29 : Solusi Sesat Bersama Geng Atis

66 13 2
                                    

"Kalian tau kalau gue nggak bisa berhenti gitu aja, kan? Ada sesuatu yang lagi gue perjuangin, dan kalian pun tau gue nggak bisa berhenti sebelum gue bisa wujudin apa yang gue mau," ujar Saka, dengan raut yang kembali sendu dan seakan langsung memenuhi ruangan itu ketika ia mengangkat wajahnya dan menatap satu per satu temannya,

Tentu saja mereka mengerti, maka dari itu mereka tampak berhati-hati untuk berbicara kemudian.

"Setelah dua tahun lamanya, amarah lo nggak berubah, ya?" ujar Haris, dengan nada yang lebih lembut.

"Kalau lo ada di posisi gue, gue yakin lo juga pasti masih bisa ngerasain amarah yang sama kayak di hari itu terjadi di depan mata lo, Ris," jawab Saka, dan Haris tersenyum sendu.

"Gue bersyukur bukan gue yang ada di posisi lo, karena gue mungkin nggak bakal bisa ngendaliin semuanya sebaik elo—termasuk sama amarah yang lo pendam selama ini, dan sampai nanti—sampai lo bisa ngelampiasin semuanya."

"Lo masih berhubungan sama keluarganya, Bang?" tanya Sandrio.

"Enggak. Dia bener-bener menghilang dan orang-orang bilang keluarganya memang sengaja bawa dia ke luar negeri."

"Gue bisa memaklumi tindakan mereka, apalagi dengan dampak yang anak mereka dapet. Gue paham mereka cuma mau yang terbaik untuk anak mereka."

"Soal tawuran kemaren, katanya lo hampir ketemu sama Kris," Yasa bicara, menyinggung tentang tawuran minggu lalu yang hasilnya masih membuat Saka merasa kecewa.

"Si bajingan itu masih jadi pengecut sampe akhir."

"Dia menghindar mulu. Tau kalau ketemu lo bakal jadi akhir dari hidupnya apa gimana?" tanya Aji.

"Ya intinya, sih, emang takut," timpal Wino.

"Nggak setimpal sama nyalinya di malem itu. Dia tau dia salah, makanya terus lari dari Bang Saka," tutur Yunan. Pemuda itu lantas menepuk pundak Saka pelan dan hangat. "Pokoknya lo inget, Bang, gue bakal tetep berjuang bantuin lo sampe lo bisa nonjok muka si Kris brengsek itu. Bakal gue dukung elo secara ugal-ugalan seakan elo lagi nyaleg."

Saka ingin terharu, tapi pemilihan kata-kata Yunan yang terkadang di luar logika itu membuatnya merasa tidak tahan untuk tidak melirik setengah sinis.

Diikuti yang lain, mereka tampak setuju dengan ucapan Yunan untuk selalu bersama Saka dan membantu Saka mewujudkan keinginannya. Tapi tidak dengan Yasa yang sejak tadi hanya fokus makan, sampai pemuda pintar itu mengutarakan isi kepalanya dan berkata, "Tapi aman nggak, nih, kalau lo emang bener-bener suka sama Aira?"

Semuanya langsung diam, menatap Yasa yang tengah menuang saus saset ke ayam gorengnya.

"Gue suka sama Aira?" tanya Saka, dengan nada bimbang.

"Ya, kalau lo suka beneran sama Aira, lo bisa handle?"

"Hm ... kalau gue minta saran dari Yunan, kayaknya bisa."

"Bukan nge-handle itu, tapi masalah baru yang bakal dateng."

Saka diam, yang lainnya pun ikut diam karena bingung.

Melihat wajah bingung teman-temannya, Yasa menghela napas dan menjauhkan ayam gorengnya untuk sesaat hanya agar dia bisa berbicara dengan lebih baik dan jelas.

"Maksud gue ... elo ini masih perang sama Kris, baik lo sama dia itu sama-sama mengharapkan kejatuhan satu sama lain. Elo tau Kris itu gila, dia bisa ngelakuin apa aja supaya lo bisa kalah, sama aja kayak malem itu—apa yang dia lakuin ke Kiran—"

"Yas," ujar Saka, menyela. Ucapan Yasa yang dikatakan tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain lebih dulu itu jelas saja hampir memancing ingatan buruk Saka.

Yasa mengerti, dia akan membahas hal lain yang tidak jauh dari topik kali ini.

"Lagian, udah tau lagi punya masalah, malah nambah masalah baru. Belum lagi kalau lo ketauan cuma jadi pacar bohongannya si Aira, udah pasti cewe itu yang bakal dihujat habis-habisan. Main terima aja ditarik ke masalahnya, nggak mikir dulu dampak di belakangnya, biar apa begitu? Dipikir ini ftv series adaptasi watpadd, ap—"

"Yasa, mending lo makan aja ayam goreng lo atau gue hibahin semua ke Johan?" ujar Haris, tersenyum lebar berharap Yasa akan mengerti dan berhenti bicara semakin tajam. "Maaf, Sak, lo tau Yasa orang pinter, cuma akhlak mulutnya emang nggak lulus KKM jadi minus dikit."

Setelah itu suasana jadi hening. Semua sibuk dengan urusan masing-masing terutama urusan makanan yang sudah terpampang beraneka ragam di depan mata. Terkecuali Saka yang termenung, sampai Wino menyadarinya dan berpikir untuk mencarikan suasana dengan mengutarakan isi kepalanya.

“Atau lo mau pake jurus jitu gue buat baikan sama cewe, Bang?” ujar Wino, memberi tawaran—membuat semua melihat ke arahnya. “Gue biasanya pake ini supaya bisa dapet perhatian dari cewe gue yang lagi ngambek.”

“Cewe lo yang mana satu?” tanya Johan, menyindir.

“Diem dulu, sih, Jo. Kalau lo mau berantem, nanti aja di luar. Gue mau mengedukasi Bang Saka dulu.”

“Iyeh.”

Wino melirik Johan sinis, tapi kembali fokus serius saat menatap Saka yang tampak menunggu kelanjutan ucapannya.

“Gini, Bang. Jurus jitu untuk dapet perhatian cewe yang lagi ngambek ala gue adalah … pura-pura sakit.”

“Pura-pura sakit?”

“Iya. Cewe itu secara naluriah punya sifat keibuan, yang artinya dia nggak bisa tahan liat orang lain apalagi orang terdekatnya—menderita atau sakit. Dia pasti langsung punya naluri buat menyayangi, melindungi, dan memanjakan.”

“Kalau sifat begitu mah semua manusia juga bisa punya, nggak cuma cewe aja,” timpal Aji.

“Iya, semua manusia bisa punya—kecuali Johan sama Yasa,” balas Wino sinis, “pokoknya, semarah apa pun cewe, dia pasti bakal luluh kalau liat orang itu lemah ataupun keliatan mengemis kasih sayangnya. Nah, elo ngemis deh kasih sayang cewe lo lewat pura-pura lemah—pura-pura sakit!”

“Emang boleh, ya, begitu? Sama aja bohong dong gue.”

“Ya namanya juga pura-pura, ya kali tidak berbohong, Abang?”

Saka terdiam; menimbang-nimbang ide dari Wino. Tapi dia masih merasa ragu, soalnya … “Gue nggak bisa pura-pura sakit, pasti nanti ketahuan kalau gue bohong.”

Semua yang mendengar kompak menghela napas, ikut merasa sayang melewatkan ide sebagus itu. Padahal terdengar seratus persen akan berhasil untuk meluluhkan hati sang hawa. Suasana jadi hening dan kembali sendu, sampai Yasa berceletuk.

“Kalau nggak bisa sakit bohongan, ya tinggal sakit beneran aja.”

Semua langsung mengerjapkan mata, seakan mendapat kembali binar kehidupannya. Mereka menatap satu sama lain, saling berbagi isi kepala sampai membuat Saka jadi merasa tidak enak.

“Gue suruh sakit beneran gimana maksud lo, Yas?” tanya Saka, dan perhatiannya dialihkan dengan Haris yang perlahan mendekatinya dengan kepalan tangan. Saka melotot. “Ris, mau ngapain lo?”

Sorry, Sak, gue cuma mau bantuin.”

“Enggak! Elo mah emang nyari kesempatan buat bales dendam sama gue!”

“Ini yang terbaik buat lo, Sak. Gue tau lo tahan banting.”

“TAPI NGGAK BEGINI JUGA—”

DUAGH!

“AKHHHH! HARIS BANGSAAAAT!”

THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang