mendengar penjelasannya.

"Salah gue apa, ya? Padahal gue udah bilang gue nggak apa-apa, tapi kok dia malah marah?"

Yunan yang melihat kegundahan itu hanya tertawa. Menepuk pundak Saka sembari berlalu dan berkata, "Coba dipikirin baik-baik, anggep aja simulasi belajar tentang perasaan dan cara cewe berpikir sebelum bener-bener jadi cewe lo."


THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang