MARET

4 0 0
                                    

"GUE minta maaf,"

Febri menghela nafasnya pelan setelah berhasil menyusul Juna yang sepertinya bertujuan untuk menghampiri Juni, pria itu berhenti mendengar permintaan maaf darinya.

"Gue beneran gak sengaja." Febri mendengus, "Lo pikir gue benci sama dia?"

Juna memilih bungkam, tangannya mengepal, kemudian kembali melanjutkan langkahnya untuk menemui Juni, sementara Febri lagi-lagi mengikutinya dari belakang.

"Santai kali, dia pasti gak bakalan parah-parah amat."

"Bacot." desis Juna sambil berbelok ke arah pintu UKS yang terbuka.

"Juna!!!"

April, gadis yang pertama kali dilihatnya, gadis itu terlihat sudah menangis.

"Belum sadar?"

"Gue gak paham, Ju-Juni, dia malah mimisan setelah sadar, mukanya pucet banget Jun." ucapnya sambil terisak.

Tanpa basa-basi lagi Juna segera lari menuju UKS, April juga akan mengejarnya, tapi sebelum itu, April memilih untuk menghampiri Febri yang malah terdiam seperti tak ada pedulinya sama sekali dengan keadaan Juni.

"Gue gak kayak Juni, ya Feb." ucapnya kemudian sambil tertawa miris, "Mungkin Juni gak bakal ngerasain kepura-puraan lo selama ini karena emang pada dasarnya, Juni sayang sama lo, tapi, gue ngerasain semua itu!"

Febri terkekeh, "Syukur deh, lo gak salah paham."

April tak habis pikir, "Gue harap, setelah ini, lo gak main-main lagi sama Juni, pergi jauh dari kehidupan Juni, lo gak tau aja seberapa susahnya Juna buat Juni tersenyum, sedangkan lo sumbernya malah kayak gini."

Sebenarnya Febri juga tak tega dengan keadaan Juni, tapi egonya lebih berkuasa pada dirinya saat ini, dia juga tak mau kehilangan Maretta, yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah menatap kepergian April.

Febri mendengus kemudian berbalik arah untuk kembali ke kelasnya, sebelum berbalik, Febri mendapat pelukan secara tiba-tiba.

"Ma-maaf, gue udah salah paham, Feb."

Ada Maretta memeluknya saat ini, tapi mengapa perasaan gundahnya malah semakin bertambah? Febri mencoba menghilangkan perasaan itu, kemudian membalas pelukan wanita yang Febri yakini sebagai cintanya saat ini.

***

Siapa juga yang ingin melakukan hal ini? Bohong hampir pada semua orang, bahkan pada dirinya sendiri. Tapi, siapa sangka bahwa hal ini mampu membuat Febri sedikit lebih terbuka, mengenal Juni membuatnya paham kalau bahagia itu sederhana.

Febri tak dapat menyalahkan siapapun, karena kalau bukan Juna waktu itu yang meng-handle problematika keluarganya, mungkin Febri sudah jatuh sekarang.

"Aku masuk dulu ya," suara lembut itu membuat Febri langsung tersadar, lalu menatap Maretta yang tersenyum manis sekali. "Kamu... Hati-hati."

"Hm..." Febri mengangguk sambil membalas senyuman itu, "kamu, jangan tidur malem-malem ya."

"Oke! Em... Gak mampir dulu?"

"Takut kemaleman ntar, Retta."

"Oke."

Febri menyalakan motornya, lalu memastikan bahwa Maretta sudah masuk ke dalam, tapi kelihatannya dia ingin mengatakan sesuatu sebelum melangkahkan kakinya melewati batas pintu, benar saja, gadis itu berbalik lalu mendekat.

"Kamu... Langsung pulang kan? Gak ketemu Juni dulu?" tanya Maretta membuat Febri menatapnya tajam.

"Belum ngerti juga?"

"Eh bukan," Maretta mengibaskan tangannya, "Mastiin doang, biar-... Biar aku gak khawatir."

Febri tersenyum, "Sebentar aja, supaya Juna tenang juga."

Maretta mengangguk paham, "kalau gitu hati-hati ya, jangan pulang kemaleman. Aku masuk dulu."

Wanita itu langsung masuk ke rumahnya, Febri mendengus, diambilnya ponsel yang dia heningkan tiga jam yang lalu disakunya. Benar saja, ada satu panggilan tak terjawab dan dua pesan belum dibaca dari Juna.

-Juna-
Gak usah mampir
20.49

Gak ada gunanya lo mampir
21.23

Febri mengernyitkan dahinya, ada apa? Tiba-tiba pertanyaan tentang keadaan Juni menyeruak, bagaimanapun juga ada ulahnya diatas keadaan Juni saat ini.

Saat Febri membalas pesan Juna, secepat kilat pria itu membalasnya lagi, dengan penuh penegasan seolah tugasnya berakhir dengan singkat.

-Juna-
Selamat bro, tugas lo udh selesai.
22.16

Febri benar-benar tak mengerti, tapi, Febri juga kelelahan hari ini. Dia memilih untuk langsung pulang ke rumahnya dan menanyakan hal ini pada Juna ataupun Juni esok hari.

Dari pesan yang dia terima, nampaknya Juni sudah baikan, buktinya Juna tak memaksanya untuk pergi merawat wanita itu, hatinya sedikilt lega, Febri langsung memakai helmnya dan berjalan dengan motornya melintasi perjalanan malam dini hari.

Walaupun Febri pikir Juni sudah membaik, tapi perasaan gundahnya terhadap Juna mulai menggerogoti hatinya. Febri harap besok semuanya baik-baik saja.

***

Ddyulian

EpochTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang