-LAMUNAN TERBUYAR DI CASSWER PARK-

93 1 0
                                    

Sinar mentari mulai hangat dirasakan. Zeck dan Mila kini beralih mengunjungi taman bunga di tengah kota. Rasanya, Zeck butuh udara segar setelah beberapa waktu lalu mimpinya terhempas mengingat masa lalu. Masa lalu yang menjerumuskannya ke dunia gelap, dan Zeck terjebak di dalamnya.

Begitu sampai di taman bunga tengah kota, atau masyarakat Cassiopeia lebih mengenalnya dengan Casswer Park, Mila dengan wajah bahagianya langsung masuk mengelilingi keberadaannya dengan berbagai macam bunga.

Ada bunga tulip yang bernaung di bawah pohon flamboyan. Bunga daffodil dengan warna kuning cerahnya. Bunga daisy bergoyang-goyang tumbuh di dekat kolam. Dan jangan lupakan bunga mawar dengan semerbak aroma khasnya.

Tapi di antara berbagai bunga indah itu, bunga lavender masih tetap menjadi favoritnya. Apalagi, bunga lavender mempunyai banyak kenangan yang telah dilalui bersama mendiang ayahnya.

•°•°•

"Sudah cup-cup sayangku. Coba Ayah lihat seberapa parah lukamu!" Seorang pria jangkung sedang memastikan keadaan kaki seorang gadis kecil di hadapannya.

"Ah ... nampaknya tidak terlalu parah. Lututmu hanya kotor. Biar Ayah bersihkan terlebih dahulu, dan setelah itu kau bisa berjalan kembali."

Gadis kecil terus meratapi luka di lututnya dengan cucuran air mata. Tak ada sekecil suara yang dikeluarkannya, atau sepatah kata pun yang diucapkannya.

"Oh putri Ayah yang malang, sudahlah jangan menangis. Lukamu akan terasa sakit jika menangis!"

Benar saja. Lukanya semakin terasa sakit begitu gadis kecil merasakannya, dan pada akhirnya air matanya semakin deras turun menghujani pipi mulusnya.

Tak mau membiarkan putri kecilnya terus menangis, pria jangkung itu memberikan sebuah pelukan hangat untuk menenangkan putrinya. Setelah dirasa cukup tenang, pria itu berusaha mulai mencari cara untuk menghiburnya kembali--berharap senyumannya dapat terukir kembali di pipinya.

Beruntung keberadaan mereka dekat dengan sebuah tempat spesial, yang biasa pria jangkung kunjungi di kala dirinya sedang bersedih.

Casswer Park. Disitulah mereka berada sekarang. Duduk di sebuah bangku kayu jati, dengan pemandangan bunga lavender yang terhampar luas di hadapannya. Tentu saja. Dulu, taman kota ini mempunyai lahan yang luas.

"Lihat, bunganya mulai bergoyang tanda tertiup angin. Cobalah kau hirup aroma yang menyelimuti keberadaan kita ini, Mila!"

Melihat kenyataannya sekarang, nampaknya Mila masih membalut ingatannya dengan masa lalunya. Zeck menatap, betapa tenangnya Mila dalam lautan bunga lavender yang mengelilinginya di sana. Beberapa kali Mila menarik nafas, menahan, kemudian menghembuskannya secara perlahan.

"Setiap kali Ayah sedang lelah, sedih, kecewa, bahkan marah, ayah pasti akan datang kemari. Ke taman tengah kota ini. Hanya untuk menghirup aroma dari lavender ini." Suara mendiang ayahnya bergema di ingatan masa lalunya Mila.

"Begitupun jika Ayah sedang bahagia, Ayah senang, merasa puas, Ayah juga akan mengunjungi lavender ini. Untuk apa? Tentu saja untuk menikmati aromanya."

Untuk kesekian kali tarikan nafas lagi, Mila menahannya cukup panjang, sebelum akhirnya menghembuskannya sekaligus ke udara lepas. Wangi manis yang cukup kuat, ditambah rasa kesegeran setelahnya itu, berhasil menenangkan seluruh jiwa Mila yang sempat berantakan.

Berantakan memikirkan suasana sekolahnya yang terkesan seperti neraka, keadaan keluarganya yang hidup dalam ekonomi pas-pasan, keinginan dan cita-citanya yang selalu menjadi angan dan tak tahu kapan terwujudkan.

Semuanya Mila hempaskan di sana. Di hadapan ribuan bunga yang terhampar di atas tanah hijau. Meski yang dilakukannya ini tidak dapat merubah takdir hidupnya. Namun, jujur saja perasaannya terasa jauh lebih baik dari sebelumnya.

Sejenak, Zeck tersadar dari keberadaannya. Rasa gelisah kembali menyerang benaknya. Gadis itu tidak sempurna. Lalu, apa Zeck akan tetap menyerahkan gadis cacat itu begitu saja? Dengan menyerahkan gadis cacat, mungkinkah Zeck masih mendapatkan uang perjanjiannya sepenuhnya?

Tatapan Zeck menjadi sedikit waspada. Langkahnya berjalan mundur, bahkan hampir keluar dari area taman. Apa yang akan dilakukannya sekarang?

Meninggalkan Mila di taman kota, lalu Zeck akan mencari target penculikan yang baru? Yang memiliki kriteria sempurna seperti yang diperintahkan bosnya?

Ya. Tentu saja Zeck akan melakukan hal itu. Selagi ada waktu dan kesempatan. Lagi pula, gadis-gadis cantik seperti Mila tidak hanya satu di dunia ini. Tentu Zeck masih dapat menemui gadis-gadis cantik di tempat lain.

Lagi-lagi, Zeck menyeringai. Begitu Zeck akan membalikan badannya--membulatkan tekad untuk meninggalkan Mila sendirian di taman kota--seorang anak kecil yang mengendarai sepeda tengah melewati keberadaannya, berhasil mencuri perhatian Zeck.

Seorang anak kecil itu membawa sepedanya menuju taman bermain yang tak jauh dari taman bunga tengah kota. Hampir saja Zeck lupa akan keberadaan taman bermain itu. Tempat dimana dulu, Zeck juga suka berkunjung kemari, hanya untuk bermain--bersama ibunya.

Tak ada niatan untuk bermain, tapi ingatan masa kecilnya mulai kembali terngiang, seolah meminta Zeck untuk menatap sedikit lama di taman bermain tengah kota ini.

Belum lama memandanginya, tapi kenangan-kenangan masa kecilnya langsung berhamburan memenuhi isi kepala Zeck. Zeck tahu, langkahnya harus pergi, tapi hati dan pikirannya seolah tak menghendaki.

Mungkin mengenang masa kecilnya sebentar saja, itu tidak jadi masalah, bukan?

Akhirnya, setelah melalui beberapa pertimbangan yang singkat, Zeck pun menghampiri taman bermain di sana. Melewati jembatan kayu warna-warni sebagai jalan penghubungnya, kemudian membiarkan ingatan masa kecilnya keluar di sana.

Zeck menutup matanya. Menghirup nafas panjang di tengah semilir angin yang meniup permukaan kulit wajahnya. Samar-samar, terdengar suara tawa antara dirinya dengan ibunya.

"Ibu ... ayo dorong ayunannya lebih cepat!"

"Ibu akan dorong, Ed, pegangan yang kuat, ya!"

•°•°•

"Ibu aku takut!!"

"Tidak usah takut, Ed. Ibu akan menangkapmu dari bawah!"

"Tapi perosotan ini sangat tinggi!"

"Ibu tahu kau anak yang berani, bukankah kau akan menjadi pahlawan untuk Ibu?"

•°•°•

"Ibu ... aku jatu ..."

Zeck tersadar dari lamunannya. Tapi itu bukan kehendak Zeck. Melainkan, ada sesuatu yang telah membuyarkan ingatan Zeck. Seperti sebuah tangan yang sedang menggenggam tangan Zeck saat ini.

Mungkinkah pemilik tangan itu . . .

Thanks, KIDNAPPERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang