'Ibuku adalah orang yang penuh perhatian dan penyayang. Dia sangat menyayangiku juga kakaku.'
Zeck merespon balasan Mila hanya dengan senyuman.
'Kau tahu? Aku dan ibuku mempunyai keistimewaan yang sama. Kau ingin tahu apa keistimewaan kami?'
Dengan senang hati, Zeck mengangguk.
'Kami punya warna bola mata yang sama. Jika kau melihat warna bola mataku, seperti itu pula warna bola mata ibuku. Ibu bilang, tak banyak orang di Cassiopeia ini yang mempunyai bola mata biru seperti ini. Bahkan jumlahnya bisa dihitung dengan jari.' Mila merobek kertas tulisannya, sebelum akhirnya ia berikan kepada Zeck. Kemudian, ia kembali melanjutkan tulisannya di kertas yang baru.
'Dalam keluargaku, hanya aku dan ibuku yang memiliki mata biru seperti ini.' Tak segera Mila berikan pada Zeck, masih di kertas yang sama, lantas ia mulai menggambar rupa seseorang di sana.
Lewat pena dengan tinta hitamnya, ia mulai membuat sebuah lingkaran yang membentuk wajah seorang wanita. Begitu bentuk wajah telah terbentuk, Mila mulai menambahkan bagian mata, hidung, mulut, juga rambutnya yang terikat ke belakang.
Tangannya begitu lihai membuat sebuah gambaran dengan sangat teliti. Tak lupa, sebelum gambarannya ia serahkan pada Zeck, Mila menambahkan beberapa sentuhan akhir--agar gambarannya terlihat sempurna.
Zeck menerima pemberian kertas dari Mila dengan penuh kekaguman. Tak disangka, di samping keterbatasannya tak bisa mendengar dan berbicara, Mila ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa dalam gambarannya.
Seorang wanita paruh baya, dengan mata seperti kacang almond, hidungnya tegak lurus dan meruncing ke bawah, lalu senyumnya yang terlihat sangat manis.
'Aku tahu, gambaranku tak sebagus pelukis profesional. Mungkin gambaranku kurang mirip dengan wajah asli ibuku, tapi kuharap, kau mendapatkan gambaran mengenai seperti apa ibuku.'
Zeck ternanap untuk beberapa saat. Sorot matanya masih lurus menatap gambaran di atas kertas. Tidakkah ini begitu mirip dengan seseorang yang pernah Zeck temui di masa lalu? Seorang wanita yang memiliki rona biru seperti Mila. Ialah ibunya.
Tidak. Ini hanya sebuah gambaran seorang anak SMP. Barangkali, gambaran ini hanya sekilas mirip saja?
Meski tampilannya sudah sedikit lebih tua dari yang Zeck bayangkan, namun Zeck masih ingat betul bagaimana rupa ibundanya. Itu tak terlalu jauh beda seperti gambaran Mila.
Zeck termenung. Ada apa ini sebenarnya? Mungkin, di antara Mila dan dirinya mempunyai sebuah hubungan?
•°•°•
Langit mulai berlukiskan warna jingga dengan cahaya keemasannya. Mobil sedan hitam, baru saja terparkir di depan gedung terbengkalai yang sebelumnya pernah mereka kunjungi.
Mila turun dari mobil dengan wajahnya yang ceria. Tak ada yang bisa menggantikan kebahagiaannya hari ini. Hari yang luar biasa indahnya, dimana semua kerinduannya berguguran telah terbayarkan.
Di sisi lain, Zeck justru malah menampakkan wajah yang muram selepas turun dari mobil. Langkahnya berat, seolah penuh pertimbangan. Tatapan matanya gusar. Ia menghela nafas, berharap datang perasaan tenang setelahnya.
Keduanya, lantas masuk kembali ke dalam gedung tua nan terbengkalai itu--untuk menepati janji satu sama lain.
"Selamat datang kembali Zeck. Ahh, akhirnya kau sampai juga. Sepertinya perjalanan kalian menyenangkan, aku bisa lihat dari senyuman gadis manis di belakangmu!" sambut seorang pria bertubuh tegap, yang sudah menanti-nanti kedatangan Zeck di sana.
Seketika itu juga, senyum Mila langsung berubah menjadi raut ketakutan. Sigap, dirinya langsung bersembunyi di balik badan Zeck, begitu mengetahui ada orang asing lain datang--mengetahui keberadaan mereka.
"Jangan takut, mereka teman-temanku!" terang Zeck, mencoba menenangkan.
Kini Mila bisa mendengar. Zeck yang membelikan alat pendengar barunya untuk Mila. Tapi tetap saja, sambutan dari pria di hadapannya itu terkesan menakutkan. Membuat Mila semakin erat meremas baju Zeck.
Pria dengan mantel tebal berwarna merah bata itu bersiul. "Tak-ku sangka, kau menjalankan misimu dengan sangat baik." tuturnya sembari bertepuk tangan, memberikan apresiasi pada Zeck.
"Setelah aku menyerahkan milikku, kau akan langsung menepati janjimu?" Zeck mengajukan pertanyaan yang menyita perhatian Mila.
Apa yang dimiliki Zeck dan akan diserahkan pada pria menakutkan di sana? Benak Mila langsung diserbu berbagai pertanyaan, yang membuatnya perlahan ragu pada Zeck.
"Kau pikir aku akan membohongimu? Aku Victor, tak pernah bermain-main soal uang." jelas pria yang menyebut dirinya sebagai Victor. Kemudian, ia menjentikan jarinya sekali, seperti memberi aba-aba.
Sigap, dua anak buah di sebelahnya segera bergegas mengambil sebuah koper yang berisi gepokan uang tunai di dalamnya dan langsung ditunjukkan ke hadapan Zeck.
Baik Zeck dan juga Mila, keduanya sama-sama terbelalak takjub. Terutama Mila. Sebelumnya, ia belum pernah melihat uang sebanyak itu. Sudah dipastikan jumlahnya sangat banyak. Bahkan, dibutuhkan waktu yang lama untuk menghabiskan semua uang di dalam koper itu. Sekalipun digunakan untuk hal yang tidak berguna.
"Serahkan gadis itu dan cepat pergi dari sini!" perintah Victor mengejutkan Mila.
Menurutnya, apa perjanjian seperti ini yang harus Mila tepati? Perjanjian agar Mila mau diserahkan pada pria asing yang menakutkan?
•°•°•
Beberapa waktu lalu, tepat saat mereka berada di pusat alat bantu dengar, lewat sebuah kertas kosong, Mila menceritakan betapa bahagianya dirinya saat bersama Zeck.
"Aku senang jika kau senang!" balas Zeck, setelah ia membaca semua curahan hati Mila yang ditulisnya di atas kertas. "Karena aku telah menepati janjiku untuk membantu, sekarang bisakah giliranmu yang menepati janji untukku?" lanjutnya.
Sedikit diam dalam pertimbangan, sebelum akhirnya Mila mengangguk sebagai jawabannya.
'Janji seperti apa yang harus aku tepati?'
"Nanti kau juga akan tahu." Zeck langsung mengalihkan pandangannya ke arah sekitar, seolah memberi isyarat bahwa perbincangan itu seapaknya selesai sampai di sini.
Apa boleh buat, tak ada cara lain selain mengalihkan pembicaraan pada topik lain, agar Mila masih dapat berbincang dengan Zeck. Meski cara berbincang mereka berbeda, Zeck yang langsung menyampaikan kata-kata dari ucapannya dan Mila yang menyampaikannya di secarik kertas, namun Mila dapat merasakan, betapa hangatnya perbincangan ini.
'Seandainya aku bisa menghabiskan waktu bersamamu lebih lama dari ini. Berkunjunglah ke rumahku kapan-kapan. Ibuku pasti akan senang bertemu denganmu!'
"Mungkin kita akan bertemu kembali di lain waktu." Zeck segera memberi jawaban.
'Kau seperti pahlawan. Aku tidak sabar mempertemukan ibuku denganmu. Kalau kakak laki-lakiku tidak pergi, mungkin sekarang sudah seusia denganmu.'
Raut wajah Zeck sedikit mengkerut, "K-kakak laki-laki?"
'Ya, ibuku bilang, sebelumnya dia pernah mempunyai anak laki-laki. Sayangnya, dia pergi. Tidak tahu betul kenapa dia pergi, karena setiap aku mempertanyakan alasannya, Ibu pasti tak mau menjawabnya.' Zeck membaca tulisan Schoolbell itu dengan penuh renungan.
Dugaan bahwa dirinya dengan Mila mempunyai sebuah hubungan, nyatanya semakin nyata menampakkan realitanya. Mungkinkah, Mila juga merupakan anak dari ibundanya?
"Siapa nama ibumu?" tanya Zeck, diterkam rasa penasaran yang dalam.
Sigap Mila menuliskan jawabannya di atas kertas yang kosong. 'Elen. Nama ibuku, Elen Bagnel.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Thanks, KIDNAPPER
Historia CortaMila tak tahu jika saat ini, dirinya sedang dalam masalah besar. Pria berambut pirang itu, mempunyai niat buruk padanya. Ia akan menyerahkan Mila pada seorang yang memimpin sebuah komunitas ilegal dan tersembunyi. Dan Mila, sama sekali tak tahu akan...