“Apa sekarang kamu masih menganggap perasaan orang yang suka sama kamu itu sebagai beban?”
Anjani teringat pertanyaan Jovan tempo hari. Saat itu ia tak langsung menjawab. Ia memandang Jovan beberapa detik lantas ia menggeleng sambil tersenyum kecil.
“Syukurlah.” Jovan ikut tersenyum.
Mereka duduk di atas pasir, menyaksikan teman-temannya yang masih sibuk bermain. Rosie menghampiri sebentar hanya untuk meminjam kamera, lalu pergi lagi meninggalkan Anjani dan Jovan berdua.
“Dulu aku pernah suka sama kamu,” ungkap Jovan tiba-tiba.
Anjani menoleh kaget—bukan karena isi pernyataannya, melainkan karena keputusan Jovan yang memilih untuk mengungkapkannya.
“Aku nggak akan minta jawaban, aku juga nggak akan nuntut apa-apa,” katanya lagi dengan suara yang sangat tenang. “Aku cuma pengen bilang aja biar perasaanku ke kamu benar-benar selesai.”
Anjani terdiam lama, lalu berujar, “Makasih.”
Ia tak punya kata-kata lain yang bisa dikatakan, ia terlalu terkejut karena tak mengira Jovan akan membahas hal ini setelah lima tahun mereka tidak bertemu. Ia pikir Jovan sudah lama melupakannya, ia pikir Jovan membencinya.
Anjani sadar selama ini perlakuannya pada Jovan jauh dari kata baik, apalagi setelah ia tahu bagaimana perasaan lelaki itu kepadanya.
Ya, Anjani menyadarinya. Meski dulu Jovan bilang ia bukan tipe perempuan yang akan disukainya, tapi semua perlakuan Jovan berkata sebaliknya. Anjani cukup peka untuk menyadari, apalagi reaksi teman-teman atau para seniornya yang kerap menggoda mereka.
Tidak akan ada asap tanpa api. Mereka tidak mungkin tiba-tiba menggodanya tanpa alasan.
Sayangnya Anjani bukan tipe perempuan yang akan luluh atau barangkali baper atas godaan-godaan itu. Justru ia merasa sebaliknya, ia muak dan tanpa sadar jadi membenci Jovan. Sekalipun dulu ia menyukai Jovan, ia akan berbalik tak menyukainya bila orang-orang mulai menggodanya. Anjani benci menjadi objek pembicaraan hal-hal semacam itu. Ia tak sudi bila harus membuat ucapan mereka menjadi kenyataan yang nanti akan membuat mereka tersenyum puas—merasa benar dan tahu segalanya—ia lebih memilih untuk menghancurkannya.
Karena itulah sikapnya pada Jovan semakin dingin. Bukan salah Jovan karena telah menyukainya, bagaimanapun hati seseorang tidak bisa kita atur sesuka hati, tapi Jovan salah karena telah menunjukkan perasaannya dengan sembarangan sehingga menjadi konsumsi publik dan bahan omongan orang-orang.
Anjani tak punya pilihan lain selain menolaknya secara tidak langsung sebelum Jovan menyatakan perasaannya. Lagi pula ia sadar bahwa saat itu kemungkinan untuk menyukai Jovan sangat tipis. Ia tidak suka laki-laki jago flirting seperti Jovan, dan kerap menyepelekan tugas-tugasnya di organisasi.
Bilangnya paham, tapi kemudian mengacaukan. Bilangnya iya, tapi tak diselesaikan. Anjani benci orang yang tak bertanggung jawab dan tak bisa menepati ucapannya.
“Jen, jangan terlalu keras sama yang lain. Kamu nggak bisa menerapkan standarmu ke semua orang. Kalau kamu gini terus mereka yang ada bakal balik memusuhimu.” Suatu hari salah satu senior yang paling dekat dengannya memberi nasihat ketika Anjani bercerita tentang teman-temannya. Saat itu Anjani sedang menjadi ketua panitia suatu acara.
“Coba kamu belajar memahami mereka supaya tahu kapan harus memaklumi.”
“Kenapa aku yang harus belajar memahami? Mereka yang seenaknya ilang-ilangan, datang sesuka hati, gak tanggung jawab sama tugas mereka, dan bikin kita yang masih bertahan jadi berkali-kali lipat lebih capek karena harus ngebackup mereka?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Segi Delapan [END]
General FictionJenang, Jipang, Liwet, Rumput, Terong, Talas, Jala dan Yangko adalah anggota Mapala angkatan 18 yang diresmikan melalui pelantikan penuh haru di puncak Gunung Merbabu. Mereka sang juara yang berhasil bertahan setelah melewati serangkaian penerimaan...