2

610 22 2
                                    

Nisa berdiri dibalik jendela kaca rumahnya. Ia memandangi sebuah mobil yang datang dan kemudian ada empat orang yang turun dari mobil itu. Mereka disambut oleh ibu. Sementara itu, Nisa segera berlari ke dapur karena masih enggan untuk bertemu dengan mereka.

Ia berdiam diri di dapur. Memandang gelas-gelas kosong yang harusnya segera ia isi dengan minuman untuk disuguhkan pada tamunya.

"Nisa, ayo temui mereka" pinta sang Ibu yang membuat Nisa sadar dari lamunannya. Ia mengangguk lalu menuangkan minuman kedalam gelas dan membawanya menuju ruang tamu.

Langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang laki-laki yang duduk di paling ujung. Laki-laki itu diam dan menatap kosong lurus ke depan padahal yang lain tengah asyik berbincang.

"Assalammualaikum" Nisa mengucapkan salam dan membuat mereka semua menatapnya, tak terkecuali Zaidan yang sejak tadi hanya bungkam. Namun itu tak berlangsung lama, Zaidan langsung menundukkan kepalanya.

"Masya Allah, cantiknya Nisa"

Nisa hanya menunduk sambil tersenyum sebagai jawaban atas pujian dari Mama Mila yang tak lain adalah ibu Zaidan.

Mereka saling berbincang satu sama lain, memperkenalkan diri, bercerita tentang banyak hal seperti persahabatan Abi Haidar dan ayah Nisa, tentang masa muda mereka, dan lain-lain. Hingga tiba pada sebuah pembahasan yang membuat Nisa diam seketika. Mereka menceritakan bagaimana janji itu terucap, janji untuk menjodohkan anak mereka.

"Mungkin ini terkesan mendadak, Nisa sendiri mungkin juga masih belum bisa menerima hal ini. Tapi, Abi yakin kalau Nisa memahami bahwa janji itu harus ditepati. Terlebih lagi jika janji dengan seorang yang sudah tiada" kalimat Abi Haidar membuat Nisa semakin tertunduk. Apa yang diucapkan Abi Haidar itu memang benar.

"Nggih, Habib! Nisa paham akan hal itu. Tapi, bukankah kami berbeda nasab? Nisa bukan seorang syarifah, Habib"

"Syarifah atau bukan, kami tidak masalah" Jawab Abi Haidar singkat

Nisa kembali terdiam dengan pikiran-pikirannya sendiri. Banyak yang ingin ia ungkapkan, jika diperbolehkan, Nisa ingin berontak. Tapi lagi-lagi ia teringat dengan ayahnya yang sudah terlanjur terikat janji. Ia paham betul jika janji tidak ditepati itu bisa jadi penghalang menuju surga. Ia tak mungkin setega itu pada almarhum ayahnya.

"Begini, semua itu butuh waktu. Kami yakin dengan berjalannya waktu baik Nisa maupun Zidan bisa menerima semuanya" ucap Mama Mila

"Betul. Abi rasa tidak ada alasan untuk menolak semua janji yang sudah terucap. Kalian bisa mengenal satu sama lain setelah menikah nantinya. Secepatnya kami uruskan keperluan kalian"

"Maaf tapi Nisa masih kuliah, apa tidak sebaiknya kita bicarakan lagi setelah Nisa lulus kuliah? Enam bulan bukan waktu yang lama kan, Habib?"

"Niat baik harus segera dilaksanakan, Nisa. Tenang saja, kamu tetap bisa menyelesaikan kuliah, kami yang akan mempersiapkan semuanya. Kamu fokus saja pada kuliah kamu"

Nisa menghela napas, sepertinya alasan apapun tidak akan mempan jika ia gunakan. Ia memilih pasrah dengan semua yang terjadi. Toh ia bisa apa?

***
Saat ini suasana lebih rileks, mereka hanya berbincang ringan saja sambil menikmati hidangan yang disiapkan oleh Nisa dan ibunya. Mereka tengah bersenda gurau sambil bertukar cerita. Sementara Zaidan bagaimana? Ia sedang menyendiri di teras samping rumah Nisa, memandang kolam ikan dan mendengar gemercik air.

"Habib Haidar. . ."

"Loh, tadi Abi minta Nisa panggil apa?"

"Em. . . Abi Haidar" Nisa sangat segan untuk memanggil Abi Haidar

"Nah betul, Abi sama Mamah ya nak. Ada apa?"

"Nisa mohon izin ingin berbicara dengan Habib Zaidan, Abi. Tapi Nisa Nisa minta tolong Fah Syeima untuk temankan"

"Mbak, Syeima aja tau manggilnya"

"I-ya, Syeima"

"Ya sudah, temani Mbak Nisa ketemu Zidan ya Syeima"

Syeima menggandeng tangan Nisa dan membawanya menghadap Zaidan. Sebenarnya Nisa sangat merasa gugup ketika akan berbicara dengan Zaidan. Tetapi hal ini sangat perlu ia lakukan agar mengurangi beban pikirannya.

"Assalammualaikum, Bib Zidan"

"Waalaikumsalam" Zaidan tidak menoleh sedikitpun. Ia hanya menjawab salam saja.

"Boleh saya bicara sebentar, Bib?" Zaidan mengangguk, kemudian Nisa duduk di sebelah kanan Zaidan bersama dengan Syeima.

"Bib, apa sebelumnya njenengan udah tau tentang semua ini?"

"Sudah" Jawab Zaidan singkat

"Sejak kapan?"

"Dua-tiga tahun lalu"

"Bib Zidan kenapa tidak menolak?" Pertanyaan Nisa sempat membuat Zaidan melirik kearahnya sebelum akhirnya menunduk lagi.

"Menolakpun percuma kan? Kamu sendiri, kenapa tidak menolak?"

"Saya baru tahu tentang hal ini tadi sore, Bib. Saya tidak tahu cara menolaknya, terlebih ini permintaan almarhum ayah" Zaidan diam, kemudian ia beranjak dari duduknya

"Mau gimana lagi, jalani saja" ucapnya sambil berjalan masuk kedalam rumah. Sementara Nisa masih terdiam di tempat duduknya.

"Mbak" panggil Syeima menyadarkan Nisa dari renungannya.

"Mbak, Zidan pernah bilang kalau tidak suka dijodohkan. Zidan mau menentukan jodohnya sendiri, tapi abi sama mamah tetap mau Zidan sama Mbak Nisa. Akhirnya Zidan tetap nurut sama mamah sama abi" Nisa semakin merasa tidak enak hati pada Zaidan ketika mendengar penjelasan Syeima.

"Zidan meskipun kelihatannya keras tapi sebenarnya baik banget kok, Mbak. Mbak Nisa ndak perlu takut, nanti pas udah nikah Zidan pasti ndak akan lepas tanggung jawabnya"

"Syeima, Mbak Nisa takut kalau ndak bisa memenuhi harapan Habib Zidan. Mbak Nisa sadar diri, Mbak Nisa ini siapa. Mbak Nisa cuma orang awam, tidak seperti kalian. . ."

"Mbak, udah jangan bilang gitu terus. Mbak Nisa cantik, Mbak Nisa baik, aku yang baru kenal aja langsung suka sama Mbak Nisa. Yakin deh pasti nanti pas udah nikah Zidan juga suka bahkan cinta ke Mbak Nisa. Udah yuk, masuk aja Mbak" Syeima menarik tangan Nisa dan membawanya masuk kedalam.

Bersambung. . .
Part 2 done✅
Sampai jumpa di part berikutnya🖤

Habibi - MZYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang