MEI Awal

4 0 0
                                    

Maretta terdiam sendirian dimeja kantin paling pojok sambil beberapa kali memandangi pusat perhatian kantin kala itu dengan miris, mungkin karena wajahnya yang terkesan antagonis dan pembawaannya yang dingin serta cuek, Maretta tidak mempunyai teman. Tangannya terus memainkan sedotan merah yang ia gunakan untuk minum sodanya sesekali sambil berharap hatinya menjadi lebih baik walaupun malah kebalikannya.

"Ini gara-gara ketabok bola jadi deket nih?" Celetuk Arkan cengengesan membuat rame kantin kali ini, Febri berdecak pelan.

Juni yang menyadari bahwa pria dihadapannya itu kurang nyaman menghela nafas pelan, "yeh biar kalian gak salah paham aja, banyak yang ngira sengaja kan kejadian kemarin?"

Mendengar hal itu terlontar dari mulut gadis yang ia sakiti, Febri agak tersedak.

"Uhuk..."

"Cinta bersemi akibat bola nyasar ini judulnya!"

"Sekali lagi ngomong, ni tabokan tangan nyampe ke muka lo ya Ar!"

"Ampun ampun..." Arkan menghindar saat Juni hendak beranjak menghampirinya, pria itu menjauh sambil tetap cengengesan, huh menyebalkan.

Juni kembali duduk dan meminum kopinya pelan sambil menatap pria tampan dihadapannya, "maaf ya..."

"Santai aja." jawab Febri sambil tersenyum tipis, walupun sebenarnya memang sangat tidak nyaman, dirinya juga tidak tau mengapa tiba-tiba mengajak Juni untuk makan bersama di kantin. Oh, mungkin karena perasaan bersalahnya yang terlalu berkecamuk. Huft, matanya ia edarkan sampai akhirnya berhenti ketika melihat gadis yang menatapnya dengan miris diujung sana.

Juni yang sedari tadi ikut memerhatikan, kini mulai menatap curiga Maretta yang tersenyum ke arah Febri lalu melengos begitu saja, apalagi saat ini pria itu tampak sangat gelisah.

Makanan yang sisa setengah lagi dihadapannya mulai tidak menarik, Juni merasakan situasi yang kurang enak setelah kejadian tadi.

"Udah, Feb."

"Hah?"

"Udah nih, balik dulu ke kelas ya."

Febri agak celingukan, kemudian mengangguk pelan.

"Makasih yaaa..." Juni tersenyum sangat manis, kemudian hendak beranjak dari kursinya sebelum tangan Febri menarik tangannya pelan.

"Mau gue anter?"

Juni terkekeh pelan, "gak usah! Lagian mau ke toilet dulu kok, mau ikut?"

Mendengar balasan Juni, Febri mengurungkan niatnya. Sambil menggaruk pelan lehernya Febri ikut beranjak, "Bye Jun."

"See you, Feb!"

Pandangannya tak bisa lepas dari langkah Juni yang semakin menjauh, perasaan apa ini? Apa benar dirinya mulai jatuh hati pada gadis itu? Lalu bagaimana... Oh iya, Maretta!

¶¶¶

"Seneng Jun?"

Juni awalnya agak kaget ketika melihat Maretta diam di toilet sambil melipat kedua tangannya didada, seolah sedang menunggunya, namun gadis itu tampaknya sedang tidak baik-baik saja.

"Kenapa ya, Retta?" ucap Juni malah balik bertanya, bukan apa-apa sih, sekaligus penasaran juga kenapa Maretta tiba-tiba bersikap aneh.

Maretta menghela nafasnya pelan, "Lo... punya penyakit? Atau umur lo sisa berapa lagi si?"

"Maksudnya?" Juni tambah kaget mendengar penuturan Maretta, gadis itu hanya berdecih kemudian mendekatinya pelan.

"Atas dasar apa gue harus ngalah terus ke lo, sih Jun? Lo siapanya gue?"

"Langsung aja ke intinya, Retta! Gue gak akan---"

"Gue pacarnya Febri."

Matanya membulat mendengar kalimat barusan, tangannya sedikit gemetar, Juni menatap Maretta, dan gadis itu tidak terlihat sedang berbohong sedikitpun, gadis itu terlihat sangat sungguh-sungguh.

"Maaf, tapi Febri punya gue, Jun. Kita saling menyayangi, gue selama ini cuma liatin lo karena gue pengen ngehargain lo, Jun. Tapi, makin kesini gue rasa ini udah gak bener."

"Ta-tapi..."

"Febri gak ngomong apa-apa kan? Iya, karena itu permintaan abang lo Jun, Juna. Entah kalian sedang menghadapi kesulitan apa, tapi tolong... Gue gak sekuat itu, gue sakit liat orang yang gue sayang nyoba buat ngebahagiain orang lain didepan gue, Juni..."

Juni terdiam, senyuman merekah karena sudah bisa makan berduaan dengan pujaan hatinya selama ini langsung pudar digantikan perasaan bersalah yang mulai menyeruak, Juni meraih tangan Maretta yang membuat sang 'empu'nya kaget.

"Maaf Retta, gue gak tau." Tanpa sadar air matanya terjatuh, "Maaf udah egois dan nyakitin perasaan lo selama ini, gue beneran gatau, lo gak bilang sejak awal, Retta."

Maretta ikut terisak, "gue yang minta maaf Jun, jangan bilang Febri soal ini ya, maaf gue udah jujur, gue cuma gamau lo sakit hati juga karena kebohongan ini, Jun."

Kebohongan. Juni menghela nafas sangat dalam mendengarnya sambil terus mengeluarkan buliran air yang sulit dibendung itu, "gue tau kok Juna cuma sayang sama gue, tapi dia emang salah udah kayak gini, maaf ya Retta."

Keduanya saling terdiam sambil menormalkan perasaan mereka masing-masing sampai akhirnya Juni menghela nafasnya pelan,

"Kenapa lo sembunyiin selama ini? Gue yakin bukan karena ngehargain gue aja, kan?"

"Tepat setelah gue sama Febri jadian, kakak lo minta bantuan."

Juni terdiam mendengarnya, hatinya agak sakit, berkali-kali pikirnya membuat pernyataan denial untuk mencoba menutupi rasa sakit itu.

"Gue juga mikir, Febri banyak yang suka... Tapi, pas dia milih gue, gue khawatir Jun, jadi mungkin itu juga alasan kita belum nunjukkin ke semua orang." Sambung Maretta.

"Tapi, lo juga agak jahat ya Retta..."

Maretta agak mendelik, kemudian mengibaskan poni rambutnya ke belakang, "gue tau..."

"Lo beberapa kali liat gue naro minuman ke loker, tapi lo diem aja, ngebiarin gue kayak orang bodoh."

Mereka kembali terdiam beberapa detik sampai akhirnya Juni tersenyum tipis, "maaf ya Retta, semoga lain kali lo bisa lebih jujur sama perasaan lo. Gue bener-bener minta maaf..."

"Maafin gue juga, Jun."

Saat sudah mulai mereda, Maretta pamit kepadanya karena kelas juga sudah dimulai lima menit yang lalu, sedangkan Juni kehilangan minat belajarnya.

Juni malah melangkahkan kakinya menaiki tangga, untuk menghirup udara lebih banyak karena rasa sesak yang masih menempel memenuhi dadanya.

Sementara itu ada gadis yang sedari tadi dengan sekuat tenaga bertahan di dalam toilet karena terlanjur tidak enak mendengar percakapan kedua sejoli yang sedang merebutkan pria itu akhirnya menghela nafasnya lega.

"Febri brengsek." desisnya pelan sambil pergi menuju kelasnya.

¶¶¶

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EpochTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang