“...”
°°°
RASANYA baru saja Juni bisa dekat dengan Febri, tapi kedekatan itu langsung tersebar dari mulut ke mulut, jelas itu membuat Juni merasa tidak enak. Takut kalau Febri merasa risih karenanya, walaupun kelihatannya pria itu baik-baik saja. Juni menghela nafasnya pelan, sesekali melirik Juna yang tengah berjalan di sampingnya, mereka saling diam sejak dari dalam mobil tadi.
"Juna, aku ke kelas ya." Juni berhenti di depan kelasnya sambil menatap bingung pada Juna yang sifatnya aneh.
"Belajar yang bener." Balas Juna sambil mengusap puncak kepalanya pelan, "Gue juga ke kelas dulu, pulang nanti tunggu di kursi deket koridor kelas sebelas, ya."
"Baik pak bos." Juni mengacungkan jempolnya disusul dengan langkah kaki Juna yang mulai terayun. Tidak ada senyuman untuknya pagi ini, aneh sekali, akhir-akhir ini Juna mendadak jadi lebih pendiam.
Juni mendengus pelan, tanpa Juna sadari, ekor matanya mengikuti setiap langkah pria itu sampai ke ujung koridor, begitu lemas kelihatanya, apa memang Juna sedang tidak enak badan? Juni sedikit khawatir, jarang sekali pria itu sakit, jadi mungkin saja.
Tepat ketika Juna terlihat masuk kelas, Febri keluar dengan membawa baju futsal kebanggaannya, seketika senyuman Juni tercipta saat Febri menatapnya. Senangnya lagi, saat pria itu membalas senyumannya sambil berlalu ke arah tangga.
Kalau dipikir-pikir, keadaan pria itu tidak seburuk yang Juni kira, kelihatanya baik-baik saja, juga tidak menjauh. Malah rasanya Febri semakin perhatian terhadapnya, itu membuat Juni mempunyai harapan besar terhadap pria itu.
Menyadari dirinya sudah lama berdiri di pintu, Juni bergegas untuk masuk dengan wajah sumringah, terlihat April tengah bersidekap dada sambil memerhatikannya.
"Hai, April!"
Juni tersenyum, sementara April berdecak pelan.
"Nih, buku tugas lo."
"Yang kemarin, Pril?"
April mengangguk sambil menghela nafas pelan, "Nilai gue lebih kecil, padahal lo yang nyontek ke gue."
"Hah, masa sih?" Juni membuka buku itu sambil duduk, di sana tertera nilai sembilan puluh dua, diliriknya buku punya April yang terbuka, nilainya sembilan puluh satu.
Juni memasang wajah datar setelahnya, "Huh."
"Satu juga berharga." Tukas April sebelum mendengarkan pembelaan Juni.
"Mana aku tahu, aku kan gak tahu!" Juni melipat keningnya lalu memasukkan buku tersebut ke dalam tas, "Tulisan lo kali."
April meliriknya kesal, "Jadi tulisan lo lebih bagus dari gue?"
"Oh ya jelas," Juni menegakkan wajahnya membuat April semakin kesal.
"Awas lo ya, gak bakal gue kasih lagi kalo butuh."
Juni mengedikkan bahunya, kemudian merogoh kantung tas yang berada di depan, Juni mengambil cokelat kesukaan April, "Maaf deh. Beneran gak tau, kok. Nih, buat lo."
April meliriknya kemudian mulai luluh, gadis itu tersenyum lalu merengkuhnya ke dalam dekapan.
"Ah dasar! Juni! Gue paling gak bisa ngambek sama lo."
¶¶¶
Juna mengacak pelan rambutnya, sekelebat bayangan pada malam itu kembali terlintas di pikirannya, saat itulah Juna merasa tidak becus menjadi seorang kakak, dalam hati, Juna menyesali sebuah keadaan dimana kenapa bukan dirinya saja yang mengalami, kenapa harus Juni.
Seseorang muncul dari pintu mampu membuat Juna sedikit melirik siapa yang datang saat pelajaran tengah berlangsung, ternyata gadis itu. Maretta, gadis yang sekarang tengah meminta izin pada Febri untuk memberikan tugas dari kelasnya.
Padahal jelas-jelas ketua kelas di sini adalah dirinya, tapi tak apa, setidaknya itu membuat beban dan tanggung jawab sedikit berkurang, setelah menyelesaikan transaksi, Febri duduk kembali ke kursinya, sementara Maretta kembali ke kelasnya.
Tidak ada sedikitpun rasa curiga yang tertanam dalam benaknya saat melihat Maretta dan Febri yang seringkali terlihat berduaan, yang Juna tahu, keduanya selalu datang ke sekolah melalui arah yang sama.
"Baiklah, kalau begitu bapak sudahi pelajaran ini, jangan lupa pelajari materi besok tentang Matriks."
Juna mendesah lega, akhirnya penderitaan otaknya berakhir. Setelah melihat guru itu keluar kelas, Febri menghampirinya.
"Jun, ini tugas dari kelas sebelah, katanya guru gak bakalan masuk lagi."
"Ck," Juna melihatnya, kemudian beranjak menuju meja depan untuk memberikan secarik kertas itu pada sekretaris agar di tulis di papan.
Ketika Juna berbalik, ternyata Febri masih diam mematung di posisinya, Juna mendesah lagi, pasti pria itu akan meminta negoisasi atas apa yang dia terima tempo hari.
"Apa?" Juna berkata sedikit kesal, "Sebenernya dia pergi bareng lo juga gak memberikan efek terlalu bagus. Bahagia secara batin, tapi fisik malah tambah capek."
Febri melipat keningnya, kemudian mengusap pelan wajahnya. "Yang penting, gue udah ngejalanin ini semua dengan baik."
"Ya, terus lo mau apa?"
"Kurangin satu hari," Febri menatapnya tajam sekarang, Juna semakin tidak mengerti.
"Kenapa?"
"Karena tepat ketika penderitaan gue berakhir, itu ulang tahun Maretta. Bisa gak, gak ganggu acara gue bareng dia, lagi?"
Juna tersenyum sinis, "Jalanin aja dulu, lo beneran gak bakalan hanyut dalam pesona Juni? Yah, walaupun gue berharap enggak sama sekali."
"Tidur lo salah posisi." Desis Febri sebelum menyerahkan buku dengan nama Junia Rahma Felyana kepadanya, setelah itu Febri berlalu menjauhi mejanya.
Juna menghela nafas pelan, buku pelajaran milik Juni kenapa bisa ada pada pria itu sih? Juna memilih untuk tidak menambah beban pikirannya, disimpannya buku itu di tas berwarna abu miliknya, kemudian mulai mengerjakan tugas yang diberikan tadi.
Tapi ketika dirinya baru saja selesai menulis soal, April dari arah pintu mengagetkannya. Gadis itu berkata dengan lantang, "Juna! Juna lo harus ke UKS sekarang. Juni pingsan!"
Sekelas langsung riuh, sementara Juna berlari menuju UKS disusul oleh April di belakangnya. Febri yang mendengar itu masih dalam posisinya, menulis dengan santai seolah tidak terjadi apa-apa.
"Feb, lo gak ke sana? Juni loh, akhir-akhir ini kalian deket kan?"
Febri melirik sinis ke arah Meila, kemudian beranjak dengan malasnya. "Lo kerjain dong tugas gue." ucapnya kemudian.
"Idih, tinggal nyusul nanti, ogah." Meyla mengedikkan bahunya sambil berlalu.
"Ck, drama apa lagi." desisnya sambil melangkah keluar menuju UKS menyusul Juna.
Tepat di belokan koridor, tanpa sadar Febri melihat Maretta yang malah terdiam sambil memainkan ponsel sementara teman sekelas yang lain sibuk membantu Juni, dasar gadis itu.
Bodohnya, Febri memilih untuk menghampiri Maretta dibandingkan ikut mengkhawatirkan kondisi Juni saat ini.
¶¶¶
Ddyulian
KAMU SEDANG MEMBACA
Epoch
Teen FictionHanya tiga kata yang mampu menggambarkan kisah mereka. Februari sampai Juni. Juni pikir, itu adalah periode waktu yang mereka habiskan untuk bahagia, selepasnya mereka kehilangan salah satunya, mereka tidak bisa terus tertawa lepas, tapi mereka bisa...