Half

35 3 2
                                    

Rumahnya besar adalah kalimat pertama yang Jihyo katakan pada Myungeun. Dengan perasaan senang dan juga gundah dia mengatakan semua hal pada mengenai rumah itu serta orangtua dari lelaki yang akan dia nikahi itu. Tiga botol soju tergeletak kosong di atas meja. Ramyeon yang dibuat sudah habis setengah. Namun Jihyo tak kunjung menyelesaikan ceritanya, sedangkan di sana Myungeun hanya diam sembari sesekali terkekeh kecil menanggapi cerita dari sahabatnya itu.

Dulu, sewaktu dia masih muda, Jihyo memang menjanjikan pada dirinya sendiri untuk tidak jatuh cinta, mengabdikan dirinya untuk seorang lelaki, atau bahkan mengurung dirinya di sebuah rumah dengan embel-embel menjadi istri yang patuh. Dia ingin menjadi seorang manusia yang bebas selayaknya burung. Namun seiring berjalannya waktu, dia malah menemukan dirinya terjebak dalam janji yang sudah dia ingkari.

Namjoon baik. Dia adalah definisi dari lelaki sempurna yang bisa membuai dirinya dengan semua perlakuan yang Namjoon tunjukkan padanya. Dia tidak menjadi lelaki yang suka mengumbar omong kosong yang memuakkan. Dia menunjukkan semua hal yang selama ini Jihyo cari—lelaki yang cepat tanggap dan mengerti dirinya dengan baik.

Lantas pertemuan pertamanya dengan keluarga Namjoon tidak meninggalkan kesan yang baik bagi dirinya. Jihyo mencoba untuk melangkah mundur. Rumahnya besar adalah awal dari ketakutan yang seharusnya tetap dia pertahankan. Rumahnya besar adalah sebuah lampu merah yang ditunjukkan baginya yang bukan siapa-siapa.

Namun lagi, Namjoon datang dan meyakinkan dirinya bahwa dia mencintai Jihyo sepenuh hati. Rumahnya besar yang awalnya menjadi ketakutan, malah menjadi sebuah tantangan bagi dirinya. Jihyo sekuat tenaga memaksakan diri, hingga lupa bahwa dia sudah terluka kelewat banyak.

Satu demi satu hal yang dia miliki menghilang dan dirampas. Sedikit demi sedikit kewarasan yang dia punya dirampas. Jihyo ditinggalkan sendirian dalam kebingungan.

Rumahnya besar adalah pertanda bahwa dia akan terjebak dalam sebuah tuntutan yang begitu berat. Aturan demi aturan harus dia jalankan. Dia harus membiasakan diri pada semua asing yang selama ini dia takutkan. Patriarkal menjadi aturan utama untuk hidup di rumah itu.

Namjoon baik. Dia adalah definisi sempurna yang selama ini Jihyo cari. Salah. Namjoon memang baik, tetapi kebaikannya membawa Jihyo pada sebuah penjara yang membuatnya tak dapat melihat dunia di mana tuntutan demi tuntutan yang memaksanya menjadi istri yang baik berada.

Mungkin Jihyo tidak keberatan jika dia dipaksa untuk mengurus rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah sekalipun ada asisten rumah tangga. Sebab dia juga tahu bahwa semua hal itu adalah tanggungjawab yang harus dia lakukan, suka atau tidak. Namun memaksanya untuk hamil bukanlah sesuatu yang bisa tubuhnya toleransi.

Perempuan itu terus mengalami keguguran. Pertama karena rahimnya lemah. Kedua karena pikirannya. Lantas hamil yang ketiga kalinya membuat dia mengalami depresi yang lumayan parah. Mertuanya yang mengatur semua hal dan menyalahkannya, suara tangisan sang anak yang terus menganggu di jam malam, serta suaminya yang jarang di rumah menjadi pemicu depresi yang dia alami.

Jihyo menangis begitu keras sembari memohon pada lelaki itu untuk pergi dari rumah itu. Rumahnya besar adalah awal dari semua penderitaan yang dia miliki. Hingga pada akhirnya, Namjoon tidak punya pilihan selain mengabulkan dan meminta agar sang mama memberi izin.

Lantas setelah dua tahun tak mengunjungi rumah itu, Jihyo akhirnya ke sana lagi. Dia masih merasa takjub dengan rumah itu. Rumah besar dengan halaman yang luas. Rumah yang menghadirkan begitu banyak ketakutan untuk dirinya. Rumah yang sempat mendatangkan mimpi buruk setiap malam.

"Ada apa kau ke sini, Namjoon? Kenapa kau membawa perempuan ini kemari? Apa kau akan membicarakan soal perceraian?" pertanyaan yang bertubi-tubi itu seketika membuat Jihyo menunduk dengan tangan yang mengepal di atas paha.

SubmariningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang