Mengapa, bukan saya?

27 2 0
                                    

"Assalamu'alaikum.." Arfa memasuki rumah dengan perasaan aneh menyergap dadanya.

"Wa alaikumussalam, mas udah pulang." Mawar menghampiri kakak lelakinya.

"Udah sayang, Adek ngapain di rumah?" Tanya Arfa pada Mawar, adik perempuannya.

Mawar mengangkat tangannya yang menenteng paper bag.

"Ngambil buku mas, ini mau balik lagi kok."

"Umi mana sayang?" Tanya Arfa lagi.

"Ada di kamar tadi baru selesai baca al-qur'an, mas. Adek duluan ya." Arfa mengangguk dan berjalan menuju kamar ibunya.

"Assalamu'alaikum umi.."

"Wa alaikumussalam, mas." Jawab umi Hana.

Arfa berjalan menuju ibunya yang sedang duduk di lantai dan melipat mukenah. Ia mendudukkan dirinya disamping ibunya dan menyandarkan tubuhnya pada kaki tempat tidur.

"Ada apa mas? Mas gak enak badan?" Tanya Umi Hana,  sambil memegang dahi anaknya. Ia melihat anaknya menutup mata dan wajahnya terlihat gelisah. Sekian saat Arfa terdiam dengan posisi yang sama yang membuat ibunya semakin bingung. Hingga akhirnya ia membuka matanya dan ibunya dapat melihat raut kesedihan tercetak jelas padanya.

"Arfa suka sama seseorang umi." Ucapan Arfa membuat ibunya terkejut.

"Siapa nak? Apa kamu sudah siap melamarnya? Umi tidak mau kamu berpacaran, mas." Arfa menggeleng, ia meremas rambutnya lalu mengusap wajahnya lalu kembali menutup kedua matanya dan berkata, "Apa umi pernah dengar tentang adik iparnya Aidan?"

"Umi pernah dengar namanya tapi tidak pernah bertemu orangnya. Umi dengar dia menjadi santri disini tapi umi tidak tau yang mana anaknya, kamu suka sama dia mas?"

Arfa mengangguk dan membuka matanya lalu menatap sedih pada ibunya.

"Arfa gak berminat pacaran umi, tapi jelas Arfa gak berani melamarnya, dia bukan kelas kita. Dia terlalu tinggi dan sangat jauh." Umi Hana tersenyum mendengar kegundahan anaknya.

"Mas, kamu ini pengajar, bidang agama lagi. Apa kamu lupa basicnya? Kepada apa Allah memandang hamba-Nya?" Arfa sedikit tersenyum karena ia seakan tersadar.

"Allah memandang hamba-Nya tidak melalui harta mereka, nak. Kalau kamu memang menyukainya, berusahalah agar kamu bisa bersamanya, bila Allah kehendaki maka Dia akan membuat segalanya mungkin." Arfa hanya menunduk dan menatap lantai.

Umi Hana membuka lengannya dan Arfa menyambutnya.

"Kamu anak umi, mas. Kamu sudah berada sejauh ini bahkan dengan usahamu sendiri, kamu pasti bisa. Selama kamu berniat baik, umi akan ridhai. Tapi ingat, tidak boleh terlalu memikirkannya nak, kamu belum halal untuk melakukannya, ya." Arfa mengangguk dan umi Hana memeluk putra sulungnya dengan penuh kehangatan.
.
.
.
.
.
Eloise menyelesaikan raka'at terakhirnya. Ia masih berada di ruang kesehatan dan ia terbangun saat mendengar adzan zuhur berkumandang. Ia berusaha bangun namun kepalanya masih terasa berputar sehingga ia memutuskan untuk shalat sambil duduk diatas brankar uks.

Tirai uks terbuka membuat ia menolehkan kepalanya dan melihat seorang wanita berumur sekitar lima puluh tahun tersenyum ke arahnya sembari membawa nampan berisi makanan.

"Assalamu'alaikum nak.."

"Wa alaikumussalam.." jawab Eloise sambil memperhatikan wanita tersebut.

"Saya pengurus bagian dapur, panggil saja umi Hana ya." Eloise mengangguk dan sedikit tersenyum walau wajahnya masih terlihat pucat.

"Pucat sekali.." kata umi Hana prihatin.

"Saya dengan dari Zunairah kamu lagi kumat gerd nya. Maka saya masakkan bubur supaya kamu tetap bisa makan nak. Dimakan sekarang ya?" Ucap umi Hana sambil mengambilkan meja pasien untuk meletakkan nampannya dan menyerahkan mangkuk kecil pada Eloise yang diterima oleh gadis itu.

MENCINTAIMU KARENA ALLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang