"H-hah?"
"Gue gak tau gimana bilangnya, tapi ketika gue ngeliat lo untuk yang pertama kali, rasanya aneh. Rasanya lo bukan hal yang bisa gue cuekin dengan mudah, rasanya kayak gue akhirnya bisa minum air anget setelah main hujan-hujanan seharian."
Aira masih bisu, matanya fokus ke Saka yang memperagakan perasaan dia dengan bahasa tubuh dan sesungguhnya itu cukup menggemaskan, jika saja Aira cukup untuk mengerti arti dari ucapan terakhir Saka.
Bagian terakhir memang cukup membingungkan, tapi ungkapan di awal juga bukan hal remeh sampai bisa Aira lupakan.
Aira menarik? Aira membuat Saka berpikir dirinya adalah sosok yang sulit untuk diabaikan?
Ada apa ini?
Aira memang tidak menaruh ekspetasi tinggi akan hubungan palsu ini, tapi kenapa Saka malah berbicara seolah-olah dia tertarik pada Aira? Tertarik dalam artian menyukai. Ah, Aira jadi dibuat setengah melayang dengan ucapan yang ambigu itu.
Aira jadi bertanya sesuatu yang tidak seharusnya ia pikirkan, tentang apakah Saka tertarik pada Aira sepatutnya lelaki yang tertarik pada lawan jenisnya.
"Jangan-jangan ... gue beneran suka sama lo?"
Tapi yang keluar dari mulutnya malah yang sebaliknya.
"Hah?"
Saka mengangkat sebelah alisnya setelah mendengar kata-kata Aira, sementara gadia itu langsung tersadar akan hal yang tak sengana ia ucapkan.
Aira menggelengkan kepalanya, dalam hati ia merutuki kebiasan diri yang gemar asal bicara seperti tadi.
"Ah ... gue ngomong apa, sih?" tanya dia dengan nada gusar, tak mengerti dengan dirinya sendiri.
Dua-duanya kompak membisu, tiba-tiba suasana jadi agak canggung. Di pagi yang cerah dan panas, suasana yang canggung dan tak bergerak; ini sama sekali tidak nyaman.
Aira melirik Saka, pemuda itu berdiri di sampingnya tapi matanya menatap ke arah lain. Belum lagi dengan tangan lebarnya yang dipakai untuk menutup setengah wajahnya, dari hidung sampai mulut.
Perlahan Aira bergerak menjauh, wajahnya cemas sambil mengendus sedikit badannya.
Masa iya gue sebau itu sampe Saka eneg nyiumnya?
Dan pertanyaan itu langsung Aira sanggah sendiri karena dia memang wangi, dan wanginya juga bukan wangi yang menyengat sampai Saka harus menutupi hidungnya seperti itu.
"Ki-kita ngapain di sini aja?" suara Saka memecah hening, menyadarkan Aira.
Aira diam sejenak, tidak tahu juga alasannya kenapa dia tetap diam di pinggir jalan seperti patung yang sengaja ditaruh di sana.
"Haha ... ngapain, ya?" katanya, berusaha tertawa meski canggung rasanya.
Ah, menyesal sudah Aira. Gara-gara mulut lancangnya, sekarang hubungannya dan Saka jadi canggung. Aira tak tahu akan bertahan seberapa lama, tapi dia juga tak tahu caranya mengembalikan suasana.
Mereka melanjutkan perjalanan, dan dengan berusaha keras Aira membangun topik agar dirinya tidak berakhir canggung di sisa waktu jalan-jalan santainya dengan Saka.
"Saka, rumah lo di mana?" Aira bertanya, Saka yang sedari tadi melihat ke arah lain alhasil mengalihkan wajahnya ke Aira.
"Rumah gue? Mau ngapain?"
"Mau sensus," jawab Aira asal.
"Lo anggota sensus penduduk juga?"
Perkataan Saka membuat Aira hanya bisa menghela napas sambil merotasi bola mata. "Ya enggaklah, Saka ...." Aira bahkan sempat tak percaya jika Saka yang ada di sampingnya ini sosok yang sama yang memiliki gelar ketua geng tawuran di sekolah. "Itu basa-basi ...!"
"Oh ...." Saka mengangguk paham. "Gue kira lo nanya karena mau main," lanjutnya, Aira melirik ke arah Saka.
"Hm ... enggak, deh! Gue takut mati kutu ketemu orang tua lo," kata Aira, menanggapi ucapan Saka.
"Haha, lo main aja kali. Gak usah ngerasa kayak dateng buat ngelamar gue."
Aira tersenyum lebar dan hambar. Ia sudah menahan diri untuk tidak baper, tapi agaknya Saka yang susah menahan diri untuk tidak membuat Aira baper.
"Ya ... gak gitu juga. Cuma takut canggung aja ketemu bonyok lo."
"Di rumah gak ada orang tua," jawab Saka, "gue tinggal sama kakak gue. Orang tua gue udah tinggal sama keluarga baru mereka masing-masing."
Aira mendelik kaget. "Oh, ya ampun gue gak tau. Sorry ...," ucap Aira spontan, ia jadi merasa bersalah.
"Gak perlu minta maaf," jawab Saka dengan setitik senyum di wajahnya. Tapi Aira masih bisa melihat kalau pemuda itu tidak nyaman ketika berbicara tentang orang tuanya.
Aira buru-buru mencari topik baru.
"Elo berapa bersaudara?" tanya Aira kemudian.
"Tiga. Gue anak tengah," jawab Saka, sambil bergerak lebih dekat ke Aira karena dia terlalu dekat sama jalan raya.
Aira membeku sebentar, mati kutu dan makin deg-degan.
"O-oh ... jadi lo tinggal bertiga sama kakak dan adik lo, ya?" tanya Aira lagi, berusaha supaya tidak canggung.
Saka menjawab, "Enggak, sih. Adek gue ikut papa, tapi mereka masih tinggal di sekitar sini. Masih satu daerah sama gue. Beda sama mama yang tinggalnya di Jakarta Utara."
"Oh ... masih deket lah, ya rumah lo sama rumah bokap lo."
"Iya, lumayan deket kalau pake kendaraan. Kalau jalan kaki, ya jauh, sih." Aira hanya diam dan melirik Saka dengan tatapan jenuhnya.
"Oke ...," bales Aira, dia tidak tahu akan membahas apa lagi.
Tapi tiba-tiba aja, Saka balik bertanya tentang keluarga Aira.
"Lo kenapa pindah ke Jakarta?"
"Ikut nyokap gue. Nyokap suka pindah-pindah gitu kerjanya, ngikut kerjaan."
"Berarti ada kemungkinan lo bakal pindah lagi dong?"
"Iya ... mungkin?"
"Hehe," Saka tertawa, Aira bingung karena kata-katanya itu bukan hal yang lucu sampai Saka harus tertawa seperti itu. "Kayak orang purba aja lo, rumahnya nomaden."
Aira menghela napas, mengemis kesabaran dari Yang Maha Kuasa sebelum dia menyentil wajah ganteng Saka.
Tak berselang lama, Saka berhenti jalan. Aira menengok sambil melihat Saka yang terus menunduk, dan baru dia sadar kalau tali sepatu Saka lepas.
"Jalan duluan aja, nanti gue susul," kata Saka dan tentu saja Aira tidak menolak. Aira jalan lebih dulu, sendirian tentunya. Dan ketika itu, orang-orang yang berjalan melewatinya menatap Aira sambil berbisik-bisik jengah.
Aira mengerutkan keningnya, sejak tasi tatapan itu tidak mereda. Ia mulai merasa kesal.
"Ini orang-orang ngapain pada ngeliatin gue, sih?" tanya Aira dengan bergumam, dia pastinya kesal karena diperhatikan tanpa alasan. "Apa karena gue jalan bareng sama Saka?" tanyanya lagi.
Aira berhenti berjalan, hendak menoleh ke Saka yang belum menyusulnya.
Tapi ketika Aira akan menoleh, tiba-tiba saja Saka datang dan langsung berdiri amat dekat dengan Aira. Sedekat itu sampai Aira dapat mendengar deru napas yang memburu seolah pemuda itu baru berlari ratusan meter jauhnya.
Aira sangat kaget, ia bisa merasakan tangan besar Saka yang melingkar di pinggangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE VIVID LINE OF YOU : Park Seonghwa
Teen Fiction[Silakan baca buku VIVID lebih dulu] Mengenal Saka Banyu Sagara itu seperti membuka kotak besar yang di dalamnya masih ada banyak kotak lagi. Kamu harus sabar membuka kotaknya satu persatu, sampai temui apa yang sebenarnya ada di dalamnya. Aira Mand...