Loser

26 4 0
                                    

Desir angin musim gugur menerpa tubuh. Rasa dingin yang dihadirkan agaknya tak membuat sosok itu merasa harus pulang ke rumah untuk menghangatkan tubuh. Coat panjang yang tadi dia pakai, tertinggal di tempat di mana dia menghabiskan waktu untuk menangis. Pelayan yang meneriaki namanya untuk mengingatkan perihal coat itu sudah menyerah. Lelaki itu terus menyeret kakinya yang melangkah tertatih.

Dulu. Dulu sekali. Tatkala dia menyadari betapa patriarkal dan kunonya keluarga mereka, Namjoon meyakinkan pada dirinya sendiri untuk tidak hidup seperti sang papa dan tidak akan membiarkan istrinya kelak hidup terkurung budaya nenek moyang mereka seperti sang mama. Tidak. Namjoon ingin menjadi seorang suami yang baik, pengertian, dapat selalu ada untuk istrinya, dan menjadi seseorang yang lebih dari sekedar seorang pasangan hidup.

Namun sekarang, tepat setelah bertemu dengan Go Myungeun dan menyadari semuanya, Namjoon tahu bahwa dia tidak jauh berbeda dengan sang papa. Darah lebih kental daripada air. Mungkin istilah itu benar adanya. Namjoon yang hidup di antara budaya patriarkal yang menjunjung tinggi kedudukan lelaki, telah terbentuk menjadi sosok yang sama sekalipun dia merasa bahwa dia sudah berusaha untuk tidak menjadi seperti apa yang dia takuti sejak dulu.

Hal yang baik memang tidak menikah sama sekali. Benar. Seharusnya dia tidak bertemu dengan Song Jihyo dan hidup untuk dirinya sendiri saja.

Sejenak dia menyadari beberapa hal. Mungkin karena dia lelaki yang selalu diperlakukan dengan istimewa saat di rumah, maka Namjoon tumbuh sebagai sosok yang tidak bisa mandiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain. Mungkin karena dia tumbuh dengan melihat sang mama berada di rumah untuk benar-benar mengurus rumah dan tidak keluar untuk sekedar bertemu teman, maka Namjoon tidak bisa menerima semua hal baru yang sebenarnya pernah dia bayangkan.

Namjoon membenci dirinya sendiri.

Kakinya terus melangkah gontai, sedangkan kedua matanya yang bengkak menatap lurus dengan tatapan kosong. Namjoon seperti seeorang mayat hidup yang tidak punya tujuan, bahkan mungkin zombie lebih baik ketimbang dirinya—setidaknya zombie berlarian mengejar manusia lain untuk memuaskan rasa laparnya.

Lantas tanpa dia sadari, lelaki itu sudah berada di tepi jalan raya. Lalu lintas terlihat ramai karena sekarang sudah lewat jam makan siang dan orang-orang nampak ramai guna kembali ke kantor. Namjoon yang melamun dalam langkahnya nyaris saja ditabrak sebuah mobil yang melintas cukup kencang, kalau saja tidak ada seseorang yang menarik tubuhnya cepat.

Suara klakson terdengar menggema dan menarik kembali kesadaran Namjoon yang terduduk bingung di atas trotoar.

"Kak Namjoon... kau baik-baik saja, 'kan?" tanya seseorang yang membuat Namjoon menoleh dengan jantung yang berdegup tak karuan.

Namjoon tak menjawab pertanyaan itu. Bibirnya yang terkatup rapat nampak bergetar hebat dalam sekejap. Darahnya berdesir. Jantungnya berdegup terlampau kencang. Rasanya lelaki itu akan kehilangan kesadaran dalam waktu yang dekat. Kedua manik mata mereka saling bertatapan. Namjoon kembali tenggelam pada tatapan itu.

"Maaf, Ji. Maaf. Maafkan aku. Maaf karena tidak bisa melindungimu," Namjoon kembali terisak, "Aku benar-benar tidak berguna," katanya lantas menarik tubuh itu untuk dia peluk.

Orang-orang yang tadi berteriak kaget melihat lelaki asing berpakain tipis di musim gugur ini, berakhir menatap bingung. Lelaki itu terlihat menangis tersedu-sedu. Suaranya terdengar begitu menyedihkan saat mengucap maaf berulang kali pada sosok yang baru saja menyelematkannya.

Song Jihyo, sosok itu, hanya bisa diam sembari berusaha mengabaikan orang-orang yang memperhatikan mereka. Padahal dia datang ke distrik Myeongdeong untuk membeli perlengkapan yang dia butuhkan untuk kembali menjahit, tetapi malah menemukan sang calon mantan suami yang nyaris tertabrak mobil.

SubmariningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang