🌲 Sisi Tiga

202 37 5
                                    

Tristan mengambil kunci mobil diam-diam lalu mengeluarkan mobil dari parkiran. Tatapannya sempat beradu dengan Jovan yang masih merokok di atas balkon, ia langsung nyengir. Jovan mulanya ingin bertanya mau kemana Tristan malam-malam begini—bahkan sudah bisa dibilang dini hari—namun begitu melihat sosok Livi ikut keluar, ia mengurungkan niatnya. Apapun yang akan dilakukan mereka, kemana pun tujuan mereka, Jovan paham ia tak berhak ikut campur jadi ia memutuskan untuk diam saja dan mengirim satu pesan pada Tristan.

[Jovan]
Jangan sampe baku hantam.

Tristan hanya membalasnya dengan emoji jempol.

Sudah lebih dari dua menit mobil hitam itu melaju di jalanan kota Yogya yang lenggang. Tristan belum mengatakan apa-apa, ia memutar lagu Bon Iver secara acak agar suasana dalam mobil tidak begitu sunyi. Livi memandang ke jendela, dalam hati ia bertanya-tanya kemana Tristan akan membawanya.

“Kamu ingat gak dulu kita pernah diam-diam pergi berdua jalan-jalan malam gini.”

“Ingat,” jawab Livi. “Tapi dulu beneran malam ya, kalau sekarang udah dini hari.”

Tristan terkekeh.

“Kita mau kemana?”

“Tadinya pengen ke Malioboro, tapi jam segini toko-toko udah pada tutup. Jadi kita driving aja siapa tahu nemu tempat bagus.”

Livi mengangguk. Ia tak sadar Tristan beberapa kali melirik ke arahnya.

Untuk yang pertama kalinya setelah bertahun-tahun, kedua sosok yang pernah merajut rasa itu kembali duduk berdua—bersebelahan—dengan kepala dipenuhi kenangan lama yang mulai bermunculan.

Tristan ingat bagaimana dulu saat pertama kali ia menyadari ketertarikannya pada Livi. Ia hampir tak bisa mengalihkan pandang dari perempuan itu. Matanya selalu mencari-cari keberadaannya dan bibirnya akan tersenyum begitu ia menemukannya.

Ia ingin mendekat, tapi ragu karena bagaimana pun ia tahu hubungan mereka tidak akan pernah berhasil. Tristan dan Livi menyembah Tuhan yang berbeda.

Namun rasa cintanya semakin besar, mengalahkan akal sehatnya yang mati-matian mengingatkan Tristan untuk tidak mencoba-coba.

Kayanya gak apa-apa kalau cuma pacaran. Orang lain juga banyak kok yang pacaran beda agama. Tristan meyakinkan dirinya dengan sebuah kebohongan yang tampak begitu jelas.

Sebuah keberanian tiba-tiba muncul, di detik itu pula ia mengirim pesan pada Livi. Mengajak perempuan itu main berdua dengannya sebelum ia pergi pulang kampung untuk menghabiskan liburan semesternya.

Keesokan harinya mereka berangkat menuju Gunung Andong. Tristan sengaja mengajaknya tektok karena merasa tak etis bila mereka sampai harus berkemah berdua. Mereka bukan siapa-siapa, mereka tak memiliki hubungan apa-apa selain teman seangkatan.

“Kamu paling pengen muncak ke gunung mana Li?” tanya Tristan masih agak kagok dengan nama baru yang mereka dapatkan, yang sejatinya terdengar sangat aneh.

“Ehm ...,” Livi terdiam lama sambil memandang Gunung Merbabu di kejauhan sana, “Raung kayanya.”

“Wah, ngeri,” komentar Tristan.

Gunung Raung adalah gunung tertinggi ketiga di Jawa Timur sekaligus gunung yang memililiki kaldera terbesar di Pulau Jawa. Gunung itu terkenal dengan treknya yang ekstrem, bahkan ada sebuah jalur yang dinamakan jembatan shirotol mustakim karena bentuknya memanjang membelah jurang. Meleng dikit nyawa bisa melayang.

“Kalau kamu?” Livi bertanya balik.

“Ikonnya Pulau Jawa.”

“Semeru?”

Segi Delapan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang