“...”
°°°
"TUNGGU Maretta!"
Febri mencoba menggapai tangan gadis yang kini tengah berjalan tanpa menghiraukannya, Febri berdecak pelan. Gadis ini susah sekali kalau sudah marah.
"Retta, hey." Febri menahan gadis itu ketika berhasil menggapai salah satu lengannya, "Maaf."
"Maaf?" Ulang gadis itu sambil melipat alisnya, "Gue siapanya lo, sih?"
Febri memalingkan wajahnya ketika melihat guratan kesedihan di wajah orang yang selama ini mampu membuat semangatnya menggebu-gebu. Sementara Maretta yang melihatnya diam saja mencoba untuk melepas tarikan lengannya, tapi tentu saja Febri lebih kuat.
"Gue janji, setelah ini gue bakalan serius. Oh sebentar, gue memang serius sama lo, Retta."
Maretta menggeleng pelan sambil tersenyum, "Lo gak liat perjuangan Juni selama ini?" Ucapnya sambil menaikkan salah satu alisnya.
"Gue tau, tapi di mata gue, dia cuma satu dari banyak orang yang suka sama gue. Termasuk lo."
Febri melepaskan genggamannya pelan ketika merasakan reaksi Maretta mulai melemah.
"Maksud lo?" Gadis itu bersidekap dada, "Jadi, di mata lo, gue sama posisinya kayak Juni? Setelah lo nyatain perasaan gue kemarin-kemarin?"
"Gue belum selesai," Febri menghela nafasnya pelan, "Iya, tapi masalahnya, gue milih lo, Retta."
Maretta terkekeh pelan, "Tapi?"
"Gak ada tapi." Jawab Febri cepat, Maretta menggeleng pelan.
"Terus?"
Febri mengusap wajahnya pelan, "Sebelum Juna datang."
"Lakuin apa yang ingin lo lakuin, Feb. Gue udah gak terlalu peduli." Ucapnya sebelum melangkah cepat meninggalkan Febri yang terdiam.
Kalau saja, Febri tidak mengiyakan tawaran itu, mungkin tidak akan seperti ini jadinya, mungkin saja dirinya sekarang tengah bersenang-senang bersama dengan Maretta, tapi mengenai Juni... Oh, Febri langsung berlari mengingat gadis itu.
Jam sudah menunjukkan pukul empat, sementara kelas Maretta tadi pulang pukul dua, lama sekali kalau dipikir dirinya menghabiskan omong kosong bersama gadis itu, ujungnya masih tidak jelas dan sulit dipahami, sesampainya di tempat parkir, Febri mencari-cari keadaan Juni.
Tapi hasilnya nihil, sedikit lega di hati tapi mendadak perasaannya tidak enak karena telah berjanji akan menjaga Juni untuk Juna, ah sial. Tepat ketika Febri akan memakai helm, seorang gadis menghampirinya, Juni.
"Feb, maaf, tadi aku abis dari belakang." Juni menunduk, tampaknya dia merasa bersalah. Febri menghela nafas, seharusnya dirinya yang merasa sangat bersalah.
"Gue kira lo ninggalin gue," Febri kemudian menyerahkan helm yang Juna titipkan tadi, "Nih gue sengaja ambil helm punya lo dari Juna, pake."
Juni mengangguk sambil mengambil helm tersebut, kemudian Febri menyalakan motornya, Juni mendadak canggung, apa naik motor sekarang atau nanti di gerbang, Juni memilih diam, biar nanti Febri yang menyuruhnya untuk naik kalau sudah siap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epoch
Teen FictionHanya tiga kata yang mampu menggambarkan kisah mereka. Februari sampai Juni. Juni pikir, itu adalah periode waktu yang mereka habiskan untuk bahagia, selepasnya mereka kehilangan salah satunya, mereka tidak bisa terus tertawa lepas, tapi mereka bisa...