Kenyataan yang membingungkan, seharusnya Febri senang akan hal ini, seharusnya Febri merasa bebas, tapi dari relung hatinya yang terdalam ada rasa aneh yang kini hadir.
Tepatnya seminggu Juni tak masuk, Juna tak bisa ditanya, begitu tugasnya dinyatakan selesai, seakan komunikasi ikut selesai juga, padahal Febri benar-benar ingin berteman dengan Juna.
Namun, Febri paham, Juna kecewa. Dia butuh waktu, tak apa, Febri yakin semuanya pasti akan kembali seperti semula, saat Juni biasa saja ketika menatapnya, tak berbinar juga penuh pengharapan, Febri harap... Juni layak mendapatkan yang lebih baik darinya.
"Juniiii.... Ah ya ampunnnn.... Lo gak pa-pa kan?"
Teriakan itu sukses membuat Febri menoleh, disana ada Juni dengan tampilan berbeda, sedikit charming, dewasa dan tampak lebih segar, ada apa dengannya?
"Iya gak pa-pa kok, tapi emm..." Juni terlihat linglung.
"Kenapa? Yuk ke kelas."
Begitu ajakan April bernada, Juni langsung mengangguk sambil tersenyum, auranya begitu berbeda. Febri menghela nafasnya lalu berinisiatif untuk menghampirinya, menanyakan bagaimana kabarnya dan berniat untuk memperbaiki hubungan atas semua yang terjadi.
Tepat tiga langkah Febri baru bergerak, dirinya dihalangi oleh Juna, pria itu dengan muka garangnya menatap Febri tak terima.
"Mau kemana lo? Jangan bilang mau nyamperin Juni." ucapnya penuh penekanan.
"Iya, gue mau minta maaf."
"Cih," Juna terkekeh seperti orang jahat, lalu mengusap pelan wajahnya, "Awalnya gue ogah kasih tau lo soal ini, tapi, gue harap setelah gue bilang masalah sebenernya yang ada diantara kita, lo bisa lebih tau diri."
"Maksud lo apa, Jun? Gue juga punya perasaan, gue hanya mau ngucapin maaf, udah. Lagian lo bilang misi gue udah selesai, apa yang jadi masalah lo sekarang? Lo yang selesaikan misi ini lebih cepet, maksudnya apa?"
"Masalahnya... Lo udah buat Juni hilang ingatan brengsek, dia gak inget sebagian ingatannya gara-gara lo!"
Juna berapi-api, dia terlihat mengepalkan tangannya, urat-uratnya terlihat jelas, Febri diam ditempat, perkataan Juna yang baru saja keluar lambat untuk dicerna.
Mana mungkin, hanya gara-gara terkena bola, Juni selemah itu?
"Lo bisa gak kasih tau penyakit Juni apaan!" Febri mulai ikut terpancing, dia menarik kerah seragam Juna yang malah tertawa sinis.
"Apa hubungannya sama lo?"
Febri diam saja, dia hanya penasaran, juga niatnya hanya sebagai pembatas cara dia menyakiti Juni agar perempuan itu tak jadi jatuh hati padanya, itu saja.
BUAGH
Juna langsung melayangkan satu pukulan untuk Febri yang sedikit lagi akan terjatuh. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Juna langsung meninggalkan area yang mulai ramai akibat perbuatannya tadi.
Banyak yang menghampiri Febri untuk menolongnya disana, salah satunya perempuan yang selama ini Juna awasi, Maretta.
***
"Arght..." Febri meringis ketika luka lebamnya dikompres oleh perempuan yang malah terkekeh pelan didepannya.
"Lemah amat." ucapnya kemudian.
Febri jadi teringat, tadi dia berkata bahwa Juni selemah itu, kenyataannya Febri juga bisa selemah ini. Tapi, kenapa tiba-tiba memikirkan perempuan itu? Febri memejamkan matanya.
"Sesakit itu, Feb?" tanya Maretta dengan penuh kelembutan, Febri membuka matanya kembali sambil menggeleng.
"Biar kamu pelanin aja."
"Nyebelin, bilang aja iya, sakit."
Febri sedikit tersenyum melihat ekspresi Maretta kala itu, menggemaskan.
"Berapa lama kamu ada disana, Retta?"
Maretta menghentikan aktivitasnya, kemudian mengalihkan pandangan, "Kayaknya udah deh. Nanti juga pulih."
"Retta." Febri menarik pelan lengannya, mau tak mau Maretta akhirnya mengatakan, "Saat kamu merhatiin Juni juga aku ada."
Febri menghembuskan nafas kasar, "Terus kenapa?"
"Maksudnya?"
"Kenapa kamu ada disini?"
Maretta menatapnya malas, lalu mengambil tasnya sambil beranjak, "Kalo gak mau ya udah."
"Eh bukan gitu, Retta." Febri menahannya, Maretta akhirnya duduk kembali dengan kesal.
"Karena aku percaya kamu Feb, kamu pernah bilang ini hanya misimu kan? Balas budi? Aku percaya, jadi, aku mohon... Jangan patahkan kepercayaan aku ke kamu."
Febri diam tak bergeming, tak juga menjawab perkataan dari Maretta. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri, harusnya senang iya, tapi mungkin rasa bersalahnya pada Juni lebih besar sehingga mengakibatkan hatinya tak enak.
***
"Kak, kok kakak dipanggil ke ruang BK. Kenapa, kak?"
Juni sedari tadi merengek pada Juna yang masih saja memasang wajah sebalnya, Juni tak menyerah, dia terus menempel pada kakaknya agar diberi tahu masalah yang Juna punya.
"Kak..." Juni menarik pelan seragam Juna, tapi tak direspon. "Kak Juna ih, aku gak bakal bilang Mami, beneran."
"Juni, jangan kebanyakan mikir. Lupain aja, masalahnya udah beres. Okay?"
Juni cemberut, "Kakak yang buat Juni mikir. Kalo gak kasih tau, Juni jadi malah tambah kepikiran tau."
Tepat sebelum berbelok menuju parkiran, Juna menahannya, Juni tak mengerti, "Kenapa?"
Tatapan Juna seakan tak akan lepas dari mangsanya, Juni semakin tak mengerti, lalu dia mengikuti arah pandangan Juna, senyumnya langsung merekah.
"Febri! Lama gak ketemu." Seru Juni yang ingin menghampiri Febri, tapi ditahan oleh Juna, "Ih apasih kak."
Melihat luka lebam yang ada di pipi kanan Febri, Juni langsung tersambung dengan masalah Juna yang dipanggil ke ruang BK.
"Jangan bilang kalian..."
Juna tertawa, "Apaan dah, heh mau pulang lo?"
Febri mengangguk pelan sambil menatap Juna tak percaya, Juna menjadi Juna temannya dahulu dihadapan Juni sekarang.
"Abis darimana? Muka lo bonyok gitu." tanya Juna santai seakan tak terjadi apa-apa tadi, Febri geram.
"Jatuh ketimpa ubin mesjid. Gue duluan ya, Juna, Juni."
Febri kemudian melangkah lebih cepat ke area parkiran, Juni yang menatap mereka sedari tadi mulai mendekati kakaknya sambil cemberut.
"Kok Febri gak nawarin pulang bareng?" rengeknya kemudian.
"Haish, kan ada kakak. Mana berani dia, yuk ah cepet nanti keburu sore!"
***
Ddyulian
KAMU SEDANG MEMBACA
Epoch
Teen FictionHanya tiga kata yang mampu menggambarkan kisah mereka. Februari sampai Juni. Juni pikir, itu adalah periode waktu yang mereka habiskan untuk bahagia, selepasnya mereka kehilangan salah satunya, mereka tidak bisa terus tertawa lepas, tapi mereka bisa...