🌲 Sebelum Hujan

219 37 0
                                    

“Mau nutella dong,” ujar Livi sambil menunjuk botol nutella di depan Jovan. Namun bukan Jovan yang mengambilkannya, melainkan Tristan yang duduk di sebelahnya.

“Gigi kamu udah gapapa?” tanya Tristan teringat semalam Livi mengeluh sakit gigi saat mereka hendak pulang dari alun-alun.

“Udah gak sakit, tapi kayanya nanti aku perlu beli obat buat jaga-jaga.”

Percakapan mereka berdua sukses menarik perhatian teman-temannya yang secara kompak menghentikan aktivitas masing-masing dan saling lirik penuh arti.

“Jadi ...,” Rosie menelan sisa roti di mulutnya. “Semalam kalian habis dari mana?”

Uhuk

Livi tersedak. Ia memalingkan wajah dan pura-pura sibuk mengoleskan coklat ke rotinya.

“Semalam?” tanya Sora yang menampakkan raut bingung bersama Anjani.

“Menyusuri jalan kenangan kayanya,” sahut Jovan yang menjadi saksi kepergian mereka.

“Mereka pergi diem-diem lagi semalam?”

“Iya Jen. Kan tadi malam sekitar jam setengah tiga atau jam berapa gitu lupa, aku kebangun terus mau ngambil minum, eh gak sengaja liat mereka baru datang kaya habis pergi gitu soalnya Liwet bawa tas.”

“Serius?”

“Demi Allah.”

“Pantesan pagi ini auranya agak lain.” Anjani tersenyum menggoda. Senang karena permusuhan diantara mereka mulai terurai satu persatu, tak hanya ia dan Rosie atau pun ia dan Jovan.

“Ah, kepo banget kalian.” Tristan sok cuek dan memakan rotinya dengan santai.

“Jadi sekarang kalian apa? Temenan lagi atau ....”

“Temen!” Livi menjawab tegas.

Ia tak mau disalahpahami oleh teman-temannya. Terlebih kini ia sadar bahwa dirinya dan Tristan mustahil untuk kembali bersama.

“Bagus deh kalian udah baikkan,” tutur Tara. “Ayo cepet habisin sarapannya, katanya kalian mau mampir beli bakpia?”

“Siap Pak ketu!”

Mereka menurut. Sebagai mantan ketua umum, secara tidak langsung Tara juga dianggap ketua angkatan mereka. Karena itulah mereka sering mematuhi ucapannya. Sejauh yang mereka rasakan, Tara cukup bagus selama jadi ketua. Bukan tipe ketua yang diktator, bukan pula yang tidak bisa diandalkan. Tara selalu tahu kapan dia harus tegas dan kapan dia boleh santai.

Usai sarapan mereka kembali ke kamar masing-masing dan siap-siap untuk berangkat.

Livi mengeluarkan pouch make up-nya dan mulai merias wajahnya. “Penampilan harus tetap on point!” begitulah prinsip Livi yang dulu terlihat paling tomboy diantara mereka.

Ia mengenakan crop top putih dipadu celana kulot highwaist berwarna hijau army yang membuat tubuh rampingnya terlihat jelas. Berbeda dengan Sora yang tengah memperhatikannya, perempuan itu sudah tampak cantik mengenakan elodie dress motif bunga berwarna soft yang memberinya kesan manis dan tenang. Perutnya belum terlalu membesar, sepintas ia tak terlihat seperti wanita hamil.

“Rasanya nikah gimana Ji?”

“Ya gitu.”

“Gitu gimana?”

“Nanti kamu juga bakal ngerasain sendiri.”

“Aduh, masih jauh itu. Jodohnya aja belum kelihatan. Lagian aku kayanya belum siap nikah, agak serem kalau dibayangin.”

Segi Delapan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang