BAB 1 : Penyihir yang terbuang

71 10 8
                                    

Pada abad ini adalah masa dari bangsa dengan berbagai ras yang belum meninggalkan asal muasalnya. Masing-masing dari mereka menetap di suatu tempat dengan tembok dan benteng tertinggi, dapat dikatakan hidup berdampingan hanyalah mimpi, perbedaan ras adalah salah satu konflik tanpa akomodasi.

Para penyihir memilih membangun tempat tinggal di sebuah gunung tertinggi, benteng di buat dari paling luar hingga menyentuh awan, akan semakin mengecil ketika ruang lingkup tempat yang di kelilingi semakin sempit. Mereka menggunakan sistem kasta dengan status sosial tanpa celah, sebuah desa yang berada di paling pinggir adalah untuk mereka yang terbuang, di benteng selanjutnya adalah penyihir menengah, dan benteng berikutnya adalah kasta tertinggi.

Kasta tersebut di pengaruhi oleh sihir yang dipelajari. Di setiap keluarga penyihir mempunyai inti sihir yang sama, hal itu membuat teknik sihir mereka akan tetap seperti itu bahkan sampai di keturunan ke tujuh. Itu artinya, orang yang terbuang akan tetap menjadi terbuang untuk selamanya.

Desa paling luar bernama Desa Camelia, namanya diambil dari bunga Camelia yang mengelilingi seluk beluk desa yang melingkar. Hanya dihuni sekitar 200 penyihir dari paling muda hingga tua bangka. Pekerjaan sehari-hari mereka hanyalah berladang, menanam, memanen, dan memakannya. Ilmu sihir mereka di bawah rata-rata, mungkin hanya dapat memindahkan sebiji jagung. Para penyihir dari ibu kota memanggil mereka dengan sebutan penyihir yang gagal.

Hal itu terjadi karena nenek moyang melakukan hubungan terlarang dengan ras hybrid. Ras yang memiliki anggota tubuh seperti hewan. Hal itu berdampak pada inti sihir yang goyah, dan mereka berkembangbiak tanpa mempedulikan konsekuensi. Akibatnya, penyihir berjumlah 200 orang mendapat diskriminasi serius dari lahir hingga dewasa. Mereka memang tidak diterima secara gamblang oleh para penyihir, namun jika memilih tinggal dengan para hybrid, mereka dipastikan mati.

Ketika konflik hubungan terlarang itu diketahui banyak pihak pada zaman dahulu, masing-masing ras lebih menutup diri.

Namun di luar itu semua, Desa Camelia hanyalah desa kecil dengan para penduduk yang ramah. Mereka melakukan setiap kegiatan dengan ketulusan. Hati mereka selembut sutra dari kepompong terbaik. Ras campuran membuat mereka terkadang menumbuhkan telinga atau ekor. Yang mana hal itu menjadikan mereka makhluk yang imut dan lucu.

Di desa itu pula, seorang anak dengan surai jingga yang cerah berlarian kesana kemari, di tangannya membawa sebuah jaring yang siap menangkap kupu-kupu yang lewat. Ketika sebuah kupu-kupu biru terkena jaringnya, bocah 7 tahun memperlihatkan senyum yang lucu,

"Astaga Mingi, sudah berapa kali kakak bilang untuk jangan menangkap kupu-kupu! Biarkan mereka hidup bebas dan bahagia." Bocah berumur setahun lebih tua menggapai jaring berisi kupu-kupu biru, kemudian membebaskannya di langit yang cerah. Mingi si bocah emas mengerucutkan bibir.

"Kenapa dilepaskan kak? Aku susah tau menangkapnya!" tubuh pendek itu melonjak-lonjak, kakinya beberapa kali mengetuk padang rumput yang bergoyang. Ketika ia merasakan kekesalan pada hati, dua buah telinga rubah dan ekor yang lembut muncul dengan anggun. Kakaknya menepuk kepalanya lalu terkekeh.

"Biarkan mereka bebas, terkekang oleh rantai kehidupan tidak membuat makhluk hidup bahagia." Surai merah jambu kakaknya berkibar lembut di padang rumput penuh bunga camelia. Telinga Mingi menurun drastis, namun wajah imutnya mengangguk. "Ayo kita pulang, ibu sudah memasakkan sup labu yang enak!" tangan yang kurus menarik tangan mungil untuk berlari menuju rumah mereka berdua di ujung desa.

Mereka adalah saudara yang lahir dari keluarga sederhana, setidaknya tidak terlalu miskin. Ayahnya bekerja sebagai seorang penjahit untuk orang-orang di ibukota dan ibu mereka bekerja di sebuah sekolah yang tidak jauh dari rumah. Rumah mereka terbuat dari kayu yang kokoh, walaupun kecil namun dengan suasana yang hangat di dalamnya. Membesarkan kedua putra mereka, Seonghwa dan Mingi menjadi anak laki-laki sehat yang ceria.

Ketika Mingi telah sampai di rumah kecilnya, ibunya yang melihat telinga dan ekor jingga terkekeh pelan. Bagian tubuh itu akan muncul ketika emosi dikeluarkan secara berlebih, dan anaknya yang kedua benar-benar belum bisa mengendalikan emosi. Dalam diam sang ibu mengambil sebuah kotak obat di nakas, "anak keduaku benar-benar imut seperti ini, namun sepertinya harus disudahi." Obat itu berpindah ke tangan kecil putranya yang mengunyahnya tanpa beban. Mereka berdua memutuskan segera menikmati sup labu yang manis.

Di tempat ini, ekor dan telinga yang muncul tiba-tiba telah menjadi bagian dari masyarakat. Mereka tidak mempermasalahkannya, namun berbeda dengan orang-orang yang hidup di hiruk pikuk ibukota, mungkin mereka akan di sihir menjadi kodok.

"Kapan ayah akan pulang, Bu?" bibir kecil Seonghwa terbuka dan menutup. Ibunya berpikir sebentar.

"Mungkin sebentar lagi, apakah kalian menantikan oleh-oleh?" tangan kasar ibunya mengusak kedua kepala yang berbeda warna, Mingi tertawa kencang dan menghambur ke pelukan ibu tersayangnya. Mereka berputar-putar di ruang minimalis yang membuat Seonghwa terkekeh pelan. Ibunya benar-benar mewariskan sifat dan sikapnya pada adiknya.

Ayah mereka pulang ketika kedua kakak beradik sedang tidur siang.

Sosok berbadan besar menghela napas di meja makan, istrinya melayani dengan lembut, satu atau dua kecupan hadir di pipi keriput termakan usia.

"Apa yang terjadi?" kepala tua menggeleng pelan, istrinya mengelus lengan yang kokoh dan berotot.

"Mereka menginginkan putra kita hadir di akademi sihir ibukota, sebagai perwakilan dari orang buangan," ucap yang berjanggut lesu. Istrinya sedikit kaget lalu menimang-nimang. Ibukota berbahaya bagi kaum mereka yang berdarah campuran. Namun, jika tidak menuruti kemauan para petinggi juga akan menjadi masalah. Mungkin ini adalah saatnya orang buangan menunjukkan taring, ini bisa menjadi kesempatan.

Namun bisa pula menjadi malapetaka.

Surai merah jambu istrinya bergerak pelan ketika anggukan menjadi jawaban tidak pasti. "Kalau begitu aku harus melatih anak-anak." Tatapan mata tajam seorang ibu membuat suami tersenyum kecil. Sifatnya tidak berubah dari awal mereka bertemu, dan lelaki ini selalu jatuh cinta setiap hari.

"Kau akan menggunakan kekuatan Ariadne di waktu ini?" senyum menjadi jawaban dari pertanyaan pria berjanggut.

Ia adalah seorang ibu, namun sebelumnya ibu ini juga seorang penyihir. Meskipun orang buangan, tanpa disadari oleh penyihir ibukota, sebenarnya ia mendapat berkah dari dewa, mewarisi sebuah kekuatan dari salah satu dewi besar olympus. Yang disebut sebagai Abandoned Lover of The Labyrinth.

-TBC-

The Golden Fox That I Kept | yungiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang